Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Internet dan Omong Kosong Kebebasan

6 min read

Sumber: https://t.thaivisa.com | Edited by Prisma

[otw_shortcode_dropcap label=”S” background_color_class=”otw-aqua-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color” square=”square”]eandainya dua orang ini tidak menulis di blog, mungkin nasib naas tidak akan menimpa mereka. Kala itu, Kamis pagi, 13 September 2011, di jembatan Mexico, persisnya di perbatasan dengan kota Nuevo Laredo, dua jasad ditemukan. Kondisinya mengerikan: tergantung di tiang jembatan! Keduanya penuh luka, termutilasi, bersimbah darah, dan susah diidentifikasi. Disinyalir keduanya  dibunuh setelah menulis di blognya.[/otw_shortcode_dropcap]

Hal ini dipastikan dengan  satu barang bukti berupa papan di dekat kedua jasad tersebut. Seperti dikutip dari situs berita TIME, papan itu bertuliskan “This is going to happen to all Internet snitches. Pay attention, I’m WATCHING you.”  Pesannya tandas. Sang pembunuh memperingatkan kepada pengguna media sosial, seperti Twitter dan blog, agar hati-hati berbicara seputar sindikat dan kartel perdagangan obat-obat terlarang di Mexico. Satu orang berhasil diidentifikasi sebagai  Marisol Macias Castaneda, 39 tahun.

Bukan rahasia umum lagi, Mexico adalah surga para pengedar obat bius, narkotika, dan sejenisnya. Hukum di salah satu negara Amerika Latin tersebut seakan tak mempan dihadapan para mafia obat bius yang berkantung tebal dan bersenjata tersebut. Memperihatinkan lagi,  di depan kenyataan tersebut, tidak banyak orang yang berani melakukan protes pada pengedar obat-obat yang meresahkan keluarga-keluarga di negara tersebut. Mungkin karena takut, mungkin juga karena turut menikmati penjualan dari barang haram tersebut.

Pada November 2011, kejadian terulang kembali. Seorang blogger ditemukan mati terbunuh di Nuevo Laredo. Menurut situs Houston Cronicle, blogger ini merupakan korban keempat setelah tragedi di jembatan yang sama. Blogger ini dilaporkan telah dibunuh oleh geng Zetas,  sebuah kartel obat bius paling ditakuti di Mexico.

Lelaki ini sedang membantu sebuah situs En Vivo yang mencatat aktivitas-aktivitas kartel Zetas. Blogger yang menulis dengan nama Rascatripas atau Belly Scratcher  ini telah dipenggal dan ditemukan di sebuah persimpangan. Di sampingnya, kembali tertulis sebuah pesan dari sang pembunuh. “Hal ini terjadi karena saya tidak memahami bahwa tidak perlu melaporkan di jejaring sosial” demikian tulis sang pembunuh.

Media-media arus utama saja, seperti diberitakan oleh Daily Mail, dilaporkan tidak berani berbicara terkait kartel-kartel obat tersebut. Bos-bos kartel berhasil membungkam para editor koran-koran, majalah, televisi di Mexico. Saat media-media arus utama bungkam, para blogger bermunculan untuk menuliskan fakta dan keprihatinan soal perdagangan obat tersebut. Seperti dilaporkan CNN, para blogger yang merilis informasi seputar perdagangan obat tadi sudah lama mengalami ancaman. Dan, tragedi berdarah di jembatan Nuevo Laredo tersebut merupakan peringatan awal bagi para pengguna media sosial.

Boleh dibilang media sosial mengambil peran besar pada pengungkapan perdagangan obat di saat para reporter dan jurnalis media arus utama takut oleh ancaman pembunuhan. Pada tahun 2004, seorang editor senior  El Manana—sebuah koran terbesar di kota Nuevo Laredo—tewas ditikam oleh kelompok kriminal saat ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Pada tahun 2006, geng bersenjata menyerang kantor surat kabar dan melukai wartawannya. Sejak itu, secara dramatis, koran-koran mengurangi pelaporan jurnalistiknya terkait dengan kekerasan dan perdagangan obat yang dilakukan oleh para kartel.

Menghadapi ancaman dan perlakuan dari para pemilik kartel, para blogger melancarkan serangan dengan identitas anonim. Identitas anonim ini dimaksudkan agar mereka yang tidak suka dengan kampanye antikartel obat bius tidak bisa dilacak.

Sementara itu, poster-poster yang berisi peringatan akan bahaya para geng kriminal ada di mana-mana. Salah satu poster itu memuat pesan: “Jangan berbicara dengan telepon saat berada di jalan, khususnya ketika  geng itu berkonvoi di sana.”  Ironis, polisi justru menangkapi orang-orang yang membuat poster itu dengan alasan keselamatan di jalan. Asal tahu saja, konflik dengan para gembong obat bius yang terjadi sejak tahun 2006 ini telah merenggut sedikitnya 50.000 jiwa di Mexico. Kisah nyata nan dramatis ini bisa Anda baca dari laporan The Washington Post berjudul “Censor or Die: The death of Mexican news in the age of drug cartels.”

Di Mexico, boleh dibilang, “lumpuhnya” media arus utama membuat media sosial menjadi corong anyar komunikasi. Meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma “Saat jurnalisme dibungkam, sastra bicara”, fenomena di Mexico bisa disebut “Saat jurnalisme dibungkam, media sosial berbicara.” Hasilnya? Media sosial juga mengalami pembungkaman.

Virtual Panopticon

Kasus yang terjadi di Mexico merupakan merupakan  salah satu contoh paradoks di era Internet. Internet dengan media sosialnya di satu sisi mengusung kebebasan bagi para penggunanya. Hal ini merupakan sesuatu yang mengesankan dan tidak ditemukan di era satu dekade silam. Tapi, di sisi lain, Internet juga mengizinkan sebuah model dan cara pengawasan baru (surveillance).

Sumber: https://blogs.worldbank.org

Mari kita bandingkan dengan masa-masa sebelum Diktaktor Soeharto tumbang oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Di bawah rezim bertangan besi ini, kebebasan berekspresi boleh disebut sekadar isapan jempol belaka. Kemerdekaan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat hanyalah kebebasan yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pada kenyataannya, kebebasan itu semu. Praktiknya pun diberangus.

Warga negara yang berani berbeda pendapat oleh Soeharto akan digebuk (baca: dimusnahkan). Negara pun terus memata-matai melalui badan intelijennya setiap perkumpulan yang dianggap mencurigakan. Bila ada indikasi mengancam kepemimpinan Soeharto, aparat dan intelijen tak segan-segan menciduk mereka. Kabar mereka pun lengang dan tak ada seorang pun yang tahu kabar terkininya. Di bawah tekanan ini, membuat gerakan-gerakan prodemokrasi dilakukan secara diam-diam. Tahu-tahu mereka tumpah ruah di jalanan untuk aksi demonstrasi.

Tapi, situasi jauh berbeda setelah Soeharto jatuh. Lebih fenomenal lagi ketika Internet mulai booming di Indonesia. Dulu, negara paling paranoid kalau melihat orang berkumpul. Sebab itu, cara mengontrol warga tak lain dengan jalan membatasi kebebasan mereka untuk berkumpul—dalam bentuk organisasi maupun serikat. Kontrol ketat ini untuk menghindari kudeta, makar, dan hal-hal yang dianggap mengancam negara.

Sekarang, di era media sosial, orang bebas bicara, beropini apa saja, bahkan bebas mengkritik, dan sebagainya. Namun, sebenarnya, kebebasan bicara di media sosial ini bisa menjadi alat pengintaian (surveillance) baru bagi penguasa untuk mengontrol warganya. Semakin kita banyak bicara di media sosial, sebenarnya semakin mudah penguasa mengontrol kita karena semakin banyak data yang bisa diakses.

Model pengawasan baru ini saya sebut dengan istilah “Virtual Panopticon.” Istilah ini saya ambil dari tulisan seorang kolumnis David Engberg. Istilah Panopticon sendiri sudah lama saya kenal dari buku pemikir Michael Foucault. Foucault pun menjumput istilah tersebut dari Jeremy Bentham— filsuf Inggris yang menjadi orang yang pertama kali mempopulerkannya.

Michael Foucault | Sumber: http://www.religionenlibertad.com

Istilah “Panopticon” mengacu pada menara pengawas yang biasa dibangun di tengah-tengah penjara. Pada tahun 1791, Jeremy Bentham mengusulkan sebuah inovasi dalam sebuah arsitektur penjara. Bentham mengusulkan agar penjara diatur dalam sel-sel yang melingkar. Dinding sel dibuat sesolid mungkin. Tujuannya, agar antartahanan tidak bisa saling berkomunikasi. Jendela kecil dibuat di masing-masing sel agar tidak gelap gulita.

Di tengah penjara yang melingkar-lingkar itu, dipasang sebuah menara pengawas. Di menara, ada jendela yang dibuat khusus agar tahanan tak melihat siapa yang ada di menara itu. Dan, dari jendela ini, sang pengawas bisa melihat semua gerak-gerik tahanan tanpa ia terlihat. Sang Pengawas pun berlaku seperti Tuhan di ranah agama sebagai “Sang Maha Penglihat.”

Panopticon dimaksud Bentham sebagai alat pengontrol perilaku semua orang dalam tahanan. Keberadaan menara itu bisa menjadi sebuah “teror” yang memaksa orang-orang di dalamnya tidak melakukan tindakan menyimpang. Termasuk saat menara itu sama sekali kosong melompong alias tidak ada penjaganya. Tahanan akan membatasi perilakunya. Model pengawasan ini juga sering digunakan untuk rumah-rumah sakit, panti-panti sosial, sekolah, dan sebagainya.

Dalam bukunya Dicipline and Punish (1979), Foucault menandaskan kontrol sekarang ini bisa dilakukan tanpa harus ada kehadiran fisik.  Kontrol dilakukan terus-menerus tanpa tahu siapa yang sebenarnya sedang mengamat-amati diri kita. Hal ini cocok untuk sekali untuk menggambarkan dunia sekarang—dunia yang sedang bereuforia dengan informasi.

Foucault juga mengatakan penindasan di era informasi tidak lagi didominasi kontrol fisik. Tapi, lebih pada pengetahuan lengkap dan observasi. Pemikiran Foucault ini lahir jauh di masa-masa Internet belum seriuh sekarang.

Ide Foucault ini,  menurut David Engberg, menjadi senjata kesayangan kaum Libertarian Siber Posmodern untuk menganalisis situasi masyarakat kontemporer.  Panopticon-panopticon modern dipasang di mana-mana untuk mengontrol perilaku. Di perusahaan-perusahaan, dipasang kamera-kamera pengintai untuk membatasi aktivitas para buruh dan karyawan. Belum lagi kamera pengintai di toko-toko modern, bank-bank, dan bahkan tempat-tempat ibadah.

Dan, panopticon-panopticon itu juga ada di lanskap Internet. Kebebasan berekspresi dan berkata-kata di Internet merupakan data gratis yang bisa dilacak oleh sebuah mesin tertentu.  Mesin pencari seperti Google menjadi contoh bagaimana kebebasan berinformasi itu itu tercatat rapi di Internet. Beda halnya, di era dahulu yang lebih didominasi dengan budaya lisan.

Bahkan, The Associated Press pernah merilis sebuah laporan eksklusif tentang para pengintai yang ditugasi oleh agen mata-mata Amerika Serikat CIA. Para pengintai ini mempunyai sebutan khusus, yakni Ninja Librarian atau Pustakawan Ninja. Ninja-ninja ini bertugas menggali informasi orang-orang dari seluruh dunia tentang aneka perbincangan yang ada di media sosial, dari masalah umum sampai revolusi. Mereka memberikan informasi kepada Gedung Putih tentang segala hal yang ada di Twitter, Facebook, maupun artikel surat kabar.

Kegamangan Indonesia 

Kondisi di Indonesia tak jauh berbeda. Undang-undang (UU) No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih “berwajah ganda.” Artinya, payung hukum yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari kejahatan digital serta pencurian data di Internet justru sering dipakai untuk menangkap dan memenjarakan warga yang ingin menyuarakan opini dan keprihatinannya. UU ITE ini justru menjadi senjata baru bagi mereka, khususnya yang memiliki modal dan kekuasaan, untuk membungkam suara-suara yang mengkritisi perilaku maupun kebijakan mereka.

Jadi, internet di Indonesia yang diagung-agungkan mampu mengembuskan kehidupan demokrasi yang lebih baik dalam praktiknya ternyata tidak demikian. UU ITE di sisi lain memberi perlindungan tapi di sisi lain melahirkan praktik pembungkaman kebebasan berpendapat di Internet.

Tentu saja, ini sebuah dilema yang tak gampang dikelola. Bagaimana dengan penyebaran pernyataan kebencian (hate speech), penyebaran kabar bohong (hoax), atau kampanye hitam (black campaign)? Itu pekerjaan rumah bagi pemerintah dan warga untuk mencarikan solusi terbaik tanpa harus memberangus kebebasan hakiki manusia: kebebasan berpendapat.

Pada intinya, tulisan ini mau menegaskan bahwa kebebasan yang lahir dari rahim internet dan dipuja-puja ini memiliki wajah ganda dan sisi manipulatifnya. Internet justru menjadi alat kontrol baru yang jauh lebih efektif, masif, dan diam-diam. Paling tidak, inilah yang harus kita sadari. Soalnya ada pihak yang sedang memata-matai kita. Mereka bisa jadi otoritas pemerintah, tapi bisa juga orang yang berniat jahat untuk siap menguras uang kita.

Sebab itu, bijak dalam memanfaatkan internet itu perlu. Sekali sebuah informasi tercatat di Google, selamanya juga tidak bakal terhapus. Sebab itu, tak heran, seorang direktur HRD sebuah perusahaan akan berselancar di Google lebih dahulu untuk melihat jejak rekam calon karyawan sebelum melakukan wawancara.

Sadarkah kita kalau NSA, Wikileaks, Big Data, dan sebagainya itu merupakan bagian dari desain besar pengawasan modern? Ya, ada banyak mata yang mengawasi seluruh gerak-gerik keseharian kita. Bahkan, detak jantung dan embusan napas pun tidak luput dari sorotan mata-mata virtual ini. Tak percaya? Pergilah ke luar pada malam hari dan pandanglah jauh ke langit malam. Di antara bintang-bintang itu, ada mesin pintar yang sedang memata-matai gerak-gerik kita.

Inilah dunia kita!

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Jurnalisme Sol Sepatu

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah” sangat menarik. Selain menarik, pesan tersebut juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti...
Sigit Kurniawan
4 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *