Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Sang Penyintas Holocaust Ini Telah Pergi

7 min read

Di pengujung tahun 2015, saya mencoba mengirim surat elektronik kepada dirinya. Dialah Max Stern, lelaki tua dan seorang penyintas holokaus Nazi Jerman yang pernah saya jumpai dalam sebuah pameran perangko di Jakarta pada tahun 2012. Dia tinggal di Melbourne, Australia. Surat saya tidak terbalas sekian lama. Tak seperti surat saya sebelumnya yang ia balas dengan kata-kata penuh keriangan.

Lalu, di pengujung tahun berikutnya, saya ingat kembali sosoknya dan mengais-ngais kota surat Google saya untuk mencari balasan dari Max. Tetap nihil. Dan, saya mencoba browsing tentang sosoknya. Ternyata, laman The Sydney Morning Herald memberitakan Max Stern sudah wafat pada 11 Februari 2016. Duka mendalam pun menggerus rasa rindu kala itu.

Berikut saya terbitkan kembali tulisan tentang perjumpaan saya dengan sosok istimewa ini dari blog lawas saya yang sudah raib. Namun, tulisan ini berhasil saya temukan lagi berkat bantuan mesin ajaib “wayback machine.” Tulisan ini sebagai penghormatan saya pada dirinya.

Lelaki ini pernah mendekam di kamp konsentrasi Sachsenhausen yang dingin. Ayah, Ibu, dan saudaranya dibunuh di kamar gas Auschwitz.  “Forgive, yes. Forget, never!” tandas lelaki ini.

Lelaki tua dengan badan sedikit bungkuk itu duduk bergeming di bangkunya. Sesekali melempar obrolan dengan gadis muda berparas Mongolia. Sesekali menyapa pengunjung stand perangkonya. Lelaki dengan uban di kepala dan keriput di wajahnya itu menjadi sosok yang paling mencuri perhatian saya di seantero Hall A, Jakarta Convention Center yang hari itu jadi tempat Festival Filateli Dunia.

Saya mendekat. Saya semakin terpikat ketika buku dengan sampul dirinya terpajang di dalam etalase tempat ia memajang perangkonya. Saya memastikan foto di sampul buku itu adalah lelaki tua itu. Maklum, foto di sampul buku itu kelihatan jauh lebih muda.

Saya bertanya pada gadis berparas Mongolia tersebut. Ia mengangguk membenarkan. Lalu, saya menyapa lelaki tua itu meminta waktunya untuk sepotong obrolan. Lelaki itu menarik saya masuk ke konter. Lalu mempersilakan duduk. Obrolan selama 26 menit itu diawali dengan saling bertukar kartu nama.

Namanya Max Stern. Di kartu namanya tertulis nama perusahaan, Max Stern & Co—diler perangko dan koin. Alamatnya di Port Philip Arcade, Melbourne. Max Stern & Co menjadi salah satu peserta Festival Filateli Dunia di Jakarta Convention Center, 18-24 Juni 2012.

“Apa arti perangko-perangko ini bagi Anda?” tanya saya membuka obrolan.

“Semua sudah saya kisahkan dengan detail, termasuk sejarah hidup saya, dalam buku yang diterbitkan pada 1999 berjudul My Stamp on Life. Itu kisah saya dari usia belasan sampai dewasa,” kata Max yang siang itu memaki baju kerah putih berdasi dibalut baju sweater.

Max juga menyebut buku kedua The Max Factor, My Life as a Stamp Dealer—buku yang dipajang di etalase tadi— yang isinya pengalaman dia berjualan perangko. Buku kedua ini, sambung Max, sudah diterjemahkan dalam empat bahasa, yakni China, Jepang, Jerman, dan Slovakia. “Jika Anda sungguh-sungguh ingin mengetahui kisah hidup saya, saya akan bahagia sekali bila saya juga akan menandatangani buku itu untuk Anda,” kata Max.

***

Perjumpaan perdana dengan Max membuat saya makin ingin tahu siapa dirinya sebenarnya. Apalagi di obrolan 26 menit itu ia menyebut masa remaja yang kelam saat Holokaus Nazi menimpa kampung halamannya. Namanya yang keyahudi-yahudian membuat saya segera berselancar di Google. Betul, ia adalah seorang tukang perangko dari keluarga Yahudi yang lolos dari tentara Nazi dan kini merajut hidup di usia senjanya. Google merekam sedikit sekali tentang dirinya. Rasa ingin tahu pun menghebat. Perjumpaan kedua digelar pada hari berikutnya, Selasa (19/06/2012). Pada tempat yang sama. Kali ini, saya ditemani seorang rekan jurnalis, Rina Hutajulu.

Kami ingin menanyakan hal-hal personal, khususnya pengalamannya di masa pendudukan tentara Jerman pada Perang Dunia II. Kami meminta izin lebih dulu— maklum mungkin karena budaya Timur membuat kami jengah.  “Mengapa tidak?” kata dia sambil mempersilakan kami duduk. Dengan paras semringah, Max bertutur panjang lebar.

Max dilahirkan pada 1921 dari sebuah keluarga Yahudi Ortodoks di Bratislava, Czechoslovakia. Dia mengaku sudah menggandrungi perangko sejak umur 13 tahun.  Saat itu, Max bertutur, ayahnya, Moses, mengajaknya ke perayaan keagamaan. “Di situ, ayah memperkenalkan perangko pada saya. Pada 1934, saya sudah menjadi seorang kolektor perangko. Pada 1937, ayah  mengirim saya ke Wina, Austria, untuk belajar engineering,” kata Max.

Sayangnya, hanya kurang lebih setahun Max mengenyam bangku sekolah di sana. Pasalnya, pada 1938, tentara Jerman berhasil menduduki Austria. Max terpaksa pulang kampung. Kereta api membawanya dari Wina ke Czechoslovakia dengan jarak 60 Km. Menyedihkan ketika sampai rumah, ayah dan ibunya sudah diangkut ke kamp konsentrasi di Auschwitz.

Menurut buku Who Brought The Luck to The Lucky Country (2006), ayah, ibu, dua saudaranya, nenek, paman, bibi, dan beberapa anggota keluarga lainnya dibawa ke kamar gas pada hari mereka tiba di Auschwitz pada akhir 1944.  Dua saudara perempuannya, Trude dan Lilly, dan dua saudara laki-lakinya, Kurt dan Harry, berhasil selamat. Mereka dikirim ke Inggris dengan Kindertransport yang membawa 10.000 anak-anak lari dari Jerman, Polandia, dan Czechoslavakia. Dora, pembantu rumah tangga keluarga Max, telah menyelamatkan foto-foto keluarganya.

“Inginnya saya melanjutkan sekolah. Tapi, yang ada sekolah buat anak-anak Jerman karena Jerman pada tahun itu sudah menduduki juga Czechoslovakia dan menguasai Bohemia. Untuk memeroleh uang, saya harus jualan perangko lagi,” kata Max.

Max mengaku berjualan perangko sampai 1942. Karena tentara Jerman menghancurkan bisnisnya, ia sempat bekerja pada seseorang nona— sambil tetap menjalankan profesinya sebagai tukang perangko. Tentunya, sambil bersembunyi menghindari kejaran tentara Jerman.

Max sempat bersembunyi dengan dua sahabatnya di sebuah loteng rumah teater.

Setiap hari sungguh menakutkan. Selalu ada orang tertangkap di jalan dan dijebloskan ke penjara yang tak seorang pun tahu. Bertiga sebagai anak lelaki, kami bersembunyi di loteng. Di malam hari, tentara Jerman menangkapi penghuninya. Suatu pagi, saya mendapati mereka sudah berada di jalanan dan saya lari ke tempat persembunyian,” kata Max mengenang.

Pada sebuah malam di Oktober 1948, sebuah bom 50 Kg jatuh meledak di sekitar areal persembunyian. Bom itu merusak atap tempat persembunyiannya. Max dan teman-temannya lari dan menemukan tempat persembunyian baru berupa selokan. Sayangnya, tak lama kemudian, Max tertangkap. Max dibawa ke kamp konsentrasi Sachsenhausen—kamp yang berjarak 35 Km di Utara Berlin.  Dari Sachsenhausen, Max sempat dipindahkan ke kamp lain, Lichtentrade . “Karena masih remaja, saya saat itu dipaksa untuk membersihkan jalan,” kata Max.

Pada tahun 1945, saat tentara Jerman mulai dipukul mundur sekutu dan tentara Soviet makin merangsek ke Berlin, sambung Max, sebanyak 35.000 tahanan dipaksa pergi dari kamp dalam program yang dipopuler di sebut Death March. Asal tahu saja, para tahanan ini dibagi dalam grup berisi 400 orang. Tentara SS memaksa mereka menaiki kapal yang kemudian ditenggelamkan. Ribuan tahanan dikabarkan mati selama Death March tersebut. Tentara SS tak segan menembak mati tahanan yang tampak tidak kuat lagi melakukan long march dari Berlin menuju Hamburg tersebut.

“Tentara Jerman membunuh mereka bukan karena hukuman. Tapi, karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi, berjalan pun tak bisa. Maklum, di sana, tak ada makanan dan tak ada minuman,” kenang Max.

Pada 2 Mei 1945, Max mengaku berhasil lari menuju hutan. “Di hutan, beberapa orang mati karena kelaparan dan kehausan. Suatu pagi, saat bangun, kami dikejutkan dengan suara mesin. Bukan tentara Jerman, tapi tank-tank Rusia. Mereka membawa kami ke rumah sakit untuk beberapa hari. Di sana, mereka memberi kami nasi dan coklat,” kata Max.

Dari rumah sakit, Max dibawa dari Berlin menuju kampung halamannya di Czechoslovakia. Perjalanan memakan waktu empat minggu. Pada Juli 1945, Max sampai ke rumahnya. “Di sana, saya kembali membuka toko dan mulai berbisnis lagi,” kata Max.

***

Pada April 1948, Max menikahi Eva. “Kami membangun sebuah ruangan yang mengesankan. Dan, enam bulan kemudian saat Komunis menguasai dan bisnis kembali terancam, kami pergi. Kami naik kereta ke Budhapest, Hungaria lalu berlanjut ke Austria, dari Austria ke Zurich, dari Zurich ke London. Dari London ke Cairo dengan British Airways. Cairo ke New Delhi. New Delhi lalu ke Singapura, lalu berlanjut ke Darwin dan akhirnya Melbourne,” kata Max.

Di Melbourne pada 1950, Max membuka sebuah diler perangko. Sebuah gerai perangko kecil dibuka. Lokasi tokonya dekat dengan tokonya sekarang— di Port Philip Arcade. Perusahaannya, Max Stern & Co, merupakan perusahaan ritel perangko terbesar di Australia.  “Saya dan Eva mengurus toko kami. Eva rajin mengelola dan merawat toko ini dan menjadikannya lebih baik dari rumah,” kata Max.

Max mengaku bisnisnya semakin berkembang di Melbourne. Pada Februari 1950, Max masuk di perkumpulan penjual perangko ASDA—Australian Stamp Dealers Association. Enam bulan bergabung dalam perkumpulan ini, Max ditunjuk sebagai sekretaris. Empat tahun kemudian ia diangkat sebagai Presiden ASDA lalu berturut-turut pada 1955 dan 1956 serta menjadi anggota komite lebih dari 40 tahun.  Sekarang, ia menjadi Honorary Life Member.

Terlebih ketika pada 1956, pesta olahraga dunia Olimpiade digelar di kota tersebut. Olimpiade pada musim panas itu dimeriahkan oleh 3.184 atlet – termasuk Soviet dan Jerman. Soviet merebut juara umum dengan 98 medali. “Olimpiade merupakan bisnis besar. Saat itu, saya mendapat banyak kontak dari berbagai negara. Perangko edisi Olimpiade pun diluncurkan. Dan, ini menjadi pintu masuk filateli Australia ke era baru,” imbuh Max.

Dari pengalaman selama puluhan tahun bergelut dengan perangko, Max mengaku mendapatkan banyak sekali pelajaran. “Saya belajar tentang kisah kehidupan. Dengan perangko, saya juga berjumpa dengan banyak orang dari berbagai dunia. Saya membuat jejalin pertemanan dengan banyak orang. Saya menyukai sejarahnya yang mana setiap perangko memiliki sejarahnya sendiri. Saya seorang filateli dan penjual perangko selamanya. Saya bisa pergi ke berbagai negara,” kata Max.

Tantangan terbesar, sambung Max, adalah ketika mempelajari sejarah perangko di beberapa negara yang memang tak gampang.  Ia menyebut nama Afganistan. “Afganistan memiliki sejarah sangat unik dalam perperangkoan. Juga Mongolia, China, dan Jepang. Saya membeli perangko dari pemerintah-pemerintah itu,” katanya.

Max Stern & Co kini memiliki agen perangko di berbagai negara, seperti Austria, Canada, China, Fiji, Inggris, Hong Kong, Irlandia, Malaysia, Marshal Island, Papua New Guinea, Singapura, Swedia, Swis, Tokelau, Tonga, Tuvalu, Amerika Serikat, dan Indonesia. “Perangko Indonesia cukup populer karena harganya yang sangat murah. Perangkonya juga bagus. Indonesia merupakan negara yang cukup terkenal. Saya pernah ke sini saat ada pameran filateli di Bandung beberapa tahun silam,” kata Max.

Max juga berharap generasi muda mau mempelajari dan mencintai perangko. “Perangko bisa menjadi alat edukasi untuk anak-anak. Mereka bisa belajar tentang sebuah negara, sejarah di baliknya, sekaligus geografinya,” pungkas Max.

Lebih dari sekadar perangko, Max juga mengajar anak-anak sekolah terkait tentang sejarah penganiayaan orang-orang Yahudi oleh Nazi. Max sering diundang untuk mengajar anak-anak sekolah dan universitas di Jerman, Austria, Slovakia, dan sebagainya.

“Saya selalu mengatakan memaafkan itu boleh, tapi tidak sama sekali  melupakannya. Ini moto hidup saya. Di sini, saya tidak mengajar anak-anak di bawah usia 14 tahun,” kata Max.

Max juga bercerita bagaimana ia bisa hidup sampai sekarang. Kata Max – yang juga diajarkan kepada anak-anak—semuanya karena manusia juga memiliki unsur binatang. Tepatnya, insting untuk mempertahankan hidup. “Manusia dapat bertahan hidup karena unsur binatangnya ini. Semua tahanan memiliki problem mental. Tapi, saya bisa sembuh dengan cepat. Saya pernah memiliki masalah besar saat untuk beberapa tahun setiap malam tiba saat saya memimpikan orangtua saya,” kata Max.

Perjumpaan dengan Max masih terus membekas dalam benak saya. Ini merupakan pengalaman paling istimewa sepanjang hidup saya bisa berjumpa dengan salah satu tokoh (baca: korban) dari drama kekejaman Nazi Jerman. Selama ini, saya hanya membaca dokumen sejarahnya, film-filmnya, buku-bukunya.  Tapi, saat ini, saya bisa duduk tanpa jarak dengannya. Berbagi sapa dan bertukar kartu nama.

Saya masih menyimpan erat-erat pesan Max. “Pesan saya kepada setiap anak muda, saya tidak bisa melupakannya. Dan, jangan pernah melupakannya. Saya ingin kalian untuk mengenangnya, dan tidak pernah melupakannya. Terimakasih telah mendengarkan,”  pungkas Max.

Sekali lagi, saya yang harus berterimakasih kepadamu, Max. Terimakasih pula dengan dua set perangko yang kamu berikan kepada keponakan saya, Gabriel Posenti Kheisa Drianasta, di perjumpaan kita untuk ketiga kalinya, Sabtu (23/06/2012).

Di pungkasan tulisan saya ini, tak terasa ada gelembung cair mengembang di kedua sudut mata saya. Mata saya berkaca-kaca. Saya menulis cerita ini saat istri dan anak saya sedang lelap tidur di bawah siraman dingin udara dari mesin penyejuk udara yang tadi sore selesai dibersihkan. Dan, teman-teman saya sedang memelototi televisi  untuk menyaksikan laga Piala Eropa 2012, Inggris melawan Italia.

Hanya iringan lagu dari album Schindler’s List menemani proses mengetik ini. Saya merasakan kehangatan, ketegaran, dan kedalaman kenangan tentang masa lalumu di bola matamu.

Semoga kita bertemu lagi, Max!

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *