Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Babi-Babi Metropolitan

4 min read

Pada suatu ketika saya dihujani tawa oleh seorang kawan sekantor. Ceritanya begini. Pada tengah hari, seperti biasa, kami turun dari gedung kantor ketika jam makan siang tiba. Kami memilih menyusuri sebuah gang sempit sekitar 15 meter samping gedung kantor. Maklum, meskipun kantor berada di kawasan mal yang kinclong, perut kami tidak bisa menipu: perut proletar. Lebih tepatnya, tidak tega merogoh kocek lebih dalam untuk makan di dalam mal. Bolehlah makan di mal, tapi jangan keseringan. Bisa-bisa, miskin beneran.

Sepanjang perjalanan menuju tempat makan – entah warteg, warung tongseng, warung ayam bakar – saya sibuk dengan handphone saya. Kepala saya menunduk dan tatapan tersedot pada layar lima inci di smartphone saya. Lalu, “gubrak!” saya menubruk sepotong tiang besi yang ditanam di tengah gang. Selangkangan langsung terasa linu seketika – terutama bagian tubuh paling vital itu. Teman saya sontak tertawa terbahak-bahak. “Modyaro! Jadi, orang seperti babi, jalannya menunduk, tapi tidak lihat jalan!” demikian teman itu mengumpati saya dengan wajah girang.

Pengalaman konyol tersebut telah menyadarkan saya. Tentang apa? Tentang tren orang-orang masa kini yang senang berjalan dengan kepala menunduk, kedua tangannya memegang sebuah perangkat sebesar tempe mendoan, dan tatapannya tertancap di layar mendoan itu. Analogi “babi” dari teman saya tadi mungkin tepat. Lalu, saya mau menyebut orang-orang tersebut – termasuk saya dan mungkin Anda – sebagai babi-babi metropolitan.

Saya pikir Anda yang sedang membaca tulisan ini juga setuju. Coba saja lihat orang-orang di sekeliling, entah di mal, trotoar, di halte bus, di dalam bus, di balik jendela mobil, orang-orang sibuk dengan ponsel pintar mereka. Bahkan, hampir tiap hari, dalam perjalanan dari rumah di Kebon Jeruk menuju Kota Kasablanka, saya menjumpai orang-orang yang mengendarai sepeda motor sambil nekat dengan salah satu tangannya memegangi ponselnya. Saya kadang penasaran seberapa penting pesan di dalam ponselnya itu sehingga pemotor itu berani mempertaruhkan nyawanya – bahkan mengorbankan nyawa pengendara lain. Dari sini, kesimpulannya jelas, ponsel pintar belum tentu membuat penggunanya makin pintar.  Edan memang. Palingan, kalau menabrak trotoar atau bus yang lagi ngetem atau kecemplung selokan, baru tahu rasa orang itu. Mampus!

Pemandangan ini belum saya temukan sepuluh atau lima belas tahun silam. Orang-orang melangkah dengan normal, melihat jalan, dan mengamati lingkungan sekitar. Bahkan, kalau berpapasan orang saling melempar pandang atau secuil senyuman meski tidak kenal. Tetapi, sekarang, tak jarang, orang-orang yang sudah saling kenal tidak saling menyapa saat berpapasan karena perhatiannya terserap ke layar ponselnya. Lucunya – ini menurut riset kecil-kecilan saya – meski orang-orang itu tidak melihat jalan, tetapi orang itu tahu kapan belok, kapan menghindari sesuatu sambil cengar-cengir sendiri. Kayaknya, saya saja yang apes dan mampus di siang bolong itu.

Sementara itu, di dunia industri telekomunikasi, pasar Indonesia tak henti-hentinya dibanjiri oleh aneka ponsel dari yang mahal sampai yang murah. Pokoknya ponsel pintar, yang artinya membuat orang pintar Twitteran, Fesbukan, nge-Path, Whatsappan, dan sejenisnya. Itu saja, tidak kurang dan tidak lebih.

Terasing dalam Konektivitas

Tren tersebut mengingatkan saya pada salah satu novel yang ditulis oleh penulis Portugis Jose Saramago berjudul “Blindness”. Novel ini pertama terbit pada tahun 1995 dan kemudian diadaptasi dalam sebuah film dengan judul sama. Saya membaca kisahnya dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Ufuk.

Novel ini mengisahkan sebuah epidemi yang mendadak menyerang sebuah kota. Tiba-tiba penduduknya buta. Sopir angkutan buta, dokter buta, anak-anak buta, pelacur buta, pencuri mobil buta, semua buta. Dunia menjadi putih susu. Lalu, tragedi kemanusiaan tiba. Sebuah kekuasaan bernama negara akhirnya mengkarantina seluruh isi kota dan mengirim segerombolan tentara sebagai penjaganya. Penerbit menyimpulkan novel besutan penulis yang mangkat pada 18 Juni 2010 ini sebagai kisah tentang masyarakat yang sakit.

Apa hubungannya dengan “babi-babi metropolitan” tadi? Euforia internet, ponsel pintar, dengan segala tetek-bengeknya itu di satu sisi merupakan merupakan fenomena yang patut disyukuri. Konektivitas yang diusung telah menghubungkan orang-orang dari segala kalangan, lintas gender, lintas suku, lintas negara, lintas benua, dan lintas segala perbedaan. Bahkan, internet bisa menghubungkan orang-orang yang selama ini “hilang.”

Di sisi lain, konektivitas itu justru menghasilkan diskonektivitas – keterputusan – baru di era sekarang. Diskonektivitas ini bisa jadi memiliki dampak jauh lebih parah di era sekarang ketimbang diskonektivitas di era sebelum internet tiba. Kenapa? Pasalnya, konektivitas semu saat ini lebih sering memutuskan hubungan-hubungan yang utama dalam masyarakat modern. Konektivitas saat ini di sisi lain menghadirkan alienasi – keterasingan – dalam hidup manusia-manusia modern.

Apa buktinya? Tidak jarang, misalnya, kehadiran ponsel pintar telah mengubah suasana keluarga modern. Perhatian orangtua kepada anak-anaknya bisa berkurang karena benda ajaib ini. Perhatian anak-anak juga terpecah karena lebih senang menggauli gadgetnya. Mereka lebih senang belajar perilaku dari tokoh-tokoh virtual dari aplikasi games di tabletnya ketimbang sosok ayah maupun ibunya. Kehadiran ponsel pintar juga telah membuat orang tidur lebih larut dan menyingkirkan bacaan-bacaan pengantar tidur. Gadget-gadget ini juga telah mengubah kebiasaan hidup harian orang-orang masa kini.

Olokan yang mengatakan gadget telah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat memang ada benarnya. Orang juga dibuat lebih gelisah karena ponselnya ketinggalan ketimbang barang lain. Ada istilah baru untuk menggambarkan hal itu, yakni Nomophobia. Istilah ini merupakan kependekan dari no-mobile-phone phobia. Terminologi ini merepresentasikan perasaan panik dan gelisah dalam diri orang lantaran terpisah dengan ponsel pintarnya. Nomophobia merupakan gejala klinis akibat adiksi ponsel pintar.

Di sisi lain, muncul juga tren “Mangan ora mangan, sing penting Connect” (makan tidak makan yang penting terhubung), demikian “adagium” orang-orang sekarang. Orang-orang sekarang sibuk dengan ponselnya. Bahkan, banyak yang menggelar janji kopi darat, tetapi ironisnya, begitu berkumpu di suatu tempat, mereka kembali sibuk dengan ponsel masing-masing.

Pada titik ekstrem, terminologi “blindness” Jose Saramago tepat juga untuk menggambarkan kondisi seperti itu. Ironis bila konektivitas yang dicari justru memberikan diskonektivitas bagi pencarinya. Orang-orang justru “buta” dan “terputus” dengan orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Distraksi dan ketidakfokusan menjadi “penyakit” orang-orang saat ini. Perhatiannya terpecah-pecah. Belum lagi, kebiasaan menelan informasi patah-patah di layar ponsel membuat orang-orang ini juga tidak tahan dengan kedalaman  — entah kedalaman informasi maupun kedalaman berpikir. Yang dikunyah serba permukaan dan superfisial.

Apakah ponsel ini salah? Sama sekali tidak. Ponsel pintar dan teknologi tidak salah. Kita sangat berterimakasih pada para inovator teknologi yang mampu mengembuskan angin perubahan bagi kehidupan masyarakat modern yang jauh lebih baik dibanding masa-masa sebelum teknologi berkembang seperti sekarang.

Yang salah adalah manusianya yang akhirnya justru tidak ketularan pintar ketika menggunakan aneka perangkat pintar tersebut. Yang ada sebaliknya, ketergantungan – dalam sisi lain memuja – yang akhirnya membuat kita terasing dengan lingkungan, orang-orang sekitar, Tuhan, dan bahkan dengan diri kita sendiri. Indikasinya jelas. Misalnya, sibuk di media sosial tidak serta merta orang itu menjadi sosial. Bahkan, tak jarang, orang yang paling cerewet di media sosial menjadi orang yang justru paling kesepian.

Solusinya? Solusi ada pada diri kita sendiri. Kita perlu mengambil jarak dengan teknologi. Kita mengembalikan kesadaran kita bahwa teknologi itu merupakan sarana untuk mengejar tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Bagi kita yang tenggelam dalam tsunami informasi dan justru sering membuat hidup kita kelimpungan dan tanpa arah, kita perlu melakukan diet informasi.

Kita perlu juga belajar mengambil jarak dengan ponsel pintar kita agar kita tidak menjadi “babi-babi” metropolitan yang doyan berjalan menunduk dan lupa dengan dunia sekitar, yang tentunya jauh lebih indah dan berwarna daripada dunia yang berada di dalam layar ponsel kita yang tak jarang memedihkan mata tersebut.

Jadi, Anda bukan babi-babi itu bukan? Namun, sebelum menjawab, mari kita buktikan kebenaran apakah semua babi itu berjalan menunduk. Nah!

*Tulisan ini pertama diterbitkan di blog lawas yang raib pada 19 September 2015. 

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Jurnalisme Sol Sepatu

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah” sangat menarik. Selain menarik, pesan tersebut juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti...
Sigit Kurniawan
4 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *