Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Sekoci

4 min read

Botol-botol bir. Kebal-kebul asap rokok. Kacang garing. Obrolan ngalor-ngidul. Inilah keramaian bersahaja dari “kebaktian pengusiran setan dingin” yang kami gelar di kedai gaul, Seven-Eleven. Maklum, cuaca berubah dingin ketika malam itu tiba. Baru satu jam, senja menghilang di balik gedung-gedung jangkung kawasan bisnis Sudirman. Langit menghitam seperti jelaga. Hitam seperti nasib  orang-orang yang bernaung di bawah langit ibukota. Khususnya, nasib empat laki-laki tulen yang sedang menggelar “kebaktian” itu. Senin, 10 Desember 2012.

Betul, empat laki-laki. Bapak-bapak semua. Kucel-kucel semua. Berprofesi penulis semua. Jahanam semua. Bernasib…hmm, hampir sama semua. Tapi, kami laki-laki baik-baik semua. Bukan komplotan begundal atau seperti laki-laki bertato mawar yang mayatnya ditemukan di terowongan Halim seperti diberitakan kembali malam ini di portal berita.

Malam beraroma bir dan nikotin itu menyuguhkan segudang cerita. Paling tidak saya sudah membungkusnya beberapa. Pertama, botol-botol bir dan batang-batang rokok menjadi sahabat membual yang baik. Meski untuk yang kedua saya tidak begitu yakin karena saya tidak merokok, belum pernah merokok, dan mungkin ditakdirkan untuk tidak merokok.

Kedua, sensasi menegak bir itu mampu meluruhkan kepenatan yang mengendap di ubun-ubun setelah sekian lama digempur kerjaan maupun deadline. Apalagi kalau salah satu dari kami– lelaki berbadan bongsor dan juga kumendan kami– mengajak angkat botol-botol bir tinggi-tinggi sambil berseru “kering-kering.” Itu artinya, kami harus menegak habis sampai kering bir yang ada di botol atau di gelas masing-masing.

Ketiga, hidup sebagai kuli. Kami berempat sebenarnya adalah kuli. Mirip seperti  kuli-kuli bangunan di seberang kantor kami. Kuli-kuli Ciputra yang sedang membangun gedung jangkung yang ujungnya menggapai “surga.” Angkut-angkut tanah. Menarik beton-beton. Menahan sengatan  matahari. Bermandi peluh. Beradu dengan kebisingan mesin-mesin dan dentingan baja-baja. Dan, tentunya bergumul dengan risiko kerja. Bedanya, kami bergumul dengan kata-kata, deadline, narasumber di lapangan, omelan, dan juga risiko kerja. Inilah kuli tinta — istilah yang populer di era Orde Baru untuk menyebut profesi wartawan.

Keempat, kisah tentang sekoci. Topik ini yang paling mencuri perhatian saya. Topik paling seksi di tengah aneka bualan yang menguar di antara kepulan asap-asap nikotin jahanam dari bibir-bibir hitam jelaga ketiga kawan saya. Sekoci adalah topik paling tidak basa-basi dari obrolan di malam beraroma bir dan nikotin itu.

Sekoci adalah cermin kegelisahan kami. Kegelisahan kami akan masa depan. Anda tentu tahu sekoci bukan? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan sekoci pertama-tama sebagai kapal penolong.  Biasanya terbuat dari kayu, serat, atau logam. Ia memiliki tangki udara yang kedap air untuk menambah daya apung. Dirancang dan dilengkapi dengan peralatan untuk penyelamatan jiwa di laut di dalam keadaan darurat.

Paling gampang membayangkan sekoci adalah dengan melihat televisi saat Jakarta menjadi kolam raksasa akibat banjir. Di tabung ajaib itu, tampak bagaimana aparat melakukan evakuasi korban banjir dengan ratusan sekoci. Kapal kecil, terbuat dari plastik pelampung, digunakan untuk misi penyelamatan.

Lebih dramatis lagi dengan nonton film Life of Pi yang belakangan diputar di sinema-sinema tanah air. Film besutan Ang Lee ini merupakan adaptasi dari karya novelis Yann Martel. Novel ini aku baca sekitar empat tahun silam. Singkat cerita, novel maupun film ini mengisahkan seorang anak laki-laki bernama Pi karena suatu sebab terombang-ambing dalam sebuah sekoci bersama hewan peliharaan ayahnya. Kapal besar bernama Tsimtsum yang mengakut hewan-hewan itu karam karena badai. Usai badai mereda, Pi mendapati dirinya berada dalam sekoci. Tanpa daya, dari sekoci itu, ia menyaksikan kapal besar tenggelam bersama keluarga dan awak kapal. Di sekoci itu, ia tak sendirian. Ia ditemani seekor zebra, orangutan, hyena, dan sang harimau bernama Richard Parker. Hukum alam membuat Pi tinggal berdua bersama macan besar di sekoci yang terombang-ambing di tengah samudra. Itu pun dengan pertaruhan hidup mati karena macan itu bisa sewaktu-waktu menerkam dan memakannya. Sekoci itulah yang menjadi seting utama pesan novel dan film tersebut. Mengesankan sekali bagaimana sekoci itu menjadi pergulatan iman seorang Pi dalam hidup yang diombang-ambingkan ketidakpastian. Di tengah samudra. Tak ada manusia lain. Tak tentu arah. Penuh bahaya.

Kalau ternyata belum baca novel maupun menonton film Life of Pi, Anda bisa menghadirkan kembali detik-detik karamnya kapal Titanic dalam film– saya pastikan Anda menontonnya — yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet itu. Bayangkan bagaimana orang-orang berebut sekoci untuk menyelamatkan diri dari kapal besar yang tenggelam pada tahun 1912 di samudera Atlantik itu.

Seperti itulah sekoci yang saya maksud. Kami menggelisahkan masa depan. Masa depan yang tidak pasti. Kami mengakui ada kekhawatiran — meski seringkali kami sangkal — tentang masa depan. 

Kami berandai-andai.  Bagaimana kalau tiba-tiba kapal besar — tempat kami bekerja– mendadak karam. Bagaimana kalau kami tidak betah berada di kapal besar itu. Bagaimana kalau kami dipaksa pergi. Bagaimana kalau kapal besar itu tidak sesuai dengan mimpi-mimpi kami. Di tengah aneka kekhawatiran itu, kami membincangkan serius tentang sekoci. Pertanyaan besarnya, bagaimana kami bisa mendapatkan sekoci itu?

“Saya menyiapkan sekoci sedikit demi sedikit. Buat jaga-jaga. Sebagai kepala keluarga, saya harus bisa menjamin asap dapur terus mengepul,” cetus seorang kawan.

“Saya belum punya gambaran tentang sekoci saat ini. Tapi, saya juga memikirkannya. Saya memikirkan masa depan anak dan istri saya,” sambung kawan lain.

“Saya mengambarkan hidup saya saat ini seperti berada di sebuah pulau. Dulu, ada kapal yang membawa saya. Begitu kapal itu mendamparkan saya ke pulau itu, kapal lalu saya bakar. Saya kemudian tak memikirkan lagi kapal lain untuk pergi dari pulau itu. Tapi, belakangan, kegelisahan muncul. Apakah pulau ini merupakan tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu? Mungkin saya tak perlu mengingkari kebutuhan akan sekoci. Atau, suatu hari nanti, mungkin akan ada kapal besar yang merapat ke pulau dan membawa saya ke negeri entah,” kata saya dalam kiasan-kiasan.

Sekoci, topik sangat seksi bukan? Bayangkan, empat laki-laki, bapak-bapak semua, kucel-kucel semua, jahanam semua, nasibnya sama semua, sempat-sempatnya curhat habis-habisan alias curcol tentang masa depan? Lagi pula, masa depan ini dipikirkan di antara botol-botol bir, kacang garing, dan puluhan batang rokok yang dihisap tanpa henti seperti kereta api yang melaju tanpa  stasiun untuk beristirahat.

Dalam kegundahan berjamaah itu, kami masih menanti jawaban dari seorang dari kami yang belum berkisah tentang sekoci. Dia memang sering menjadi orang paling terakhir untuk mengerti. Latah untuk menyangkal lebih dahulu setiap pertanyaan dan baru kemudian mengiyakan. Tapi, pemahamannya selalu jernih dan penuh kebijaksanaan. Tak salah bila kami sering memanggilnya “Pak Tuo”– tua dalam arti bijaksana. Dia sedang bungah karena belum lama Tuhan memberinya anak laki-laki melalui rahim istrinya. Dia tentunya — dalam pikiran saya — memiliki mimpi-mimpi tentang masa depan bayi laki-laki itu. Sebab itu, kami menanti-nanti dengan penuh penasaran jawaban tentang apa yang ia pikirkan tentang sekoci.

Pak Tuo melemparkan pandangan ke jalanan yang mulai sepi karena malam mulai melarut. Namun, dalam kilatan bola matanya, dia sebenarnya memandang ke arah nun jauh. Jauh yang bukan di luar sana, tapi jauh ke dalam hatinya. Ia menarik napas — paras kami mengerut tanda makin penasaran — dan dengan pelan ia berujar:

“Bagi saya, biarlah Tuhan sendiri yang akan mengirimkan sekoci.”

Sontak saya kaget. Mata saya terasa berbinar-binar. Demikian juga dengan paras kedua teman yang lain. Semringah mendengar jawaban Pak Tuo. Hati saya seperti tersihir gembira. Saya mendadak seperti Archimedes yang berteriak “Eureka!” saat tak sengaja menemukan jawaban. Saya juga bak seorang buta yang mendadak terbuka matanya setelah Yesus menjamah dan berseru dalam bahasa Aram “Efata!”

Sungguh, ungkapan sederhana itu begitu melimpah maknanya. Saya kemudian mengutipnya untuk dipasang di Facebook sebagai quote of the day. Itu adalah bahasa Iman yang benar-benar tulus. Bukan berarti kita pasrah bongkokan alias menerima pasif, tapi benar-benar membiarkan Tuhan berkarya dalam hidup kita, sesederhana dan sekecil apa pun. Bukankah ini yang akhirnya juga dialami oleh Pi dalam sekoci yang terombang-ambing di Samudra Pasifik selama 227 hari dengan seekor harimau Benggala. Inilah yang disebut oleh kotbah-kotbah di hari Minggu sebagai providentia Dei– Penyelenggaraan Tuhan.

Saya jadi diteguhkan kembali dengan kutipan dari penulis Injil. “Lihatlah burung-burung di udara. Mereka tidak menanam, tidak menuai, dan tidak juga mengumpulkan hasil tanamannya di lumbung. Meski begitu, Bapamu yang ada di Surga memelihara mereka. Bukankah kalian jauh lebih berharga daripada burung-burung itu. Perhatikan juga bunga-bunga bakung di padang. Bunga-bunga itu tidak bekerja dan tidak menenun, tapi Raja Salomo yang begitu kaya itu tidak memakai pakaian sebagus bunga-bunga itu. Rumput di padang tumbuh hari ini dan besok dibakar habis. Tapi, Allah mendandani rumput itu begitu bagus. Apalagi hai kalian yang kurang percaya.”

Obrolan malam itu pun tak lama kemudian usai. Paling tidak, obrolan itu membungkuskan segudang pelajaran berharga bagi kami, khususnya saya pribadi. Sekali lagi, kami mengangkat botol tinggi-tinggi, berseru “kering-kering!”, dan kemudian beringsut pulang ke rumah masing-masing. Bekasi, Cinere, dan Kebon Jeruk.

Payahnya, malam itu pun masih menyisakan aroma bir dan nikotin. Sampai pagi!

*Sumber ilustrasi: Flickr

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *