Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Skandal Pastor dan Jubah yang Lupa Dicuci

3 min read

Sumber: chappatte.com

Tampaknya, para pemimpin agama saat ini harus sering-sering pergi ke kamar mandi dan bercermin. Pasalnya, belakangan nama-nama mereka muncul di banyak media. Banyak dari mereka yang terlibat skandal. Skandal seks, skandal korupsi, skandal politik, sampai “skandal jepit” – sebutan saya untuk skandal-skandal lainnya. Mereka butuh cermin untuk berkaca.

Kali ini, saya hanya mau menyoroti para pemimpin agama Katolik, agama saya, yang juga sering disebut imam atau pastor. Di luar itu, maaf saya tidak kompeten dan tak ada urusan.

Awal mula ceritanya seperti ini. Seorang kawan tiba-tiba kirim pesan di WhatsApp. Ini terjadi tiga hari lalu. Ia mengatakan, pastor A sudah resmi dapat suspensi. Pastor itu kena suspensi dari petinggi karena skandal uang dan seks. “Hah!” Demikian balas saya pura-pura terkejut. Kok, pura-pura? Karena kejadian itu tak asing di telinga saya. Asal tahu saja, bagi yang belum tahu, “suspensi” itu biasanya diberikan kepada pastor yang terlibat skandal tertentu. Suspensi berarti ada fungsi-fungsi “jabatannya” sebagai imam yang dibekukan. Dia tak boleh lagi ini atau itu. Seperti blog lawas saya yang kena suspensi dari penyedia hosting karena telat bayar. Saya tak bisa beraktivitas di blog itu. Itu pengertian gampangnya.

Di hari-hari teman saya kasih kabar itu, di media sedang seru-serunya muncul kabar skandal pastor lainnya. Kabar pertama datang pekan lalu dari Melbourne, Australia. Kardinal George Pell, tokoh senior Katolik Australia dan pejabat tinggi di Vatikan ditetapkan tersangka oleh polisi dalam kasus pelanggaran seksual.

Kabar kedua datang dari tanah Flores. Tepatnya di daerah Ruteng. Uskup Ruteng Mgr. Hubertus Leteng, kabarnya, diminta mundur karena diduga terlibat skandal uang dan seks.  Ia diduga menyalahgunakan dana gereja lebih dari Rp 1,6 miliar dan berselingkuh dengan perempuan.

Tiga kasus di atas bukanlah yang pertama-tama ini terjadi. Sepanjang sejarah Gereja Katolik, kasus-kasus lain banyak terjadi. Bahkan, pada tahun 2015, satu skandal besar diangkat di layar lebar sebagai film. Anda tentu pernah dengar atau menonton Spotlight? Film drama yang dibesut oleh Tom McCarthy ini mengangkat kisah nyata pencabulan anak oleh pastor di Boston, Amerika.

Spotlight sendiri merupakan nama dari tim kecil investigasi koran lokal The Boston Globe. Drama Spotlight berakhir dengan pengunduran diri Kardinal Bernard Law karena dianggap membiarkan dan menutupi kasus asusila dari para pastor di bawah keuskupannya.

“Mas, emang kamu serius nulis itu beneran?” tanya istri sembari membuat saya terkejut karena ia mendadak di belakang saya saat sedang mengetik tulisan ini. “Ha ha, ntar ada yang marah, lho. Itu kan sensitif,” timpalnya lagi. “Sensitif apaan, lha wong kejadiannya memang seperti itu,” sahut saya. “Kamu gak takut ada yang persekusi kamu?” ujarnya gak mau kalah. “Emang siapa yang mau main “perkusi” di atas skandal ini?” jawab saya sekenanya. Lalu, kami terbahak bentar. Saya melanjutkan tulisan ini dan istri saya ngeloyor menuju kamar sembari “menenteng” si bungsu yang masih balita.

Emang kamu serius nulis itu beneran? Pertanyaan istri saya ini muncul lagi saat saya menatap lagi layar leptop saya. Saya paham kisah, berita, atau tulisan tentang hal-hal yang selama ini dianggap “penjaga” kesucian dan norma agama itu bagi sebagian orang sensitif untuk diperbincangkan. Tapi, kembali saya bertanya, sensitif apanya, sih?

Tapi, bagi sebagian umat Katolik yang lain, skandal tetaplah skandal. Lihat saja kasus Uskup Ruteng itu. Dikabarkan, banyak umat bersama tokoh awam Katolik di sana ramai-ramai mengeluarkan petisi menuntut sang uskup mundur. Perlawanan makin terbuka usai 69 pastor mengundurkan diri dari berbagai jabatan mereka – dari vikar episkopal dan pastor paroki – karena skandal tersebut.

Apa yang bisa kita petik dari peristiwa yang kurang sedap didengar ini? Tentu banyak hikmahnya. Pertama, pastor itu bukan Superman, tapi manusia biasa layaknya Suparman. Dia juga bukan Spiderman yang sekarang lagi gelantungan di bioskop dengan seri Homecoming-nya. Mereka bisa salah dan jatuh karena kelemahan manusiawinya itu. Mereka juga bukan sosok yang bebas kritikan karena statusnya sebagai seorang panutan umat. Jadi, tak perlu mengkultuskan pribadi seorang pastor sebagai yang untouchable seperti sosok Michael Corleone dalam film The Godfather. Jadi, kalau ada pastor yang terlibat skandal dan terbukti bersalah, tak perlu menyangkal dan membelanya secara membabi-buta. Sebaliknya, tak perlu juga mem-bully-nya secara berlebihan. Toh, setiap pribadi punya martabat kemanusiaan yang wajib dihormati dalam segala situasi.

Kedua, skandal tetaplah skandal. Kejahatan yang dilakukan di balik jubah atau tembok “suci” biara pun tetaplah kejahatan. Dan, tak ada kejahatan yang kebal hukum. Konsekuensinya, hadapi pengadilan yang berlaku dan rasakan dinginnya lantai penjara. Tak perlu bersikeras menutup-nutupi kejahatan karena seperti kata Agatha Christie, penulis novel detektif, tidak ada kejahatan yang sempurna.

Ketiga, kejahatan selalu melahirkan para korban. Kejahatan seksual, korupsi, dan aneka kekerasan lainnya selalu menyertakan korban. Dan, upaya membongkar sebuah kejahatan di balik hal-hal yang selama ini ditabukan karena menyangkut “tembok-tembok suci” seperti gereja itu sebuah tindakan mulia. Lha, kok mulia tho kang? Kan ini, sama saja membongkar aib seseorang? Karena di sana ada para korban yang butuh keadilan. Di akhir cerita film Spotligt tadi, misalnya, telepon redaksi The Boston Globe  krang-kring krang-kring terus karena banyak umat yang melaporkan pengaduan atas kasus pencabulan yang sama.

Artinya apa? Usai satu korban angkat bicara soal kejahatan yang menimpanya, korban-korban lain baru berani angkat bicara. Arti lebih jauhnya apa? Dengan dibongkarnya kasus ini, jatuhnya korban-korban baru yang lebih banyak bisa dicegah.

Keempat, kejahatan itu tidak tunggal penyebabnya. Artinya, terjadinya kejahatan itu tidak terputus dari rantai kasus dan kondisi yang lain. Contoh gampangnya tragedi kecelakaan di jalan. Kecelakaan terjadi bukan hanya kesalahan pelaku di jalan. Jangan-jangan karena kita tak peduli keselamatan orang lain dengan seenaknya berada di jalan. Bisa jadi karena uang untuk mengaspal jalan dikorupsi sehingga aspalnya gampang berlubang dan lubang itu yang akhirnya menimbulkan kecelakaan. Skandal pastor tadi pun bisa juga seperti itu?

Bisa jadi, kasus-kasus itu terjadi karena kita sebagai umat atau masyarakat tidak peduli situasi alias I don’t care! Kita lebih senang menjadi penonton, penikmat, sekaligus hakim atas tragedi dalam kehidupan orang lain.

Padahal, kita sebagai umat biasa pun, juga punya skandal-skandal kita sendiri yang sssst…kita sembunyikan dari istri/suami atau anak-anak atau masyarakat. Hayo, bukan demikian, kisanak?

Lha, lha, lha, tulisannya kok sudah panjang bener. Lalu, apa hubungannya dengan jubah yang lupa dicuci di judul tulisan ini? Maksudnya jubahnya kotor, terus lupa di-laundry gitu? Ya, mirip-mirip getu deh. 

Jadi, begini. Suatu saat, saat saya ingin mendaftarkan diri di sekolah calon pastor, seorang pastor kepala paroki bilang kepada saya: bukan jubah yang menyucikan pastor, tapi pastorlah yang menyucikan jubah. (Batin saya, bukannya emang demikian ya, pastor itu yang umbah-umbah (mencuci) pakaiannya). Maksudnya apa, sih? Kepala paroki ini mau bilang, yang membuat suci seorang pastor itu bukan karena jubah yang dikenakannya. Yang membuat suci pastor itu perilakunya. (Lalu, saya manggut-manggut). Sebaliknya, ia melanjutkan, yang membuat sebuah kain jubah tampak suci karena kesucian perilaku orang yang mengenakannya memancar ke jubahnya.

Woalah, itu maksudnya. Sembari manggut-manggut saya membatin: jadi tak otomatis orang-orang yang berjubah itu suci karena jubah yang dikenakannya. Kalau memang dalemannya jubah itu emas ya memang emas. Tapi, kalau dalemannya ada bangkai cicak, ya tetap ada bangkai cicak dan menguarkan bau busuk. Kalau sudah yang ini, berarti pastor itu telah menistakan jubah yang dikenakannya. Ya, ya, ya, akhirnya saya paham. Sok, manggut-manggut lagi.

Dan, saya masih menaruh respek pada para pastor yang tetap setia hidup dalam kesucian tanpa harus memamerkan jubah, tidak membusungkan dadanya, dan tak bermain-main dengan kelaminnya.

Okay deh. Tampaknya saya juga harus sesegera mungkin mengikuti jejak para pastor yang baik itu: saya harus menyucikan pakaian-pakaian saya. Kenapa? Karena asisten rumah tangga saya yang biasanya mencucikan baju saya masih kerasan menikmati libur Lebaran di kampungnya. Mungkin sudah kecanthol dengan pemuda di desanya. Pakaian Sampean bagaimana? Selamat umbah-umbah!

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Jurnalisme Sol Sepatu

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah” sangat menarik. Selain menarik, pesan tersebut juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti...
Sigit Kurniawan
4 min read

2 Replies to “Skandal Pastor dan Jubah yang Lupa Dicuci”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *