Tak terlalu sukar untuk mencintai babi. Sekali lagi, tak susah mencintai daging binatang yang orang sering menyamarkannya dengan inisial B2 itu. Tinggal mencicipinya, menggoyangnya dengan lidah, lalu jatuh cinta.
Babi diolah dengan bumbu apa pun pasti membuat orang yang “menguntalnya” jatuh cinta. Namun, meski ada banyak jenis olahan babi, seperti babi asap, babi kecap, babi panggang, babi keunyuk, sate babi, babi yang saya suka adalah babi goreng dengan taburan bawang putih goreng plus sambel matah. Enaknya pol tenan, apalagi dimakan dengan nasi putih hangat atau bahkan panas.
Saya jatuh cinta pertama kali pada daging binatang unyu ini saat berada di sebuah asrama di Magelang. Asrama yang pintu gerbangnya menantang Merapi dan Merbabu. Kala itu antara tahun 1992-1996. Biasanya, babi menjadi menu makan anak-anak asrama pada Minggu siang. Dan, lucunya, setiap menu babi itu mendarat di meja yang masing-masing berisi delapan anak asrama itu, kami sudah siap dengan garpu yang kami sembunyikan di belakang punggung, padahal saat itu sedang berdoa makan. Doa makan menjadi sekadar seremonial karena masing-masing sudah siap rebutan babi di meja. Semua mata melotot ke arah mangsa.
Kenapa harus diperebutkan? Karena yang paling terakhir mengambilnya, dipastikan dapat potongan paling kecil, dan itu pun 90%nya lemak atau gajih. Dan, biasa pula anak itu langsung mengumpat: semprul! sebagai tanda kalah bertanding.
Tak terlalu sukar untuk mencintai babi. Sayangnya, nama binatang ini sering dipakai buat embel-embel mengumpat, dan bukan mencintai.
“Babi kamu!”
“Asu!”
Ups, untuk umpatan kedua itu tak kalah enak dagingnya lho. Saban pulang ke Jogja, saya pastikan mampir di warung sengsu (tongseng asu), entah di Ganjuran, entah di pinggir ringroad kidul. Baik babi maupun asu, memang tak terlalu sukar mencintainya.
Sabtu siang ini, kami menguntalnya!
Catatan: cinta ini tak berlaku bagi mereka yang punya mazhab yang berbeda. Perbedaan bukan persoalan, tapi rahmat untuk persatuan…malah nyanyi, wuasyu!
walaupun di kasih gratis beberapa banyak, udah pasti saya tolak, ya karena tidak sesuai dengan syariat islam.
Sayangnya yang makan sengsu tidak mau tahu yang dimakan itu hasil anjing curian dari peliharaan warga atau bukan, juga tidak peduli bagaimana kekejian cara membunuhnya. Tutup mata dan sikap kritis soal ini asal bisa makan dan bisa bayar. #prihatin