[otw_shortcode_dropcap label=”B” background_color_class=”otw-aqua-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color” square=”square”]oleh dibilang saya menjadi orang paling bontot dalam mengikuti “diskusi publik” tentang bumi datar dan bumi bulat. Awalnya, saya mendengar sayup-sayup wacana itu, baik melalui televisi maupun internet. “Ah, apaan, sih” – gumam saya saat itu. Mana ada bumi datar. Bumi itu bulat. Kalau tidak bulat, jiwa Ferdinand Magellan dan Neil Amstrong meracau galau bukan kepalang di alam baka. Bahkan, NASA bakal dicap sebagai pabrik kabar bohong atau hoax sepanjang sejarah.[/otw_shortcode_dropcap]
Celoteh soal “bumi datar” terus menerus “meneror” gendang telinga saya. Teman-teman makan siang saya pun doyan menggunjingkannya dalam gelak dan sedotan batang-batang nikotin. Ya, akhirnya saya angkat tangan. Saya kemudian mikir-mikir dan membawanya dalam mimpi. Namun, sampai hari ini pun saya belum pernah melihat bumi datar sekalipun itu dalam mimpi.
Gara-gara “diskursus” itu, masyarakat Indonesia terpecah menjadi dua. Satu pendukung bumi bulat. Satu pendukung bumi datar. Dan, Pilkada ibukota kala itu pun makin runyam. Kubu bumi bulat mengolok-olok kubu lawan. “Emangnya bumi itu kayak tahu, ada yang bulat, ada yang bentuknya kotak mendatar?” seperti ini kira-kira mereka mengumpati lawannya.
Kubu bumi datar bersikukuh dengan keyakinannya tanpa bisa memberikan argumen ilmiah. Mereka hanya melipat lengan baju, mengencangkan otot, membesarkan bola mata, sembari berteriak “pokoknya!” Untung saja, tak terjadi persekusi atas kubu bumi bulat oleh kubu bumi datar atau atas kubu bumi datar oleh kubu bumi bulat hanya memperdebatkan bentuk bumi yang unyu ini.
Ada juga yang bilang, logika bumi datar itu kuno. Jauh dari kekinian. Tak tertangkap generasi millenials. Itu logika zaman batu, katanya. Hmm, bener juga. Tapi, tunggu! Saya jadi ingat soal teori “bumi” datar. Kajiannya cukup ilmiah. Saya sendiri senang dengan pemikirannya. Ulasannya justru sangat kekinian. Dia seorang bule berdarah Amerika. Dia seorang jurnalis dan peraih Pulitzer Prize – penghargaan tertinggi karya jurnalistik di AS – sebanyak tiga kali. Namanya Thomas Loren Friedman.
Salah satu buku fenomenalnya berjudul The World is Flat. A Brief History of the Twenty-first Century. Diterbitkan pada tahun 2005, lebih dari satu dekade yang lalu. Nah, betul kan, judulnya saja mirip-mirip dengan gagasan kalau bumi itu datar. Masak sih, lha, wong bumi dan dunia itu beda pengertian. Tapi, karena “setrum” logika kaum bumi datar, jadinya mirip banget. Coba cek, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, “bumi” dimengerti sebagai planet tempat manusia hidup/permukaan dunia atau tanah. Sementara, “dunia” menurut KBBI dimengerti sebagai bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di atasnya; planet tempat kita hidup/lapangan kehidupan. Nah, mirip-mirip kan? So, apa sih isi bukunya?
Dunia ini memang datar, demikian ujar kolumnis The New York Times ini. Tentu saja, itu ungkapkan kiasan. Buku Friedman itu lebih bicara tentang globalisasi. Karya ini hasil endapannya usai meliput aneka peristiwa dengan berkeliling dunia. Sebagai jurnalis, dia menguasai betul isu-isu lingkungan, perdagangan global, Timur Tengah, maupun hubungan antar negara-negara.
Gagasan sederhana di bukunya itu adalah dunia yang semakin tanpa batasan. Perubahan khususnya yang dimotori oleh teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, telah membuat dunia yang bulat ini seakan terlipat. Batasan-batasan antarnegara seolah dimampatkan. Orang-orang di bumi ini saat ini berada di dalam satu ruang datar, meminjam istilah Marshall McLuhan, kita berada dalam satu kampung global (global village).
Teknologi yang bikin dunia ini menjadi datar memungkinkan semua warga dunia ini memiliki kesempatan yang sama. Di sini, terjadi proses horizontalisasi dan demokratisasi di berbagai bidang. Tembok-tembok pemisah satu per satu dirobohkan. Orang di sebuah bilik toilet di sudut kota terpencil di satu negara bisa terhubung dengan orang yang sedang ada di atas ranjang di sebuah apartemen di benua lain. Mereka berbincang persis seperti orang sedang ngobrol dengan tetangganya di teras rumah secara real-time. Termasuk runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989 sebagai bagian dari runtuhnya Komunisme, bagi Friedman, menjadi tanda-tanda fisik akan datangnya era baru: dunia yang datar.
Friedman menyebut sepuluh hal yang mendatarkan bumi ini. Dua di antaranya adalah teknologi informasi dan sistem outsourcing. Sungguh nyata, ketika call center sebuah perusahaan multinasional yang berbasis di New York City ditangani oleh tenaga-tenaga asing langsung dari Bangalore, India. Gawai iPhone dari Apple, merek kebanggaan Amerika ini, dirakit oleh orang-orang di pabrik Foxconn di Cina. Baju-baju mahal merek GAP, misalnya juga, dibikin dengan cucuran keringat dan mungkin airmata buruh pabrik di Wonogiri atau Cileungsi. Membanggakan ya, eh atau malah menyedihkan sih?
Penulis buku “Thank You for Being Late: An Optimist’s Guide to Thriving in the Age of Accelerations” (2016) itu membagi globalisasi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama berlangsung saat Columbus membuka jalur pelayaran dan perdagangan pada tahun 1492 hingga tahun 1800-an. Gelombang dua berlangsung dari tahun 1800 hingga 2000. Rentang ini ditandai era resesi besar Great Depression dan Perang Dunia I dan II. Pelaku utama globalisasi adalah perusahaan multinasional. Gelombang ketiga ya yang menghasilkan kondisi sekarang ini yang mana konektivitas yang berbasis teknologi informasi mengembuskan penyatuan dunia yang baru.
Sebenarnya intinya apa sih? Intinya, dunia datar yang dimaksud Friedman adalah dunia yang tanpa tapal batas alias borderless. Tapi, asal tahu saja, Friedman bukan satu-satunya orang yang mengkaji globalisasi ini lho. Saya pilih dia karena orang-orang sini masih saja meributkan hal yang sudah selesai ratusan tahun silam: bumi datar!
Fenomena dunia datar yang dimaksud Friedman itu nyata kita rasakan sehari-sehari. Mau belanja barang-barang bermerek langsung dari negeri asalnya, kita tak perlu repot-repot pergi ke sana. Tinggal memainkan jempol tangan kita di layar gawai, klik tombol bayar, barang yang kita maui datang sendiri ke alamat kita. Itu hanya satu dari sekian kemudahan yang kita nikmati di era konektivitas ini. Memang, kalau teknologi dipakai untuk kebaikan itu hidup terasa aman.
Sayangnya, teknologi itu berwajah ganda. Teknologi bisa dipakai untuk peranti kebaikan (tech for good), tapi juga bisa untuk kejahatan (tech for bad). Nah, kenyataannya kemudahan yang kita kenyam saat ini berkelindan dengan aneka risiko yang mencemaskan.
Dunia datar itu saya bayangkan seperti alun-alun yang di atasnya sedang ada pasar malam. Kita semua bisa belanja macam-macam, dari hiburan, kuliner, hingga fesyen. Namun, saat kita sedang asyik memilih-milih barang, tiba-tiba copet memangsa kita. Tahu-tahu, saat mau membayar, ternyata akun tabungan kita kosong karena dikuras oleh garong digital. Apes lagi, kartu kredit kita dibobol peretas untuk berbelanja barang-barang yang tidak kita beli. Belum lagi kalau komputer kita terinfeksi ransomware wanna cry atau petya yang memaksa kita nangis bombai. Kalau sudah begini, status Facebook kita hanya satu: apes dan nelongso!
Teknologi tidak hanya mendekatkan kita dengan orang-orang baik, tapi juga dengan orang-orang jahat yang keberadaannya bisa ribuan mil jauhnya dari posisi kita. Hanya dalam hitungan detik, mereka bisa menguras kekayaan kita.
Teroris sekarang pun sangat tech-minded. Mereka melek teknologi. Mereka meneror tak hanya dengan mengacung-acungkan senapan atau menusukkan pisau sangkur kepada orang yang sedang sembahyang atau meledakkan mobil dengan remote control. Mereka juga merekam detik demi detik dan mensiarkan langsung bagaimana mereka menggorok leher orang hidup-hidup. Bahkan, mereka diam-diam mengembangkan sel-sel terorisme dan melakukan perekrutan anggota melalui media sosial.
Nah, itu baru skala personal atau mikro di dunia datar ini. Di skala besar, globalisasi yang mendatarkan bumi bisa jadi globalisasi kemakmuran, tapi juga menjadi globalisasi perampokan dalam gaya kapitalisme baru. Sebut saja, dari global village (kampung global) menuju global pillage (penjarahan global). Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Lagi-lagi, globalisasi berwajah ganda. Sama juga seperti kita, suka berwajah ganda: satu bersayap seperti malaikat, satu lagi bertanduk seperti penghuni neraka. Betul demikian?
Itu saja lamunan saya soal bumi datar. Sobat saya dari Jogja bertanya: kesimpulannya apa, Dab? Ya, simpulkan sendiri saja. Jadi, kalau dunianya saja datar, bumi itu pada dasarnya bulat atau datar? Anda mau mengikut pendapat yang mana?
Kalau saya sih sepele saja. Saya kan orang inlander yang ratusan tahun dijajah kumpeni. Sebagai anak negeri, saya minder berpendapat sendiri. Saya ikut saja orang kebanyakan di negeri ini yang suka menganggap semua hal yang berbau bule atau Barat itu pasti hebat. So, saya percaya bahwa “bumi” itu memang datar. Tapi, saya mengikuti konsep “bumi” datarnya Si Bule Friedman lho dan bukan konsep bumi datarnya orang-orang inlander sini yang sok pinter itu. Sampean gimana?
“Tahu bulat, digoreng dadakan, lima ratusan, hangat, gurih-gurih enyoi.”
Sisi lain. Seakan membela, tapi menyentil. Huaha, sukak!
mengenai flatearts hingga sekarang masih simpang siur, belum tau kebenarannya.
banyak sekali pendapat mengenai plateart.