Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Burung

1 min read

 

Source: 123rf.com

“Aku ingin menulis kisah tentang burung itu?”

“Burung apa?”

“Burung yang mati karena kepalanya dipenggal di ujung negeri.”

“Wah, aku ora  melu-melu.”

“Lha, kenapa?”

“Pokomen, aku ora melu-melu.”

“Emang, ono opo, dab?”

Wajah karib saya mengkerut. Seringai menghiasi parasnya. Tampaknya ia menyembunyikan sebuah ketakutan. Aku heran. Mendadak lulusan Hubungan Internasional dari Kampus Biru ini seolah sedang mengendus bau keringat intel zaman ORBA yang sedang memata-matainya dan gentayangan entah di mana. Padahal ini cuma masalah supersepele, soal burung dan bukan politik.

Burung menjadi topik “mete-mete” dua hari belakangan ini. Mete-mete adalah istilah asli buatan kami sendiri untuk aktivitas rehat sejenak. Biasanya kami melakukannya usai makan siang atau malam. Kopi hitam instan dan kebal-kebul asap rokok hadir saban reriungan ini digelar.

Mete-mete pertama soal burung itu digelar di warung ayam berkarakter, sebutan warung ayam kremes yang paling enak sepanjang gang pinggir mal Kokas. Mete-mete kedua digelar di warung Inem, sebutan kami untuk warung pecel ayam yang penjaganya seorang mbak-mbak yang menurut pandangan mata teman kami menggemaskan, seperti  Inem, sang pelayan seksi itu. Dan, teman pencetus warung Inem itulah yang juga membuka pertama kali kisah tentang burung itu.

Alkisah, katanya sembari menyalakan sebatang Surya, pada suatu ketika, seorang ksatria diutus dari pusat untuk memerangi para pemberontak yang ingin memisahkan diri dari kerajaan. Ksatria ini dipilih selain karena punya strategi berperang mumpuni, juga sangat loyal pada perintah raja. Seperti layaknya ksatria pada umumnya, perawakannya gagah dan atletis. Perawakan inilah yang membuat orang yang menemuinya kesengsem dan ingin menjadikannya panutan.

Ksatria itu punya burung yang sangat ia sayangi. Ke mana pun ia pergi, termasuk ke medan tempur, burung itu selalu ia bawa. Sampai suatu saat, pergolakan makin sengit. Ksatria dan pasukannya dikepung dan digempur habis-habisan oleh gerilyawan. Empat anak buahnya tewas. Termasuk burung itu. Sementara, sang ksatria bisa lolos dan diselamatkan oleh gerilyawan pembelot.

Berita kematian burung itu beragam. Konon, ada yang bilang, burung itu mati dipenggal oleh sangkur milik gerilyawan. Ada juga yang bilang mati ditembak. Ada lagi yang bilang burung itu dimangsa kucing hutan. Ada juga yang bilang, burung itu sekadar mitos.

Entah kisah mana yang benar, saya tidak tahu. Yang kutahu, wajah teman saya masih mengkerut. Seringai menghiasi parasnya.

“Aku ingin menulis burung itu.”
“Aku ora melu-melu.”
“Lho, kenapa?”
“Pokokmen aku ora melu-melu.”

Saya bingung. Kepala saya menunduk. Tangan kanan saya membuka sedikit celah celana saya. “Alhamdulilah, masih ada!”

 

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

One Reply to “Burung”

  1. isi tulisan nya bagus memberikan inspiraisi.
    hiduplah bagaikan burung terbang bebas tanpa batas namun tau kmn dia harus pergi dengan tujuan yang jelas dan baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *