“Kegetiran, kebengisan, dan pelecehan seksual. Inilah yang dilakoni Shoko Tendo. Putri mantan bos Yakuza ini pernah diperkosa beberapa kali, digebuki seperti binatang, keluar masuk penjara, dan menjadi bajingan tengik semenjak remaja. Dia menjadi bandit Yanki dengan tato di sekujur tubuhnya.”
Apa yang terlintas di benak Anda bila mendengar kata Yakuza? Organisasi kriminal di Jepang? Pembantaian di bar-bar beraroma minuman keras atau di sentra-sentra perjudian ilegal? Jual beli narkoba dan tawuran antargeng mafia? Kriminalitas dan segala ragam kekerasan lainnya? Benar adanya bila asumsi kekerasan melekat dalam kata Yakuza.
Paling tidak, asumsi kita yang jauh dari kehidupan nyata Yakuza, mungkin muncul karena film-film atau bacaan yang kita konsumsi. Ada adegan adu jotos, kebal-kebul asap nikotin, lempar botol minuman keras, hukuman sadis untuk anggota geng yang menyimpang, bentrok antarkelompok, perkosaan, suntik narkoba, bar-bar penuh alkohol, perempuan-perempuan bahenol, bisingnya mesin judi, dan sebagainya.
Kali ini, saya ingin membagikan kisah dari catatan yang tercecer tentang Yakuza. Tepatnya, perjumpaan dengan putri seorang mantan bos Yakuza. Tidak di film-film. Tidak di berita-berita. Tidak pula di novel-novel. Tapi, saya bertemu langsung, duduk bersama di satu sofa, tanpa jarak. Saya menuliskannya dari coretan-coretan yang tersisa. Mumpung ingatan ini belum tanggal juga dari kubikel-kubikel memori di otak saya. Muncul rasa berutang besar bila berjumpa dengan orang-orang istimewa tetapi saya belum menuliskannya di halaman putih ini.
Namanya Shoko Tendo. Tendo merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Hiroyashu dan Satomi. Di kalangan pecinta buku sastra, Tendo cukup populer. Dialah yang menulis memoar berjudul “Yakuza Moon” atau “Yakuza na Tsuki”. Oleh Gagas Media, buku yang terbit pertama tahun 2004 ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul serupa “Yakuza Moon: Memoar Seorang Putri Gangster Jepang” pada tahun 2008.
Penerjemahnya saya kenal, yakni mas Sulak alias AS Laksana – penulis Bidadari yang Mengembara dan Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu. Terjemahannya mengalir dan enak dibaca. Pilihan diksi yang kontekstual cukup membantu memahami atmosfer kehidupan Shoko Tendo, sang tokoh sentralnya. Saya pernah satu atap dengan Mas Sulak saat bersama-sama mengerjakan sebuah tabloid untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Perjumpaan dengan Shoko-chan terjadi berkat undangan Richard Susilo. Richard mengundang beberapa media untuk meliput pameran dan seminar pendidikan Jepang di Hotel Pullman, Bunderan HI, 24 Agustus tahun lalu. Salah satu narasumber istimewanya adalah Shoko Tendo. Richard sendiri aktif sebagai wartawan sejak tahun 1976. Ia mendedikasikan diri untuk mempromosikan pendidikan dan budaya Jepang. Buku terbarunya berjudul “Yakuza Indonesia” (Penerbit Kompas, 2013).
Kisah hidupnya cukup mencuri perhatian saya. Apalagi dia seorang putri mantan bos Yakuza dan penulis buku yang selama ini tak begitu saya perhatikan. Bertemu dengan seorang penulis buku senantiasa membuncahkan kegirangan dalam hati saya. Untungnya Richard membiarkan beberapa wartawan untuk berdialog dengan Shoko selama satu jam di sebuah ruang tertutup.
“Pengalaman terberat dalam menulis buku ini bukanlah melawan ketakutan akan ancaman komunitas Yakuza karena banyak membeberkan cerita tentangnya. Tetapi, mengalahkan diri saya sendiri saat menumpahkan kenangan-kenangan pahit dalam hidup saya,” ujar Shoko.
Tak gampang memang berbagi kisah getir dalam hidup kita. Lebih mudah berbagi kisah bahagia ketimbang kisah pahit yang sering ditabukan oleh masyarakat. Saya salut dengan kejujuran Shoko dalam memoarnya. Memoar Shoko ini meneguhkan pemahaman saya akan apa yang disampaikan oleh Sindhunata, penulis Anak Bajang Menggiring Angin, aktivitas menulis adalah aktivitas askestik yang tak lain adalah perjuangan menaklukkan diri sendiri.
Shoko berhasil menaklukkan diri sendiri dalam buku yang mulai ia tulis sejak tahun 2002 tersebut. Membaca memoar setebal 245 halaman ini (edisi terjemahan) memang butuh perjuangan. Bukan lantaran gaya menulisnya yang buruk, tetapi karena kisah-kisah yang diceritakannya sungguh tragis.
Shoko sangat vulgar dan blak-blakan tentang sisi kehidupan gelapnya – sisi kehidupan yang mungkin oleh orang kebanyakan akan disimpan rapat-rapat sampai ke liang kubur. Saya angkat dua jempol untuk Shoko. Benarlah ungkapan yang bilang kebenaran itu menyakitkan.
“Saat kecil, saya pernah melihat ayah saya menerima kado dari seorang anak buahnya berupa potongan jari kelingking yang dibungkus sapu tangan putih milik anggota Yakuza yang melanggar aturan,” ujar perempuan yang lahir di musim dingin 1968 ini.
Saya ibaratkan Shoko Tendo pernah mengalami masa-masa hidup di titik nol. Titik terbawah dari kehidupan normal orang kebanyakan. Dia jatuh dalam kehinaan yang sehina-hinanya. Dia lahir dari keluarga Yakuza. Dia hidup dalam lingkaran kekerasan.
Status sebagai anak bos Yakuza membuatnya terkucil di lingkungan pergaulan. Dia pun masuk dalam dunia hitam sejak umur 12 tahun. Dia disingkirkan oleh teman-teman sekolah dan guru-gurunya. Ia memilih hidup dalam lingkaran setan. Mabuk, narkoba, keluyuran, menghabiskan malam di klub-klub pesta, mengecat rambut, menghirup thinner, melakukan seks bebas, keluar masuk penjara, menjadi gundik, mentato tubuhnya, dan sebagainya.
Sosok Shoko mengingatkan saya pada Lisbeth Salander, seorang junkie dalam film “The Girl With the Dragon Tatto.” Saya menontonnya pada film versi anyar yang dibintangi oleh Daniel Craig dan Rooney Mara. Gaya Shoko saya gambarkan seperti Salander. Tomboi dan doyan blusukan di dunia gelap, termasuk pernah diperkosa. Shoko sendiri juga mentato gambar naga di kedua lengannya, di samping tato besar bergambar Jigoku Dayu. Jigoku Dayu merupakan pelacur kelas atas di era Muromachi.
Sebagai perempuan pun ia menjadi sosok yang terpinggirkan. Meski di lingkungan Yakuza, perempuan di beri tempat, tapi pada kenyataannya tetaplah marginal. Keluarga penganut patriarkis ini tak segan-segan menghukum penuh kekerasan para perempuan yang dianggap melanggar aturan.
Beberapa pacarnya merupakan para psikopat. Salah satunya, Maejima. Dia seorang mantan anggota Yakuza. Pernah berbisnis bersama ayahnya dan kemudian menjadi lintah darat. Maejima dianggap sosok paling kasar. Dari pacar-pacar bajingan itu, Shoko bertubi-tubi mengalami kekerasan. Diperkosa, dipukuli, ditendang, digebuki seperti binatang, dan sebagainya.
Ito, seorang Yakuza yang berusia 10 tahun di atasnya, juga pernah merebut hati Shoko. Meski akhirnya Ito tak ubahnya seorang psiko keparat yang doyan memukul dan membanting Shoko. Shoko mau lari dari setan begundal ini. Tapi, Shoko selalu dikejar untuk diajak paksa bercinta dan dipukuli. Sampai akhirnya, Takamitsu, seorang Yakuza dan kekasih baru Shoko, mengetahui perbuatan Ito. Taka memburu Ito dengan revolver kaliber 38 dengan tiga butir peluru. Perbuatan Taka membuatnya harus kehilangan jari kelingkingnya karena dianggap melanggar sumpah seorang Yakuza.
“Aku harus melakukannya. Aku tidak sanggup menjadi Yakuza jika itu tidak berarti tak melakukan apa-apa terhadap orang yang telah menganiaya perempuanku. Tidak seorang pun merendahkan Yakuza,” kata Taka seperti ditulis Shoko.
Shoko membungkus rapat pengalaman pahit ini dari mata keluarganya. Perkosaan bisa menjadi aib bagi keluarga yang sungguh memalukan. Ia memilih diam sampai kedua orangtuanya meninggal dan ia memberanikan diri menulis memoar ini.
Titik nol juga Shoko alami dalam ekonomi. Virus TBC menghancurkan paru-paru ayahnya saat bisnisnya pailit. Keluarga Hiroyashu terjerat utang-utang pada rentenir. Hiroyashu pun kehilangan respek sebagai mantan pentholan Yakuza. Rumah megah selayaknya showroom mobil-mobil mewah itu harus mereka ditinggalkan dan pindah ke kontrakan kecil. Hidupnya menyisakan cibiran dan ejekan.
“Setiap hari, penagih utang tak pernah absen mendorong pintu atau jendela dan berteriak-teriak. Aku meledak di bawah tekanan. Setelah salah satu bajingan itu menghina ibuku dengan melemparkan tali, aku menghantamkan tinjuku ke meja dapur,” tulis Shoko dalam bukunya.
Sampai akhirnya ibunya meninggal pada tahun 1991. Lalu disusul bapaknya enam tahun kemudian. Di hari-hari terakhir, Shoko menemukan pengalaman bahwa dalam jalinan hidup yang keras dan getir tersebut, ia menemukan cinta dari kedua orangtuanya.
Kemudian Shoko tergerak untuk menulis buku. Ada dua alasan yang disampaikan Shoko dalam sesi dialog itu. Pertama, ia menulis buku agar mendapatkan duit untuk menyambung hidup. Kedua, ia ingin berbagi inspirasi. “Saya ingin memberi kekuatan dan semangat kepada para perempuan korban kekerasan seksual dan juga para pencandu narkoba untuk bangkit,” ujarnya.
Saat ini, Shoko menjadi seorang single mother atas seorang putri yang usianya belum genap sepuluh tahun. Harapan Shoko tandas. Dia tidak mau putrinya mengalami hal-hal pahit seperti yang ia alami di masa lalunya.
***
Perjumpaan dengan Shoko dan pembacaan atas karyanya ini menyuguhkan banyak inspirasi bagi saya. Pertama, rekonsiliasi atas masa lalu. Segetir-getirnya dan sehina-hinanya masa lalunya, Shoko akhirnya mampu berekonsiliasi dengan hidupnya tersebut. Tak gampang memang. Dan, cara berekonsiliasi tak lain adalah membagikan kisah hidupnya dengan segala persoalan yang membelit seperti ular pohon itu kepada orang lain. Bukankah memang ketika berbagi kisah jujur atas persoalan, hidup kita menjadi ringan? Salutnya, Shoko berekonsiliasi dengan tulisan.
“Sakit rasanya mengingat masa lalu yang jorok ini. Namun, di sisi lain, menuliskan bagian ini amatlah melegakan. Aku membebaskan diriku dari monster-monster yang menghantuiku dan merasa sanggup tersenyum untuk pertama kali setelah sekian lama,” tulis Shoko dalam catatan akhir bukunya.
Inspirasi kedua, rekonsiliasi membutuhkan penerimaan diri dan kejujuran. Untuk berdamai dengan masa lalunya, Shoko harus jujur apa adanya dan menerimanya. “Berkali-kali, kata-kata tidak mengalir dan aku menjadi kecil hati. Akhirnya, aku menyadari bahwa yang penting dalam menulis biografi bukanlah menjadikan diri sendiri tampak baik atau menciptakan proses yang indah. Tetapi, kejujuran pada diri sendiri,” katanya.
Inspirasi ketiga, pengalaman adalah guru yang utama. Sekelam-kelamnya pengalaman hidup, itu merupakan perjalanan yang tak boleh dianggap remeh. Ketika orang mampu menjumput butir-butir hikmah kehidupan dari lumpur kehidupan gelap ini, hidup pun menjadi bergelimang makna. Shoko menyimpulkan semua ini.
“Bukan kulit luar yang penting, tetapi bagaimana menjadikan pengalaman kita sebagai sesuatu yang terbaik bagi jiwa kita…Masih banyak tentang kehidupan yang tidak kupahami tetapi aku menganggap sedih dan bahagia yang dihadirkan oleh cinta adalah sesuatu yang mendewasakan kita,” kata Shoko.
Demikian Shoko Tendo, perempuan hebat yang saya jumpai dalam sepenggal dialog dan larik-larik cerita dalam memoar yang ditulisnya. Kokoro kara kansha shimasu!
*Tulisan ini diposting kembali dari blog lawas yang sudah raib. Terbit pada tahun 2014.
Cerita tentang gangster memang menarik