Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Heterofobia dan Penindasan Atas Liyan

5 min read

Sumber: Letterboxd

Lelaki buruk rupa itu merangsek ke kerumunan orang di jalanan. Wajahnya ditutupi kain. Penuh benjolan. Bibirnya  sumbing. Bentuknya tak keruan. Matanya cekung ke dalam. Terhalang oleh gumpalan daging yang tidak rata. Dahinya menonjol ke depan.

Rambut depannya rontok meninggalkan  botak tak merata. Rambut belakang awut-awutan dan jarang-jarang. Giginya tidak utuh. Kerepes di sana-sini. Berselimutkan liur yang tak henti menetes. Kulitnya bersisik. Ia pendek. Cara berjalannya tidak seperti orang normal. Ia mirip monster ketimbang manusia. Orang-orang pada takut dan jijik saat memandangnya. Mereka terdiam sesaat. Terpukau, berlanjut takut dan menghindar.

Sosok lelaki itu tak lain adalah John Merrick. Ia tinggal di London. Ia seorang yang tercerabut dari khalayak. Ia harus lebih sering mengurung diri di kamar sumpek ketimbang keluyuran di ruang publik. Sampai suatu ketika Merrick ditemukan oleh Dr. Frederick Treves dalam sebuah pertunjukan sirkus. Kondisi Merrick mengantarnya pada kehidupan seperti binatang. Ia disuruh tampil dalam hiburan sirkus. Ia menghibur, tapi ia sendiri mengalami penderitaan yang dalam. Akhirnya, di sepotong hari, Merrick memberontak dalam hati. Ia menjerit atas kemanusiaannya. “Aku  bukan binatang. Aku seorang manusia! Seorang Manusia!” jeritnya.

Itulah sepenggal narasi dalam film besutan David Lynch berjudul “The Elephant Man” (1980). Alur film ini mengalir dan menguarkan  suasana horor yang  meneror kemapanan berpikir kita. Selain itu, atmosfer absurditas campur satu dengan suasana ngeri, takut, jijik, pilu, kasihan, dan cinta. Campur baur jadi satu. Sebenarnya, film ini memunyai tujuan kritik pada masyarakat industrialis yang mekanistis, otomatis, praktis, dan tunggal. Dalam masyarakat demikian, ada beberapa yang terpinggirkan, terasingkan, tak diperhitungkan, dan dibuang.

Film yang dibintangi John Hurt ini multinilai. Salah satunya adalah bagaimana kita menerima kehadiran “yang lain” atau “liyan” (the other). Tak disangkal, hidup senantiasa menyuguhkan kejutan-kejutan. Kejutan itu timbul dengan kehadiran sesuatu yang lain (yang lain). Liyan ini adalah yang tidak lumrah, yang asing, yang tidak lengkap, yang tidak serupa dengan kita, ganjil, beda, tidak biasa, tidak umum, tidak semestinya, di luar hukum dan aturan, yang melenceng, menyimpang, dan sebagainya. Realitas “Liyan” ini tak jarang kita temui di tengah-tengah kita.

Liyan muncul sebagai yang dianggap menyimpang dari sebuah standar normalitas (yang normal) yang dianut secara dominan oleh mayoritas masyarakat. Kita akui dengan jujur, tidak jarang, kehadiran Liyan ini sangat menggelisahkan, bahkan menakutkan. Sastrawan Italia Elias Canetti menulis, “Tidak ada yang lebih menakutkan manusia daripada persentuhan dengan yang tidak dikenal.”  Yang tidak dikenal ini datang membangkitkan bulu kuduk.  Ketakutan pada sosok Liyan inilah yang disebut dengan heterofobia.

Ikon Alien

Salah satu paling gampang menggambarkan yang lain adalah ikon alien-mahkluk luar angkasa. Alien jamak dilukiskan dengan paras menjijikkan sekaligus mengerikan. Mari kita lihat film besutan Neill Blomkamp berjudul “District 9” (2009). Suatu ketika-selama 20 tahun, sebuah pesawat alien bertengger di atas kota Johannesburg, Afrika Selatan. Pesawat superbesar ini membawa jutaan alien. Sampai suatu saat, ras manusia yang diwakili oleh kelompok peneliti MNU (multi-national united), menemukan mereka dan mengkarantina mereka dalam wilayah yang disebut District 9. Ruang gerak mereka dibatasi oleh pagar berduri. Nasibnya persis seperti yang dialami John Merrick dalam The Elephant Man-hanya saja Merrick ditampilkan sebagai manusia.

Paras alien itu mengerikan. Mirip zombie. MNU lebih suka menyebutnya prawn, udang. Seperti yang ditampilkan dalam sosok Christopher Jonson-sosok alien yang diberi nama oleh MNU. Dalam film ini, ras alien ditampilkan lemah. Mereka diberi makanan kaleng khusus kucing. Mereka juga menjadi objek observasi. Objek penelitian di laboratorium ilmiah. Untuk kepentingan supervisi, setiap alien harus disensus. ‘Penindasan’ pada koloni itu pun dimulai. Tapi, mereka mempunyai senjata yang supercanggih dan membuat MNU mengincarnya. Meski senjata itu hanya bisa dioperasikan oleh alien sendiri.

Di karantina itu, para alien berhabitat dengan komunitas orang kulit hitam yang berdagang senjata. Puluhan tahun District 9 menjadi tempat kumuh. Mirip perumahan di kompleks tempat pembuangan sampah. Populasi di sana terus meningkat. Membuat MNU berniat merelokasi mereka. Tapi, para ‘udang’ ini tidak mau. Muncullah konflik antara MNU dan mereka. Mereka juga diawasi agar mereka tidak bisa naik ke pesawat mereka dan pergi. Operasi yang dipimpin Wikus van der Merwe (Sharlto Copley) gagal. Wikus sendiri malah terkontaminasi cairan alien dan perlahan mengalami mutasi menjadi alien itu sendiri. Wikus pun bernasib seperti para ‘udang’ itu. Tapi, tragedi membuat Wikus mampu membangun komunikasi dan relasi intim dengan Christopher Jonson. Sampai akhirnya, Wikus mampu mengantar Jonson dan anakknya melarikan diri ke pesawat mereka dan pergi dari karantina itu.

Ada di antara Kita

Sebenarnya, liyan atau alien itu nyata hadir di tengah-tengah kita. Mereka terserak di ruang publik tempat kita berada. Mereka ada di hampir setiap dimensi sosial dan personal hidup kita. Seperti dimensi sosio kultural, politik, psikologi, ideologi, agama, gender, seksualitas, dan sebagainya.

Dua film di atas menjadi kritik atas kehidupan sosial kita. District 9 adalah sebuah metafor. Beberapa sumber menyebut film Neil Blomkamp tersebut mau mengungkap kembali coretan hitam politik apartheid di Afrika Selatan. Ia terinspirasi dari film dokumenternya berjudul Joburg. Film ini merekam relokasi massal komunitas non kulit putih dari District 6 Cape Town ke Cape Flats pada 1966. Ada sekitar 60 ribu orang kulit hitam yang selama 20 tahun tinggal di sana dan dipaksa pindah sejauh 16 mil. Kita tahu politik apartheid sebagai politik yang meminggirkan kaum kulit hitam.

Memang, alien atau liyan ini biasanya terwakili dengan berbagai pihak minoritas. Minoritas yang tidak menganut aturan (pakem) umum atau arus besar (mainstream). Mereka bisa berupa minoritas etnis, suku-suku terasing, kaum gipsi, anggota sekte terlarang, musuh politis rezim penguasa, kaum pendatang, dan sebagainya. Mereka muncul pada orang-orang yang menganut perilaku, ada kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar. Termasuk juga mereka yang berpenampilan norak. Liyan juga muncul pada orang-orang dalam situasi yang sangat ekstrem, seperti orang yang sangat miskin dan menderita maupun orang yang sangat kaya raya.

Liyan juga tampil dalam diri kaum homoseksual. Kaum gay maupun lesbian dianggap sebagai alien, sosok asing di kalangan masyarakat penganut standar normal seksualitas. Liyan hadir pula dalam orang-orang yang mengalami kemunduran mental, seperti orang idiot maupun gila. Bahkan, orang-orang yang mengalami deformasi fisik (cacat) seperti Si Manusa Gajah atau Chrisopher Jenson mewakili sosok Liyan yang tidak jarang membuat orang lain jengah.  Di ranah ideologis, Liyan muncul dalam orang-orang yang dianggap PKI alias komunis. Selama Orde Baru, kita dicekoki gambaran kaum komunis sebagai kaum sadis, menakutkan, dan jadi ancaman. Di wilayah agama, sekte atau aliran sempalan menjadi suatu yang dianggap menganggu. Tak jarang, para penganut aliran ini mengalami penindasan, baik dalam rupa pengejaran, perusakan tempat ibadat, maupun pembunuhan.

Problem dari heterofobia terletak pada turunannya, yakni menjadikan Liyan sebagai ancaman. Bahkan menjadi objek diskriminasi sekaligus objek kekerasan.  Stigmatisasi terjadi dan menghambat proses komunikasi kita dengan mereka. Bahkan, dengan mudah terjadi dehumanisasi dan depersonalisasi. Kita sebagai mayoritas merasa punya kekuasaan otomatis untuk menghakimi mereka sebagai yang pantas direndahkan, dibenci, bahkan dilukai (bdk. F. Budi Hardiman, 2005). Ketakutan mempunyai potensi melahirkan kekerasan. Bertrand Rusell menyatakan ketakutan sebagai muara takhayul sekaligus kekejaman.

Sejarah Indonesia menorehkan berbagai mozaik sejarah ketakutan pada Liyan ini. Komunisme yang bangkrut sejak lama masih menghantui sampai sekarang. Lepas dari permainan politik, stigmatisasi komunis sebagai yang jahat dan membahayakan masih terasa hingga sekarang. Diskusi-diskusi buku-buku kiri dibubarkan secara paksa. Para keturunan orang-orang yang dicap PKI masih kehilangan hak-hak publiknya.  Belum lagi, kekerasan-kekerasan berlatar ras, agama,  dan etnis. Warga Indonesia beretnis Tionghoa harus menunggu bertahun-tahun untuk bisa merayakan Imlek di samping mendapatkan perlakukan sejajar dengan warga Indonesia lainnya di berbagai dimensi sosialnya. Kaum homoseksual masih hidup sembunyi-sembunyi dalam kantong-kantong. Sebagian masyarakat masih belum bisa menerima mereka. Mereka masih dianggap sakit dan ‘virus’ yang bisa menular. Lebih-lebih kaum homoseksual diidentikan dengan perilaku seksual tidak sehat dan rentan penyakit mematikan.

Cinta Pada Yang Lain

Salah satu jalan mencintai Liyan ini adalah keberanian memahami Liyan itu sendiri. Mematahkan rasa takut dilakukan dengan menghilangkan stigma-stigma dalam batok kepala kita pada mereka. Emmanuel Levinas (1906-1995) dalam Totality and Infinity mengatakan Liyan bisa dipahami karena yang lain itu menampakkan wajahnya (l’epiphanie du visage). Tidak sebatas penampakan fisik. Tetapi, orang lain  menurut keberlainannya. Lebih tepatnya wajah yang telanjang (le visage nu). Wajah yang mempunyai makna secara langsung, tanpa penengah, dan tanpa konteks (K.Bertens, 1996).

Bagi Levinas, Liyan itu muncul secara otonom, punya dimensi tak terselami, dan bukan bagian dari perentangan (ekterioritas) diri kita (ego). Penampakan wajah ini menjadi sebuah kejadian etis. Wajah itu menyapa kita dan kita tidak boleh acuh tak acuh pada wajah itu. Kita harus mendengarkannya. Lantaran penampilan wajah, kita diinterpelasi dan dipanggil untuk bertanggung jawab. Perjumpaan dan persentuhan dengan wajah Liyan inilah yang memungkinkan proses komunikasi dan pembelajaran. Kita hanya bisa memahami Liyan kalau kita mempunyai compassion dengan mereka. Kata lain, ada di di pihak mereka. Persis seperti yang terjadi pada Wikus dalam District 9. Komunikasi terjalin karena ia mampu merasakan pahitnya menjadi seorang alien itu sendiri.

Komunikasi langsung dengan tatap muka Liyan melahirkan kewajiban etis yang bersifat asimetris. Artinya, kita mempunyai tanggung jawab pada Liyan tanpa harus mengetahui Liyan akan melakukan tanggung jawab serupa pada kita. Dalam relasi ini, tidak ada sistem do ut des, balas jasa. Bahasa komunikasinya adalah bahasa sapaan, percakapan, maupun dialog. Titik tolaknya bukan pada kesadaran ala Descartes (la conscience theorique) melainkan hati nurani (la conscience morale).

Dialog yang mendengarkan Liyan itu akan membawa kesadaran kita pada pemahaman bahwa Liyan itu ternyata sama dengan diri kita pada taraf terdalam. Liyan adalah panggilan kita untuk bertanggung jawab secara etis. Karena ini relasi etis, setiap tindakan pengucilan, pencideraan, diskriminasi, perusakkan pada diri Liyan atas nama yang sakral, kebenaran, ketertiban umum, maupun normalitas sekalipun adalah tindakan tidak bermoral!

Mari kita melihat sekeliling kita. Siapa tahu John Merrick, Christopher Jenson, dan para alien itu hadir di depan, belakang, samping kanan, samping kiri, kita saat ini. Siapa tahu selama ini mereka ternyata tertindas oleh kita sendiri?

Referensi: F Budi Hardiman. “Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma.” (2005). Pernah diposting di Kompasiana (2009).

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Jurnalisme Sol Sepatu

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah” sangat menarik. Selain menarik, pesan tersebut juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti...
Sigit Kurniawan
4 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *