Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Malaikat-malaikat Berdebu

6 min read

“I believe in angels
Something good in everything I see
I believe in angels
When I know the time is right for me”

Tulisan ini menceritakan perjumpaan saya dengan para malaikat. Tapi, bukan malaikat bersayap, berjubah putih kemilau, dan berparas rupawan. Wajahnya dekil, lengannya bertato, dan jauh dari cantik atau tampan. Orang tidak akan pernah mengira kalau mereka sebenarnya adalah malaikat.

Mirip-mirip malaikat di filmnya Brad Siberling berjudul City of Angel (1998). Film yang dibintangi Nicolas Cage dan Meg Ryan ini menampilkan sosok para malaikat yang berbusana seperti manusia biasa. Tapi, malaikat yang saya jumpai ini tidak seganteng Nicolas Cage yang memerankan Seth. Saya senang menamainya malaikat berdebu. Tulisan ini cukup panjang, sepanjang perjalanan kami membelah Pulau Jawa selama sembilan hari dengan berjalan kaki untuk menjumpai para malaikat itu. Semoga kalian menikmati.

Bibir Pantai Kartini

Kisah ini terjadi pada tahun 1996. Berawal di sebuah bibir dermaga di Pantai Kartini, Jawa Tengah. Siang itu cukup gerah. Angin pantai menerpa dan menggulung ombak. Saya dan seorang teman berdiri tegap menantang angin. Lalu perlahan saling menjauh dan memunggungi seperti dua koboi yang bersiap adu tembak. Terdengar bunyi “sreet” mengiringi resluiting yang kubuka. Lalu, ‘pistol’ masing-masing dikeluarkan dari sarungnya. Dan “Serrrr!” bunyi ‘tembakan’ air amoniak berwarna putih kekuningan ke permukaan air pantai yang sudah membuih. Kami mengencingi pantai!

Itulah prolog pengembaraan kami berdua. Dari bibir pantai kami langsung melanjutkan perjalanan hari pertama. Matahari tegak lurus di atas ubun-ubun. Panas mulai menggerayangi kaki-kaki saat menghantam aspal. Pengembaraan panjang ini kami lakukan saat berada di tahun pertama di sebuah asrama yang dikelilingi hamparan sawah dan di bawah bayang-bayang gunung Ungaran, Jawa Tengah.

Kami melakukannya berdua-dua. Setiap pasang mempunyai jalurnya sendiri. Kami tidak bawa bekal apa-apa selain buku tulis, pulpen, rosario, kitab suci kecil, jeriken air minum, caping, tas, dua stel pakaian, peta, jas hujan, dan sandal jepit. Kami tidak boleh nebeng angkot. Semua harus jalan kaki sampai tujuan. Makan hanya dari sedekah orang. Tidak boleh terima uang. Tidak boleh membocorkan identitas. Itulah sepotong ilustrasi soal pengembaraan kami siang itu.

Jalur kami cukup panjang, kurang lebih 314 kilometer. Dari pantai Utara Jawa sampai Pantai Selatan, tepatnya di Gua Maria Tritis. Kalau jarak ini direntangkan, sebenarnya kami sudah melampaui lebar Pulau Jawa. Pengembaraan ini harus ditempuh paling lama 10 hari.

Hari pertama tidaklah mudah. Kami masih takut-takut bila ingin mengemis makanan dari orang. Dag dig dug bila dikira macam-macam. Takut juga bila tidak mendapat makan sementara perut terus ‘ngomel’ minta diisi. Takut juga bila nanti ada garong, penculik, penembak misterius, setan gunung, atau orang-orang jahat. Takut bila mendadak sakit dan tidak ada sepeser koin pun di saku celana. Ketakutannya pun beragam. Tapi, tahap demi tahap seiring dengan langkah kaki, saya pun mampu membunuh ketakutan itu.

Mencari makan dan penginapan di hari pertama tidak gampang. Kami sering ditolak dengan alasan kami masih muda dan harusnya kami bekerja dan tidak mengemis. Tapi, ada seorang ibu penjual warung yang memberi kami makan. Kami pun tidur di sebuah surau kecil. Dingin tapi damai.

Preman Terminal

Pengalaman unik terjadi saat kami tiba di Sulang. Siang itu mendung. Langit pun sempoyongan membobong air laut yang dibawa angin. Tumpahlah ke bawah. Kami bernaung di bawah pohon waru. Badan mulai menggigil. Mendadak seorang perempuan tua memanggil kami. Menyilakan kami masuk ke rumah bambunya.

Di sana, seorang lelaki berjambang lebat, bertubuh kekar, berkulit sawo pekat, menyambut kami. Ngeri juga rasanya berhadapan dengan sosok ‘genderuwo’ itu. Lelaki itu memperkenalkan diri dengan nama Gondrong. Tapi, rasa ngeri ini menguap saat kami terlibat obrolan. Entah kenapa orang itu menaruh hormat pada kami. Kami dikira sebagai santri.

Wih, langsung kami dijamu dengan makanan istimewa. Ayam goreng. Telur puyuh rebus. Dua botol sprite. Nasi liwet panas. Tempe goreng. Dua gelas arak. Perut saya pun melonjak girang. Ini melebihi dari yang kami minta. Lalu, lelaki lebih muda muncul dan menyalami kami dengan ramah. Namanya Mamik. Obrolan tambah seru saat Gondrong dan Mamik mengaku diri sebagai preman terminal Sulang. Kakak beradik jadi pentholan preman.

Hati mendadak menciut saat mengetahuinya. Melebar lagi saat mereka berpesan, “Tenang mas. Kalau Anda dapat masalah di Sulang, bilang saja saudara Gondrong dan Mamik. Anda tidak bakal diganggu lagi!” Kami pun undur diri dengan tenang. Perut kenyang plus dapat jaminan keamanan gratis!

Cerita unik lain terjadi di hutan jati. Usai menghabiskan satu hari satu malam melintasi Blora, tibalah kami di hutan jati Randublatung. Saat itu, matahari sudah mulai menua. Sinarnya pun mulai redup. Siluet di mana-mana. Malam di ujung jalan. Di depan mata, berjejer ribuan pohon jangkung dengan batang mengelupas, cabang-cabang kering, dan daun-daun mulai menguning disengat panas. Kami sepakat meneruskan perjalanan.

Tapi, ada sesuatu yang membelokkan langkah kami ke sebuah gubuk kecil. Gubuk itu tak lain adalah sebuah posko perhutani. Seorang polisi hutan duduk di depan gubuk sambil memelintir rokok. Usai perkenalan singkat, sang polisi pun mendesak kami bermalam di gubuk. Hutan jati terlalu panjang untuk disusuri. Katanya, kami masih harus menempuh 25 kilometer dari hutan seluas 32 ribu hektare itu.

Akhirnya, kami putuskan menginap. Malam pun menyergap. Bohlam 5 watt menerangi ruangan tempat kami ngobrol. Polisi tua itu memberi kami nasi bungkus dengan lauk tempe goreng, sambel, dan kerupuk. Lumayan buat menghalau dingin udara hutan. Di pagi buta kami terbangun oleh kesibukan si polisi mempersiapkan tugas. Kami diberitahu tentang sebuah mata air cilik yang letaknya menjorok ke dalam hutan. Dengan diterangi senter kecil milik si polisi, kami berjalan menyusur jalan setapak.

Di bibir telaga mini itulah tangan kami menggayung air dan menyiramkannya ke muka-muka kumal kami. Usai cahaya bola langit menelusup di rerimbunan jati-jati, kami pamit dan meneruskan perjalanan. Polisi itu membekali kami dengan beberapa potong lepet.

Di sekitar Blora, kami juga pernah mampir di sebuah dusun beraroma ganjil. Jalan masuk ke jantung desa sungguh terjal. Lantaran lolongan perut, kami nekat masuk ke dusun aneh itu. Di perkampungan, banyak pasang mata mengawasi kami. Tatapan mereka aneh. Saya mencium bau mistis. Kami menghampiri sebuah rumah. Kami minta makanan untuk makan siang. Seorang ibu ditemani seorang anak kecil memberi kami sepiring kacang rebus dan dua gelas air putih. Ia bilang sayurnya belum matang. Tapi, mendadak saya terkejut.

Astaga! Tangan si ibu itu tanpa jari. Sontak hatiku menciut. Apalagi jari-jari kaki anak kecil di sampingnya juga raib. Sepertinya ada virus misterius atau hewan buas yang memereteli jari-jari mereka. Lalu tatapanku menyapu seluruh arah mata angin. Lihat, seluruh orang di sini cacat! Tubuhnya tidak lengkap. Namun, si ibu itu menyilakan kami dengan ramah. Kami pun memakan kacang rebus itu dengan lahap. Kami pun mengucapkan terimakasih lalu sayonara.

Orang-orang di dusun itu juga menyapa kami dengan ramah. Aura ganjil itu pun tanggal. Di ujung jalan, kami melihat sebuah papan bertuliskan “Wireskat: Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik.” Di bawahnya, ada keterangan bahwa dusun itu dikhususkan bagi rehabilitasi mantan para penderita kusta. “Tuhan sendiri yang membelokkan kaki kita ke dusun itu. Kita memang harus berjumpa dengan orang-orang terbuang itu,” kata temenku sok religius.

Celana Dalam Hilang

Memasuki wilayah Purwodadi dan Sragen kami sering ditolak. Rumah-rumah besar lebih senang mengunci pintunya rapat-rapat. Wajah kami pun sudah menghitam dan dekil. Di Solo, kami berdua dimarah-marahi oleh tentara. Namun, yang membuat kami terharu adalah saat minta makan pada rumah-rumah kecil. Banyak yang meminta maaf dengan nada tulus karena tidak ada makanan hari itu untuk dibagikan.

Di daerah ini, hujan pernah mengamuk. Tapi perjalanan harus dilanjutkan. Dengan jas hujan dan caping kami pun melanjutkan perjalanan. Menembus tirai air. Temanku berjalan di depan. Persis seperti hantu sawah!

Peristiwa kocak terjadi di Wonogiri. Tepatnya di pelataran sebuah gereja Katolik. Hari itu sudah malam. Hujan baru saja menghajar kota mungil itu. Menyisakan gerimis yang tak kunjung habis. Usai mendapat pengganjal perut, kami pun mencari tempat tidur. Emperan gereja jadi tujuan. Sesampainya di sana, kami melepas tas, membuka caping, dan meluruhkan penat ke lantai. Kami pun meninabobokkan diri sendiri.

Tapi, sebelum tirai mata tertutup rapat, sekumpulan anak muda mendatangi kami. Saya tahu mereka anak muda gereja. Mereka menginterogasi kami. Tapi, kami tidak boleh membuka identitas kami. Tampaknya mereka sangat curiga dengan penampilan kami. Mereka menanyakan isi jeriken air minum kami. Mereka mengira bensin. Saya merasa maklum karena waktu itu isu pembakaran gereja lagi marak. Lantaran masih curiga, mereka pun memutuskan ronda malam. Mereka menjaga kami. Kami pun terkekeh lirih.

Kami pun tertidur karena lelah. Gerimis belum juga bosan. Tempias membuat tubuh tanpa selimut ini menggigil berat. Dingin pun menusuk ulu. Tapi, lumayan! Kami tidur dengan dijaga oleh sekawanan anak muda, para ‘pasukan berani mati’ dan sang penjaga gereja itu. Sampai akhirnya, bunyi “tak-tak-tak-tak” mendekat.

Pagi buta. Suara misterius itu semakin mendekat. Bulu kuduk sontak berdiri. Mengira itu suara hantu dini hari. Kami bangun. Bayangan hitam muncul. Seperti siluet nenek jahat berbadan bungkuk pembawa tongkat maut. “Tak-tak-tak-tak!” Saya merinding. Bayangan itu semakin mendekat pintu gereja.

Dan, ow, rupanya seorang nenek tua keriput berjalan pelan dengan tongkatnya menuju pintu gereja. Lalu satu per satu orang muncul dari tikungan dan tenggelam di dalam pintu gereja. Aha, saya baru ingat. Ini jam misa pagi. Lalu kami bergegas cari kran air dan bergegas masuk. Kami pun ikut ibadat pagi. Di dalam, kami celingukan. Kebanyakan orang-orang yang sujud di depan altar itu berwajah uzur dan renta. Saya pun bertanya di mana anak-anak muda sang penjaga gereja tadi malam? Tak satu pun ada di sana! Mungkin capek karena ronda malam.

Sepi membekap erat saat kami memasuki kawasan Pegunungan Seribu. Pegunungan kapur ini membentang dari Pacitan sampai Kebumen. Jalanan lengang. Hanya kami berdua. Kanan kiri menyembul ribuan gundukan bukit. Di atas, mega-mega putih berarak seperti sekumpulan domba sedang merumput di padang biru terbentang. Angin sesekali melesat cepat menghalau panas yang menghunjam ke tanah. Sebuah wahana yang menakjubkan! Sayang, tak ada kamera untuk mengabadikannya.

Di bawah bayangan, dua gundukan bukit ada sebuah sungai mengalir lirih. Pelan. Seperti napas tersengal dari dada orang yang sedang sakratul maut. Sebentar lagi kerontang menghajar. Di sungai kecil itu, kami pun mencuci pakaian kami. Termasuk celana dalam. Maklum kami hanya bawa dua stel. Usai mencuci tanpa sabun, kami pun menjemur pakaian kami di atas caping kami.

Kami harap matahari akan memanggangnya sampai gosong. Sambil menjemur, kami pun melanjutkan perjalanan. Selepas kawasan pegunungan Seribu, kami pun istirahat. Tapi, saya terkejut bukan main. Celana dalam saya hilang! Pasti jatuh di perjalanan. Mau menyisir ulang jelas tidak mungkin. Yah, akhirnya Saya hanya mengandalkan satu celana dalam di perjalanan selanjutnya. Bayangkan sendiri!

Ditahan di Pos Koramil

Lain lagi di Pracimantoro. Di sini, kami berniat minta penginapan di rumah pengurus RW. Tapi, demi keamanan, kami pun dibawa ke kantor koramil terdekat. Di sana, interogasi pun dimulai. Seorang tentara dengan pakaian hijau loreng-loreng mencecar kami dengan puluhan pertanyaan. Kumis tebalnya naik turun seperti sikat kamar mandi warna hitam menggosok-gosok lubang kakus.

Untungnya, kami bisa menyembunyikan identitas kami. Meski hati terlanjur keder. Saya mendadak seperti berada di bangku peradilan militer. Puas dengan serangan pertanyaan, lelaki berotot dengan pistol di pinggang itu mengizinkan kami tidur di kamar posko militer itu.

Angin berembus melewati lobang jendela koramil membawa hangat. Si bola raksasa mulai merangkak di langit timur. Televisi di pos koramil itu masih berceloteh dengan siaran berita pagi. Kami pun bergegas dan minta pamit pada tentara berkumis seperti sikat kamar mandi itu. Lega rasanya meninggalkan rumah warna hijau itu. Plong! Seperti baru saja bebas dari rumah tahanan.

Pukul dua siang, kami tiba di Wonosari. Matahari marah. Panas membakar udara jalanan. Perut pun minta diisi. Kami melihat sebuah rumah bambu dengan atap mengepulkan asap putih. Pikir kami pasti si empunya rumah sedang masak. Artinya, ada makanan di sana. Kami mengetuk pintu.

Seorang ibu setengah baya menyambut. Kami sampaikan maksud kami. Kami lapar dan kami mohon dikasih secuil makanan. Ibu menatap kami. Dalam bola matanya terbersit rasa kasihan mendalam. Tapi, ibu itu minta maaf karena tidak ada makanan siang itu. Yang ada hanya air minum. Itu pun baru dimasak. Kami paham dan melanjutkan langkah.

Saat kami meninggalkan rumah perempuan itu sejauh 500-an meter, mendadak terdengar orang berteriak dari belakang. Ternyata perempuan tadi mengejar kami dengan sepeda mininya. Ia berteriak-teriak sambil menangis. Ia meminta maaf karena benar-benar tidak mempunyai makan siang untuk disuguhkan. Kami heran lalu hanyut dalam haru.

Bola-bola kristal cair tanpa henti menyembul di kedua sudut mata perempuan itu. Sebagai pengganti rasa salah, ia membawakan tiga bungkus indomie dan uang lima ribuan kepada kami. Kami pun terima indomie itu. Tapi tidak dengan uang itu. Kami komit untuk tidak menerima uang. Kami mengucapkan terimakasih. Perempuan itu pun pergi sambil terus sesenggukan. Di kedua sudut mata saya, terasa ada gelimang air yang mau tumpah. T-e-r-h-a-r-u!

Sore menjelang. Sinar matahari semakin kusut. Bukit tempat Gua Maria Tritis pun sudah di depan mata. Batu-batu karang berlumut berdiri dengan pongah. Menantang untuk segera dirangkaki. Tanpa lama sampailah kami di gua alam di wilayah Giring, Paliyan, Gunung Kidul itu. Kami pun segera merebahkan diri di mulut gua yang mengangga. Seperti berada di mulut raksasa gunung.

Lega rasanya. Sukacita besar membuncah dalam hati. Tak peduli kelelahan membekap selama sembilan hari. Akhirnya, kami persembahkan seluruh pengembaraan itu di Lourdes Indonesia itu. Termasuk sandal jepit yang putus talinya di hari terakhir.

Sepertinya seluruh ketakutan hidup di awal pengembaraan ini tidak terbukti sama sekali. Langit telah mengirimkan malaikat-malaikatnya untuk memberi kami makan. Meski mereka malaikat-malaikat berdebu. Malaikat berwajah garang dengan bau acin terminal. Malaikat-malaikat tanpa jari lantaran lepra menggerogoti. Malaikat berumah bambu. Malaikat-malaikat kecil yang kadang hina di mata kita. Malaikat miskin yang memberi pertolongan dari kekurangan mereka. Malaikat yang jarang kita lihat dengan mata telanjang kita. Padahal ia ada di sekitar kita.

Yes, I believe in angels!

*Tulisan ini pertama kali diterbitkan di KOKI Kompas tahun 2008.

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *