“Pada debur ombak kesembilan, terdengar ledakan itu. Tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang tajam menembus punggungku. Pedih, perih. Lalu, belakang kepalaku…Aku melayang-layang ke dasar lautan.”
Akhirnya, dalam empat hari, aku menyelesaikan baca novel “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori kemarin, tengah malam. Malam memang waktu terbaik untuk membaca, tanpa diganggu tetek bengek urusan kerjaan, kecuali rengekan si kecil minta susu atau minta diputerin YouTube. Tentu setelah urusan bola selesai.
Bagus, itu ekspresi jujurku untuk novel ini. Seperti dalam novel sebelumnya berjudul “Pulang”, Leila berhasil membawaku pada drama masa-masa perjuangan anak-anak muda yang keluar dari kemapanan untuk melawan Rezim Soeharto dan mesin fasisnya, Orde Baru.
Novel ini bukan sekadar novel atau tulisan sastra. Lebih dari sekadar bacaan fiksi di waktu luang, novel ini mengusung kebenaran sejarah yang sampai sekarang belum jelas jluntrungnya karena pemerintah masih “angot-angotan” mengusut tragedi kemanusiaan yang dilakukan Soeharto dan mesin-mesin pembunuhnya.
Membaca tokoh-tokoh novel ini, saya langsung bisa menerka sosok-sosok nyata yang diasosiasikan oleh karakter fiktif. Arifin Bramantyo, misalnya, seperti mencerminkam sosok Budiman Sudjatmiko, Sang Penyair kental melekat dengan sosok Wiji Thukul. Belum lagi, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Kasih Kinanti, Naratama.
Termasuk dua organisasi pemuda, Winatra dan Wirasena yang dikambinghitamkan oleh Soeharto sebagai dalang Tragedi 27 Juli 1996 di Jl. Diponegoro. Paska tragedi, keduanya dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan anggota-anggotanya ditangkap, dipersekusi, diculik, dan dibunuh. Kisah keduanya melekat pada SMID dan PRD.
Mereka adalah anak-anak muda dan remaja yang berjuang, jauh sebelum ada hiruk-pikuk cuitan Twitter, Instagram Stories, Fesbukan, Line, jeprat-jepret selfie, hingga main TikTok yang baru saja diblokir. Alat komunikasi paling banter telepon dan pager. Itu pun dimiliki oleh segelintir orang yang notabene orang kaya.
Mereka adalah generasi yang gelisah, bukan karena muka mereka penuh jerawat sehingga tak sedap dipandang saat selfie, tapi gelisah karena Soeharto terus berkuasa sembari menindas rakyat dan melibas lawan-lawan politiknya.
Mereka adalah generasi yang bangga ketika menenteng buku, membaca, dan kemudian mendiskusikannya, bukan menenteng gawai keluaran terbaru untuk sekadar pamer. Keren bagi mereka adalah ketika mereka bisa membaca karya Pramoedya Ananta Toer. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena karya Pram dilarang oleh Orde Baru yang antikomunis. Bila ketahuan oleh lalat-lalat (sebutan intel kala itu), mereka bisa ditangkap, dipenjara, dan tentu saja disiksa.
Jadi, lucu juga ketika ada komentar dari adik-adik unyu yang mengira Pram sebagai penulis kemarin sore dan sekadar numpang tenar karena bukunya “Bumi Manusia” akan diangkat ke layar lebar. Keunyuan mereka memang tak bisa disalahkan. Justru, orang-orang dewasa yang menggenggam pengalaman getir masa lalu ini wajib untuk tiada putus menceritakan kebenaran yang sampai hari ini terus ditutup-tutupi kepada adik-adik unyu ini. Dua jempol buat Leila yang mau berbagi kebenaran itu dalam bentuk cerita, seperti Laut Bercerita ini. Agar apa? Agar keunyuan itu (baca: kenaifan karena kurang baca buku) tak terjadi lagi di generasi mendatang. Agar juga pemerintah tak lupa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat masa lalu yang sampai kini, di setiap Kamis di depan istana negara, digaungkan dengan aksi diam payung hitam atau Aksi Kamisan yang juga disebut dalam Laut Bercerita.
Lalu, apa kekuatan sebuah buku sastra? Seno Gumira Ajidarma dalam buku “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Bicara” mengatakan, bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Seno melanjutkan, jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis hingga politik, untuk menghadirkan dirinya. Sedangkan kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat, dan tak tertahankan.
Saya menikmati cerita Leila ini. Kadang, saya merinding, kadang ikut hanyut dalam suasana genting dan merasakan dinginnya lantai penjara, juga mencecap kensunyian mendalam saat Biru Laut mau ditembak mati dan dibuang ke dasar lautan, bisa mengumpat bangsat pada Gusti yang ternyata seorang mata-mata, merasa ikut sedih saat orang-orang tua korban penculikan itu bertingkah aneh-aneh untuk menyangkal anak mereka sudah mati dijagal aparat. Soal membangun suasana dan karakter yang solid, Leila memang jagonya.
Dan, saya makin yakin, sebuah karya hebat bukan sekadar hasil seratus persen imajinasi, tapi juga proses pencarian panjang. Leila jelas tahu benar sejarah saat itu. Ia harus melakukan riset dan mewawancari para pelaku sejarah secara langsung agar ceritanya hidup dan bunyi.
Sekali lagi, Laut Bercerita memang sebuah fiksi. Tapi, fiksi yang mengusung kebenaran. Kebenaran yang masih disangkal oleh mereka para pemuja Orde Baru dan ingin menghadirkan kembali “hantu” Soeharto sekarang ini. Laut Bercerita, seperti halnya yang dikatakan oleh Milan Kundera, adalah alat melawan lupa. Leila ingin mengajak pembacanya agar tidak lupa pada masa lalu yang keji yang belum mendapat keadilan dari negara.
Bahkan, mereka yang terindikasi terlibat dalan tragedi kemanusiaan ini masih bercokol di pusaran kekuasaan. Edannya lagi, dia yang harusnya bertanggung jawab atas kasus penculikan, justru masih berambisi menjadi orang nomor satu negeri ini. Bersama Laut Bercerita, mari kita lawan!
terharu sama isi tulisan ini,sudut pandang nya banyak, harus perlu memahami lebih dalam.