Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Shutter Island: Absurditas Multitafsir

4 min read

Penonton tak perlu merasa bersalah dan terteror dengan misteri cerita itu. Bahkan tak perlu ikutan ‘sakit jiwa’ dalam memahami film itu.

Teddy Daniels. Sumber: thespool.net

Pada mulanya sebuah pulau terpencil. Namanya Shutter Island, sebuah pulau yang menyudut beberapa mil dari Massachusetts dan dikelilingi batu karang. Di sana, ada rumah sakit yang dikhususkan orang sakit jiwa dan psikopat bernama Ashecliffe Hospital.

Pada tahun 1954, seorang marshal AS Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio) bersama rekan anyarnya Chuck Aule (Mark Ruffalo) datang ke pulau tersebut untuk sebuah tugas penyelidikan atas hilangnya salah seorang pasien rumah sakit jiwa Rachel Solando. Menurut kepala psikiatris setempat Dokter Cawley (Ben Kingsley), Rachel seorang pesakitan yang sangat berbahaya. Ia lenyap dari sel tahanannya tanpa  jejak.

Awal cerita membawa perasaan saya pada petualangan detektif. Mengingatkan saya pada petualangan Sherlock Holmes dan Dr. Watson memecahkan teka-teki dalam film besutan Guy Ritchie. Sebuah petualangan investigasi dalam suasana mencekam. Latar rumah sakit jiwa membuat aksen tegang tersendiri: tatapan ganjil, atmosfer horor, mengusik, sekaligus meneror. Suasana terbangun dengan tingkah musik latar yang menegangkan. Asal tahu saja, film ini merupakan adaptasi dari novel karya Dennis Lehane yang juga menulis Mystic River dan Gone, Baby, Gone.

Saya langsung jatuh cinta pada karakter Teddy. Maklum saya suka dengan cerita-cerita detektif. Saya menaruh kepercayaan padanya. Dia pastilah seorang cerdas yang akan menjawab teka-teki di RS Ashecliffe itu.

Terbukti ketika petugas rumah sakit tak menemukan jejak, Teddy berhasil menemukan potongan kertas kecil di kamar Rachel. Berisi dua kalimat singkat: “the rule of 4” dan “who is number 67?”

Asumsi awal, saya mengira hilangnya Rachel Solando merupakan kejahatan konspirasi yang dilakukan orang-orang dalam seperti  jamak dikisahkan dalam cerita-cerita serupa. Rumah sakit itu pun hanyalah kedok dari proyek eksperimen pikiran yang dijaga ketat oleh sekumpulan sipir bersenjata. Sebuah rumah jagal yang berkedok rumah sakit. Teddy pun mengendus hal-hal ganjil di pulau itu. Apalagi para petugas di sana tampak enggan berkomentar dan menghalang-halangi investigasi. Bersama Chuck, ia mulai menginterogasi penjaga dan sahabat Rachel yang terkait dengan malam raibnya Rachel.

Teddy dan Chuck Aule. Sumber: nofilmschool.com

Babak selanjutnya penuh kejutan. Hal ini tampak dengan berubahnya perilaku Teddy yang sering terserang migrain dadakan. Ia pun sering berhalusinasi dengan masa lalunya. Migrain ini sebenarnya sudah tampil di awal cerita ketika ia masih di dalam sebuah feri di perjalanan ke Shutter Island. Ia mencoba menenangkan diri ketika berada di tengah lautan lepas. “Percayalah, ini hanyalah air,” begitu katanya.

Teddy pun dibombardir dengan mimpi buruk. Ia kembali pada kepingan-kepingan masa lalunya ketika bertugas sebagai serdadu dalam pembebasan Dachau dari kekejaman Nazi. Bayangan mayat yang bergelimpangan, tahanan Yahudi yang sekarat, dan seorang kolonel Nazi yang bunuh diri menjadi mimpi menyeramkan. Terlebih lagi, mimpi buruk didatangi mendiang istrinya, Dolores (Michelle Williams), yang awalnya diceritakan mati akibat apartemen tempat mereka terbakar (tepatnya dibakar) oleh seorang lelaki pembunuh bernama Andrew Laeddis yang menurut istrinya masih berada di penjara itu. Ia pun terobsesi mencari sang pembunuh.

Memasuki babak ini, film besutan Martin Scorsese mulai tampil penuh labirin. Asumsi awal saya mulai goyah. Alurnya yang awalnya lambat, mulai bergerak lincah, jamak suspensi, dan penuh lompatan. Di satu sisi, film ini masih menceritakan upaya marshal melanjutkan investigasi yang semakin dikuatkan dengan keganjilan-keganjilan dari para petugas. Di satu sisi, film ini menampilkan secara meloncat mimpi-mimpi buruk Teddy. Dolores muncul lagi menghantuinya dan mendesaknya untuk pergi dari tempat itu kecuali kalau dia mau mati. Sementara, badai yang menumbangkan pepohonan ditampilkan untuk menambah aksen angker latar pulau itu. Termasuk kabar bahwa tidak akan ada kapal yang merapatyang diyakini Teddy sebagai satu-satunya cara untuk lari dari pulau keparat itu.

Batasan waras dan tidak waras mulai pudar. Sulit dibedakan. Siapa yang gila dan siapa yang jahat juga menjadi rancu. Penonton seperti saya mulai menebak-nebak. Saya mulai menebak cerita ini sebenarnya menceritakan Teddy sendirilah yang menjadi pesakitan rumah sakit jiwa itu. Sutradara membawa saya pada kegilaan Teddy bersama seluruh halusinasinya.

Teddy merupakan seorang veteran perang yang traumatis berat yang dibalut sakit jiwa, rasa bersalah, dan paranoid. Ia gila setelah membunuh istrinya yang diceritakan telah membunuh tiga anaknya lebih dulu dengan menenggelamkannya di danau. Teddy menjadi seorang psikopat dengan kepribadian ganda. Saya jadi ingat film bergenre misteri, lupa judulnya, yang berkisah tentang seseorang yang berpetualangan dengan hantu-hantu di sebuah rumah. Ternyata, di ujung cerita, dialah yang menjadi hantunya.

Tapi, Martin Scorsese lihai membawa penonton kembali ke  asumsi awal bahwa Teddy seorang marshal waras yang sedang bekerja keras mengungkapkan konspirasi jahat. Ia seorang detektif yang malang yang dijebak dalam kompleks bangunan dengan arsitektur penuh intimidasi itu. Di tengah investigasinya, Dokter Cawley bersama Dokter Naehring mengabarkan Rachel sudah ditemukan. Teddy pun dipertemukan dengan Rachel.

Usai pertemuan itu, Teddy diserang migrain dan halusiansi. Termasuk ketika ia menemukan dan mengejar Andrew Laeddis di sebuah bangunan terpisah. Pengejaran itu mempertemukannya pada sosok George Noyce, mantan pasien Ashecliffe yang kembali lagi karena kasus pembunuhan.

Noyce membeberkan informasi tentang sebuah mercusuar di tepi pulau yang digunakan untuk eksperimen bedah kepala. Dia pula yang memberitahu Teddy bahwa dirinya dijebak di pulau dan meyakinkan dirinya hanya seorang diri dalam tugas investigasi itu. Saat itu, Teddy sudah berpisah dari Chuck Aule. Ia pun mulai meragukan Chuck Aule.

Hal ini dikuatkan saat sedang mencari Chuck yang hilang di karang, ia bertemu seorang perempuan yang ia yakini sebagai Rachel Solando yang sebenarnya. Perempuan ini bersembunyi di sebuah gua di dinding tebing. Perempuan itu meyakinkan dirinya  dalam bahaya. Ia pun menegaskan tidak ada lagi teman di pulau itu. Termasuk memperingatkan Teddy untuk tidak menerima rokok maupun minuman dari mereka karena sudah diberi obat khusus untuk mengontrol pikiran. Pertemuan dengan Rachel membuat Teddy semakin yakin adanya konspirasi bohong dari Dokter Cawley dan antek-anteknya.

Sampai akhirnya, Teddy pun memutuskan menerobos laut menuju mercusuar guna membongkar eksperimen jahat seperti dikatakan Noyce. Usai melumpuhkan dan merebut senapan milik penjaga, ia pun menerobos masuk sampai ujung mercusuar. Di sana, Dokter Cawley sudah menunggu di balik meja. Teddy langsung menodongkan senapan ke Cawley. Cawley mengatakan senapan itu kosong dan memang terbukti kosong. Tanpa lama, seorang masuk. Tak lain Chuck Aule yang sempat sebelumnya ia lihat terempas di karang.

Chuck mendekati Teddy sambil mengenalkan diri sebagai Dokter Sheehan—dokter yang selama ini mendampinginya menjalani masa terapi dan mengantarnya ke Shutter Island. Martin Scorsese mengguncang kemapanan berpikir penonton. Martin seakan mau membalik asumsi lagi  bahwa Teddy benar-benar seorang sakit jiwa dan bukan seorang marshal waras yang sedang membongkar konspirasi jahat. Kembali batasan waras dan gila menjadi tak jelas.

Sumber: fxguide.com

Di menit terakhir, digambarkan Teddy sedang bercakap dengan Dokter Sheehan, dan memanggilnya dengan Chuck Aule lagi. Teddy masih menganggapnya sebagai mitra untuk meneruskan investigasinya. Lalu Sheehan menatap dokter Cawley yang berdiri jauh di taman sambil menggelengkan kepala seolah memberikan sebuah kode tertentu yang sangat multitafsir bagi penonton. Teddy berjalan menuju taman disusul beberapa petugas rumah sakit. Teddy sempat melontarkan kalimat sakti: “lebih baik tetap hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik.”  Tamat!

Absurditas Multitafsir

Unjung film itu tampil blur dan tanggung. Menyisakan tanda tanya. Bagi mereka yang biasa nonton film-film dengan ending (akhir cerita) yang jelas, pasti akan menuai kecewa maupun kebingungan. Hal ini terbukti ketika film itu selesai, penonton bersorak dengan berbagai umpatan tanda kecewa lantaran ending-nya jauh dari harapan mereka.

Sementara, bagi penonton yang biasa dengan film-film psiko dan absurd, pasti sangatlah menikmati. Mengingat film ini berisi labirin-labirin cerita yang penuh kejutan dan lompatan. Menuntut perasan otak dan tak sekadar membiarkan emosi teraduk-aduk seperti dengan film kebanyakan. Mirip film-filmnya Alfred Hitchcock. Film itu menggantung satu pertanyaan: Teddy Daniels itu seorang sakit jiwa atau seorang marshal waras yang sedang melakukan investigasi dan terjebak di Shutter Island?

Akhirnya, Shutter Island kudu diperlakukan sebagai sebuah teks. Teks yang sarat multitafsir. Penonton bebas menafsirkan. Tidak ada yang salah dan yang benar.

Pertanyaan di atas bisa dijawab ya dan tidak. Andai film itu diteruskan, sutradara bisa menjadikan Teddy Daniels benar-benar seorang psikopat atau seorang detektif waras yang terjebak. Tapi, sutradara hanya mengantar sampai di situ saja. Jadi ingat apa yang dikatakan Roland Barthes. Ketika teks itu dibaca publik, pengarangnya sudah mati. Teks itu yang kemudian berkomunikasi dengan pembacanya. Justru, inilah yang menjadi keunggulan film ini. Kegamangan akhir film membuat film ini menjadi genit.

Penonton tak perlu merasa bersalah dan terteror dengan misteri cerita itu. Bahkan tak perlu ikutan ‘sakit jiwa’ dalam memahami film itu. Tapi, tak buru-buru juga menyimpulkannya sebagai film buruk.

Tak ada jawaban jelas dalam film berdurasi 138 menit itu. Biarkan film berakhir sebagai mana mestinya dan kita tak perlu ‘memperkosa’-nya agar film itu memberikan jawaban jelas dan memuaskan diri kita. Kadang, kita perlu membiarkan sesuatu berjalan absurd dan tak butuh penjelasan. Dan sesekali, kita lewat film tadi, belajar berani keluar dari tempurung kenyaman berpikir kita dalam menikmati sebuah narasi. Termasuk tulisan saya ini menjadi salah satu dari tafsiran-tafsiran tersebut.

Sayang sekali, saya belum membaca buku asli Dennis Lehane itu. Saya tak bisa melakukan komparasi. Kalau sudah baca, mungkin sekali tafsirannya akan sedikit berbeda atau malah berbeda sama sekali.

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog lawas saya, tertanggal 16 Maret 2010. Tanggal di blog baru kemudian disesuaikan.

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *