Di luar warung kopi ini, hujan sedang deras-derasnya. Kami masih membincangkan kisah-kisah kami masing-masing. Di sudut maupun lorong warung ini, orang-orang bercakap-cakap dengan suara samar. Kopi hitam saya masih utuh. Sementara, kopi kapucino milik teman saya tinggal separuh.
Pertemuan ini tak direncanakan. Diskusi di kedai kopi bilangan Cikini, Jumat, 13 September 2015, tentang tragedi 1965 itulah yang mempertemukan kami. Kami membincangkan banyak hal. Tapi, obrolan kami bukan tentang korban-korban kekejaman Orde Baru yang kini sedang mencari keadilan di Den Haag itu. Kami membincangkan kisah-kisah kami sendiri. Kisah-kisah sederhana yang mengalir dalam keseharian.
Pekerjaan dan keluarga. Itulah dua hal yang
mendominasi percakapan kami. “Perjalanan saya cukup panjang. Kini, saya merasa
berada di tempat yang baik. Tempat yang benar-benar saya sukai. Ibarat benih
yang jatuh di tanah yang subur, saya jadi berkembang. Dan, ada dua orang yang
membantu menyirami benih itu sehingga tumbuh dan berkembang,” demikian kata
teman saya ini.
Saya diam untuk menyimak. Saya senang
mendengar kisah-kisah. Saya juga senang menuliskan kisah-kisah tersebut. Dan,
saya senang membagikan kisah-kisah itu. Saya belajar banyak dari para pemilik
kisah-kisah itu.
Teman saya mensyukuri kecintaannya pada masalah
HAM yang mengantarnya pada pekerjaan-pekerjaan yang makin besar dan
menyenangkan. Dia telah menemukan dirinya sendiri. Dia mensyukuri perannya yang
makin besar dalam komunitas yang tak sekadar Indonesia, tapi dunia.
“Rasa takut dalam diri saya sudah hilang. Dan,
selagi kita percaya dan berusaha, semesta tampaknya selalu mendukung dan
membuka jalan,” ujarnya sambil menatap saya dengan tajam.
Dalam batin, saya sontak menilai dia seorang
Coelhian. Apa yang ia ungkapkan itu
persis seperti yang ditulis Paulo Coelho dalam novelnya Sang Alkemis. Saya percaya, karena sejak perjumpaan pertama
dengannya tahun 2005, anak muda ini memang memiliki karakter berani dan punya
tekad kuat saat mengejar sesuatu.
Perjumpaan ini juga telah mengantarkan saya
pada lingkaran anak muda hebat-hebat di bawah didikan mendiang Romo Josephus
Adi Wardaya SJ – seorang Jesuit yang peduli pada transformasi anak muda.
“Dan, anehnya setiap saya mengejar
nilai-nilai, ada saja rezeki yang datang mengalir untuk mendukung kehidupan
keluarga saya,” imbuhnya. Mendengar ini, saya teringat pesan Yesus, carilah
dahulu Kerajaan Allah, maka segala sesuatu akan ditambahkan kepadamu.
***
Lalu, kami membincangkan tentang anak. Ia mendapat kesadaran baru bahwa anak itu bukan milik orangtuanya. Sebaliknya, orangtua itu milik anaknya dan milik generasi masa depan. Sebab itu, jadilah milik anak yang membanggakan. Katakan tidak pada bapak yang gemar berbuat jahat atau korupsi.
“Orangtua bekerja untuk anak. Dan, dalam
kondisi ini, saya tertantang makin menjadi seseorang. Dengan menjadi seseorang
sebaik mungkin, anak juga akan memiliki kebaikan tersebut. Kehadiran anak
membuat saya tertantang untuk tidak main-main dengan hidup,” katanya.
Sebagai orang yang bergulat pada masalah HAM,
ia berusaha memperkenalkan HAM pada diri anak. Anak – khususnya yang masih
balita – pantas dihormati kepribadian dan kedaulatannya. Sebab itu, ia
memutuskan tidak menindik anak perempuannya. Ia tidak melobangi telinga anaknya
dengan anting-anting sampai saatnya sang anak memilih dengan sadar
anting-anting tersebut.
“Saya memulai mengembangkan diskusi dengan
anak, khususnya apa saja yang terkait dengan tubuhnya sendiri. Semua itu saya
lakukan dalam rangka memenuhi hak anak. Mungkin saja, masyarakat menganggap
langkah saya ini tidak benar. Tapi, sejak awal menikah, saya “melawan”
cara-cara pandang konservatif, termasuk menikah beda agama,” katanya.
Lebih ekstrem lagi, ia menegaskan, orangtua
tidak memiliki hak apa pun atas anak. Yang dipunyai orangtua adalah tanggung
jawab. Anak-anak hidup tergantung pada orangtuanya. Dia tidak bisa mengatakan
dirinya minta vaksin atau tidak, misalnya. Tapi, tanggung jawab orangtua untuk
memenuhi segala kebutuhan yang belum bisa terkatakan itu.
Termasuk ketika orangtua menganggap dirinya
berhak memberi nama anak. Memberi nama anak itu untuk keperluan sipil dan
administratif. “Namun, kalau anak tumbuh dan merasa tidak sreg dengan namanya,
ia berhak mengganti namanya sendiri,” katanya.
Hujan masih deras di luar warung kopi itu.
Kisah-kisah yang juga semakin deras dari kawan saya ini membuat saya makin
bersemangat mendengarkannya. Sampai muncul keinginan kuat memesan lagi
secangkir kopi hitam, namun urung karena takut berlebihan.
“Menurut saya, kunci anak sehat itu ada dua. Pertama, ibunya harus sehat. Kedua, ibunya sehat itu sangat
tergantung pada relasi dengan suaminya. Jadi, peran suami itu sangat krusial,”
katanya.
Lelaki kelahiran Gombong, Jawa Tengah, ini
lalu bicara tentang cinta. Ia membungkus sepotong refleksi, mencintai –
keluarga – itu tanpa syarat. “Aku telah membuktikan, aku mencintai ya karena
aku mencintai dan bukan karena ini atau karena itu. Sebelumnya, kita
mencari-cari alasan bisa ini dan bisa itu untuk mencintai seseorang. Dari
anak-anak yang belum bisa apa-apa, saya tertantang jatuh hati padanya setiap
saat,” katanya.
Mendengar ini, saya langsung teringat lagi
akan kutipan dari novel Sang Alkemis
yang saya tulis dalam undangan pernikahan saya sembilan tahun lalu. Bunyinya,
“Seorang dicintai karena ia dicintai. Tidak perlu ada alasan untuk mencintai.”
Ia mengaku, narasi-narasi kecil dalam
keseharian justru lebih menantang ketimbang narasi-narasi besar yang selama ini
ia temui dalam diskusi-diskusi maupun konferensi pers tentang HAM.
“Hidup memang berjalan tidak pasti. Tetapi,
saya tetap percaya. Saya merasa setiap saat tantangan muncul dan setiap saat
itu pula saya berhasil menghadapi, saya justru makin semangat menghadapi
tantangan-tantangan baru. Ini menjadi bagian pergumulan rohani saya selama
ini,” pungkas lelaki itu.
Demikian lelaki ini membagikan kisah-kisahnya.
Lalu, ia meminta saya gantian bercerita. Singkatnya, saya bercerita tentang
pengalaman titik balik. Sepotong pengalaman rohani. Semua berawal dari kematian
tiga orang istimewa pada tahun yang sama, yakni bapak, ibu, dan nenek saya.
“Bapak ibu saya mati untuk melahirkan saya
kembali.” Demikianlah intinya. Dan, saya akan menceritakannya secara terpisah.
Rencananya, kisah ini akan saya tuangkan dalam buku misa untuk setahun
meninggalnya ibu.
Lalu, siapa lelaki penakluk singa seperti yang
disebut di judul di atas? Oya, lelaki penakluk singa itu bernama Daniel. Iya,
Daniel, tepatnya, Nabi Daniel, kisah legendaris dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama. Daniel populer karena kisahnya yang heroik: menaklukkan singa-singa. Saat
dikurung di gua penuh singa, Daniel tidak luka sedikit pun. Binatang-binatang
buas justru tunduk padanya. Daniel tidak takut karena percaya Allah bersamanya.
Dan, lelaki yang hampir sejam membagikan
kisah-kisahnya itu juga bernama Daniel. Lengkapnya Daniel Awigra. Kini, ia
terus berjuang untuk menaklukkan “singa-singa”, baik yang ada di dalam dirinya
maupun di dunia tempat ia berada.
Di luar warung kopi, hujan mulai mereda. Saya
undur diri dan harus pulang. Hujan masih setia mengguyur perjalanan saya dengan
sepeda motor menuju Kebon Jeruk.
Saya bersyukur karena sepanjang perjalanan,
meski dingin dan basah kuyup, Allah tak henti-hentinya membakar hati saya.
Semua itu berkat perjumpaan singkat dengan Daniel, lelaki penakluk singa itu.
Bakoel Koffie Cikini, 13 September 2015