“Bapakku masih membaca kamus setiap hari. Ia bilang hidup kita tergantung pada kepiawaian kita menggunakan kata.”
(Arthur Scargill)
Masih teringat dengan kata-kata pusaka Rene Descartes, Cogito Ergo Sum? Filsuf aliran rasionalisme berdarah Prancis ini mengatakan bahwa aku berpikir maka aku ada. Bapak filsafat modern ini memandang manusia pada hakikatnya adalah pemikiran atau res cogitans. Baginya, kenyataan bahwa aku yang sedang meragukan segala sesuatu itu ada.
Nah, bagaimana kalau adagium agung itu diubah menjadi scribo ergo sum, aku menulis maka aku ada. Mungkin inilah yang diamini bagi siapa saja yang menjadikan jalan penulisan sebagai jalan hidup. Tulisan yang sedang Anda baca ini merupakan tulisan lawas saya. Tulisan ini saya “selamatkan” karena blog pribadi saya yang dulu sudah “tiada” karena dihapus dari mayantara. Ini prioritas karena tulisan ini menjadi landasan filosofis dari blog baru saya bernama Scriboers ini. Beberapa tulisan lawas saya tampung di sini sebagai dokumentasi.
Lanjut ke tulisan Scribo Ergo Sum. Menulis menjadi cara mengada (mode of being). Dengan kata lain, menulis sebagai cara bereksistensi. Ada hubungan erat antara menulis dengan mengada. Menyitir kata-kata Sindhunata, penulis novel Putri Cina (2007), mentautkan antara kepenulisan (schreiben) dengan keberadaan diri (sein). Dalam taraf tertentu, seorang menulis dalam rangka membangun identitasnya.
Boleh dibilang, seorang Pramoedya Ananta Toer mengada melalui novel-novelnya. Romo Mangunwijaya mengada melalui roman-roman sejarahnya. Sapardi Djoko Damono mengada melalui syair-syairnya. Kurnia Effendi mengada melalui cerpen-cerpennya. Kemengadaan mereka terwujud dalam berbagai bentuk kegelisahan, keprihatinan, sekaligus pergulatan batin yang mereka torehkan dalam lembar-lembar tulisannya. Pena dan kertas seakan menjadi nyawa mereka sendiri. Menulis sudah menjadi napas dan detak jantungnya. Sampai ada orang yang merasa dirinya tidak utuh kalau tidak menulis sehari saja. Bahkan, pada titik ekstrem, orang benar-benar menjadi ‘gila’ ketika dipaksa tercerabut dari kegiatan menulisnya.
Ada film bagus yang menggambarkan hal ini. Judulnya Quills. Quills mengisahkan seorang penulis Marquis de Sade (1740-1814) yang hidup pada masa Revolusi Prancis. Ia menghuni sebuah rumah sakit jiwa pimpinan seorang pastor Katolik Juaquin Phoenix. Kegiatan sehari-hari Marquis adalah menulis dengan menggunakan bulu ayam (quills) yang dicelupkan dengan tinta, cara menulis populer kala itu.
Tapi, masalah muncul lantaran Marquis menulis cerita-cerita erotik, jorok, dan bernada mengolok-olok pada Napoleon, penguasa Prancis saat itu. Ia menyelundupkan naskah-naskahnya melalui seorang tukang cuci rumah sakit kepada seorang penerbit di Paris. Buku Marquis pun beredar. Lantaran merasa wibawanya dirong-rong oleh karya Marquis, Napoleon mengutus Michael Caine untuk membujuk Marquis agar tidak menulis lagi. Caine pun menyita alat tulis dari kamarnya.
Tapi, Marquis tetap menulis. Apalagi saat mengetahui banyak orang dan penghuni rumah sakit doyan dengan cerita-cerita Marquis. Seks jadi barang tabu. Tapi, pentabuan telah melahirkan kemunafikan. Karena kebandelannya, pemimpin rumah sakit memerintahkan agar semua alat tulis disingkirkan dari kamarnya.
Marquis tidak kehilangan akal. Ia mengubah tulang ayam dari menu makan malamnya menjadi pena. Sementara, anggur sebagai minumannya menjadi tinta. Ia menulis pada selimut. Kain penuh tulisan itu pun dibawa si tukang cuci untuk disalin. Salinannya dibawa ke penerbit. Lagi-lagi menggemparkan. Ujungnya, Marquis harus dikurung dalam kamar tanpa benda apa pun.
Obsesi Marquis pada kebebasan mendorongnya untuk tidak patah arang. Ia memecahkan kaca, mengoreskannya pada tubuhnya, dan menulis di seluruh pakaian yang ia kenakan dengan darahnya. Lantaran kepergok, ia pun dihukum bugil. Entah apa yang ada di otak Marquis. Ia tidak kapok juga. Ia membisikkan sebuah cerita kepada penghuni lain melalui tembok kamar yang sudah dilubangi.
Cerita itu diteruskan secara bisik-bisik dari kamar ke kamar melalui tembok yang sengaja dilobangi. Bisik-bisik itu pun sampai di kamar si tukang cuci yang kemudian menuliskannya di kertas. Akibat ulahnya ini, Marquis harus menerima hukuman paling keji. Seorang jagal diperintahkan untuk memotong lidahnya. Namanya bukan Marquis kalau tidak menulis lagi. Ia menulisi seluruh tembok kamar dengan kotorannya. Sampai akhirnya, ia mati karena fisiknya tidak mampu menanggung hukuman berat itu.
Marquis mati. Tapi karyanya tidak mati. Beberapa karyanya menjadi kekayaan literatur Prancis. Sebut saja Les 120 Journees de Sodome, Les Infortunes de la Vertu (1787), Justine (1791), Juliette (1797), dan sebagainya.
Bergulat dengan Kedirian
Menulis bagi Marquis dan para penulis lainnya adalah menggulati keberadaan dirinya. Tidak sekadar ada secara fisik. Tapi ada bersama kegelisahan batin, keprihatinan, rasa sakit, kebingungan, kebuntuan, jalan terang, keragu-raguan, dan sebagainya. Menulis menjadi jalan katharsis (pembebasan) dari realitas hidup yang serba terbatas. Dalam proses menulis, orang tidak jarang menjumpai kesepian dan kesendirian. Dalam kesepian yang beraroma reflektif ini, orang bertanya tentang dirinya dan tentang dunianya. Justru dalam kesepian, orang menjadi seperti dikatakan Sindhunata sangat liar.
Tidak jarang, orang menulis untuk bertahan hidup. Bukan sebatas royalti, tapi ketika orang menulis, ia merajut pengharapan. Lebih-lebih dalam situasi ekstrem seperti penindasan maupun pembuangan. Misalnya, Pramoedya dengan karya-karya tersohornya lahir justru di Pulau Buru. Imre Kartez, novelis Hongaria yang hidup dibawah kekejian Nazi Jerman. Fyodor Mikhailovich Dostoevsky menulis dalam kamp dan terbekap hawa dingin Siberia. Ho Chi Minh menulis puisi A Comrades Paper Blanket di penjara. Masih banyak contoh lain.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa menulis menjadi sarana eksis di ruang publik. Sekarang ini, orang lebih diakui bukan lantaran banyaknya kekayaan atau tingginya posisi jabatan maupun pendidikannya, tapi berapa banyak buku yang ia tulis. Seorang guru besar akan disegani lewat karya-karya tulisnya. Bahkan, seorang artis akan mendapat nilai plus bila ia menulis buku.
Nah, menulis tidak lain adalah cara mengada. Baik dalam ruang privat (kedirian) maupun eksis di ruang publik (pengakuan). Dan menulis adalah cara mengada secara abadi. Ernest Hemingway sudah mati. Tapi, buku-bukunya seakan mengabadikan pengarangnya. Menulis itu mengatasi kemewaktuan. Ia terus dibaca hingga sekarang. Persis yang dikatakan oleh Pramoedya, orang boleh pintar setinggi langit, tapi kalau tidak menulis ia akan hilang ditelan zaman. Menulis adalah bekerja pada keabadian.
Dus, kenapa Anda tidak menulis?