SCRIBOERS

Catatan Receh

Menulis Marketing 2030

Sepanjang tahun 2022, ini merupakan satu buku yang saya turut menulisnya bersama para penulis lainya. Berjudul Marketing 2020: Menuju SDGs, Gen Z, dan Metaverse. Diterbitkan oleh Penerbit Erlangga dan M Corp. Senang berpartisipasi kembali dalam penulisan buku setelah sekian lama absen.

Buku ini diluncurkan di MarkPlus Conference ke-17 yang digelar di Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place, Kamis, 8 Desember 2022 bersama Guru Pemasaran Hermawan Kartajaya dan perwakilan Penerbit Erlangga. Di atas panggung, saya berkesempatan menceritakan secara singkat konten yang saya tulis di buku tersebut.

Filsafat x Marketing

Buku yang saya baca pada hari pertama tahun 2023 adalah Petualangan Intelektual. Ini buku lawas. Saya sengaja membawanya ke Bogor hari ini karena merayakan ulang tahun yang ketujuh putri saya. Maria Lentera, namanya, memiliki ikatan personal dengan katedral di sana.

Saya membaca buku itu sepanjang perjalanan. Berlanjut di Lemongrass, resto bergaya tropis di Jalan Pajajaran. Ditemani kaya toast dan secangkir long black coffee. Sekali lagi itu buku lawas. Sudah sekian kali saya membacanya. Maklum sebelum jadi buku, itu adalah diktat kuliah filsafat. Itu salah satu diktat terbaik, versi saya tentunya.

Dunia Helena

“Selamat jalan Helena Dewi Justicia. Perjuangan dan tulisanmu abadi.”

Kutipan di atas ini mencuri perhatian saya. Saat mengikuti misa requiem untuk Helena Dewi Justicia, saya akrab memanggilnya Helen, di rumah duka Rumah Sakit Harapan Kita, Tomang, Jakarta, Senin, 6 Juni yang lalu. Kutipan itu tersemat di karangan bunga dari Yayasan Pantau, tempat ia pernah belajar jurnalisme sastrawi yang diampu oleh Andreas Harsono.

Saya seratus persen setuju dengan kutipan itu. Helen merupakan seorang penulis tangguh. Tulisan-tulisannya bernas, reflektif, jernih, dan kaya spiritualitas. Bahkan, saat berjibaku dengan kanker yang menyerang otaknya, ia masih setia menulis. Catatan-catatan kecilnya mengalir saban hari di Facebook. Entah tengah malam atau dini hari.

Maria-Maria Pemberontak

Oktober adalah bulan Maria. Di bulan ini, biasanya orang berbondong-bondong menyerbu tempat-tempat ziarah, gua-gua Maria yang terserak di mana-mana. Bahkan, saking antusiasnya, banyak Gereja yang ramai-ramai membangun gua-gua Maria yang baru, seolah-olah gua-gua itu belum mencukupi untuk melampiaskan hasrat rohaninya.

Tur-tur ziarah Maria baik domestik maupun mancanegara berbiak bak jamur di musim hujan, lengkap dengan perlombaan iklan di media massa. Berlomba seakan tempat-tempat yang mereka iklankan menjadi tempat paling mujarab untuk menerima rahmat dari Bunda Kristus itu. Akibatnya, kadang menjadi tidak jelas, antara ziarah sejati, rekreasi, gengsi, dan bisnis.

Ruang Perjumpaan Gereja Katolik dan Komunitas LGBT

Komunitas LGBT masih mengalami penolakan dan diskriminasi di mana-mana, termasuk di gereja sendiri. Ruang perjumpaan bagi Gereja Katolik dan Komunitas LGBT dibutuhkan.

Belum lama ini, dunia maya diramaikan oleh netizen yang mengecam podcast Deddy Corbuzier karena ia menghadirkan pasangan LGBT dalam salah satu episodenya. Usai menuai kecaman dan boikot, pemilik podcast Close the Door itu buru-buru menghapus tayangan tersebut. Peristiwa ini menandakan bahwa hingga hari ini orang-orang LGBT masih mengalami penolakan dan diskriminasi.

Diskriminasi dan penolakan itu juga banyak terjadi di lingkungan Gereja Katolik. Mereka, para LGBT, menjadi kelompok paling terpinggirkan. Keprihatinan inilah yang menjadi salah satu hal yang menggerakkan James Martin, SJ, seorang imam Jesuit dan editor umum majalah America: The Jesuit Review, menulis buku Building a Bridge: How the Catholic Church and the LGBT Community Can Enter into a Relationship of Respect, Compassion, and Sensitivity (2018).

Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Ledalero dan komunitas transpuan Fajar Sikka dengan judul Membangun Ruang Perjumpaan Bagi Gereja Katolik dan Komunitas LGBT.

Jurnalisme Musik dan Tamparan pada Peliputan Musik di Indonesia

Penulisan musik sering jatuh pada kisah-kisah gelap, skandal, gosip, kontroversi, dan konflik para musisi dan selebriti. Musik tak diulas sebagai produk seni budaya. Kapasitas jurnalis musik dipertanyakan.

Menulis musik itu menulis tentang manusia. Demikian ujar Taufiq Rahman dalam prakata di buku yang kemudian ditegaskan kembali oleh Idhar Resmadi, penulis buku ini, dalam kata pengantarnya. Pesan pendek ini sangat kuat untuk mewakili tema jurnalisme musik yang menjadi bahasan utama Idhar dalam bukunya setebal 198 halaman tersebut. Jurnalisme dan musik bermuara pada hal yang sama, yakni manusia, ruang, dan waktu.

Yang menarik dari buku ini, selain menjelaskan tentang apa itu jurnalisme musik dan sejarahnya, dalam banyak bahasan, Idhar melakukan koreksi maupun kritik pada media-media musik selama ini. Menurutnya, media musik kita memang butuh tamparan, butuh keberanian untuk mendobrak bahwa banyak hal yang bisa ditulis soal musik. Selain itu, Idhar menyematkan beberapa sentuhan filsafat dan sosiologi, sehingga buku ini tak sekadar informatif, tetapi juga mengantar pembaca menemukan kedalaman di balik fenomena musik.

Page 1 of 16

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén