
“Sejarah manusia adalah sejarah ketimpangan dan ketidakadilan. Selama ada ketimpangan, baik itu ketimpangan sosial maupun ekonomi, selalu ada orang yang tidak suka. Kalau ini terjadi, maklum saja kalau muncul ujaran kebencian,” ujar Ariel Heryanto membuka paparannya.
Siang itu, di kedai kopi GoWork, Pacific Place, kawasan SCBD, Jumat (20/7/2018), saya duduk di barisan belakang. Menyimak obrolan bareng Pofesor Ariel Heryanto yang dipandu oleh wartawan kawakan Nezar Patria. Temanya memikat: “Media dalam Dinamika Politik Identitas.” Baru kali ini saya mengikuti langsung paparan guru besar dari Monash University, Australia ini.
Sejarah kebencian di kalangan orang Indonesia, menurut Ariel Heryanto memiliki pangkal yang panjang. Sejak pertama Indonesia merdeka dari kolonialisme Belanda, Indonesia sedang belajar membenci. Orang Indonesia belajar membenci orang-orang Barat. Mereka belajar membenci orang lain yang berkulit putih. Dan, kebencian itu, seperti spiral yang terus-menerus bergulir hingga masa kini.
Sampai sini, saya makin tertarik pada obrolan yang seolah ingin membedah asal usul kebencian. Saya menyebutnya dengan genealogi kebencian di Indonesia. Dan benar, penulis buku “Identitas dan Kenikmatan, Politik Budaya Layar Indonesia” (KPG, 2015) ini, mengatakan akar dari kebencian – Ariel menyebutnya racun – adalah sebuah angan-angan atau harapan pada sesuatu yang disebut asli atau murni atau suci atau perawan.
“Saat kemerdekaan, orang menegaskan soal orang asli Indonesia atau pribumi. Ini yang harus pertama diamankan. Orang lupa kalau kemerdekaan Indonesia tak lepas dari dukungan orang-orang kulit putih atau semi putih. Sayangnya, sejak awal, kita diajari untuk memusuhi orang kulit putih,” kata Ariel.
Racun untuk mencari yang murni terus menjalar. Usai Belanda hengkang dari Indonesia, orang Indonesia mulai membenci bangsanya sendiri. Orang kembali terjebak pada identitas murni. Karena merasa paling Islam, orang mulai membenci yang kurang Islam. Karena merasa paling nasionalis, orang mulai membenci yang kurang nasionalis. Karena merasa paling Pancasilais, orang membenci yang kurang Pancasilais. Dan, sambung Ariel, ini memuncak pada tahun 1965, saat negara mengobarkan kebencian pada komunis karena dianggap tak Pancasilais maupun agamis.
Selagi kita masih terjebak pada angan-angan tentang yang murni, asli, atau suci, kita akan bisa terus jatuh pada kebencian. Dan, saat ini, kita memiliki alat ampuh untuk hal ini,” ujarnya.
Ariel mengingatkan, kerinduan akan yang lebih murni atau asli ini tak hanya pada soal ideologi atau gagasan, tetapi juga ras, agama, dan bahkan seksual. Banyak orang benci pada orang-orang LGBT. Kebencian itu diekspresikan lewat diskriminasi dan bahkan kekerasan. LGBT dipandang sebagai yang kurang lelaki atau perempuan asli. Sebab itu, LGBT dianggap pantas disingkirkan. Logika yang sama juga bisa dipakai untuk membedah fenomena kekerasan oleh laki-laki pada perempuan.
Teknologi Memfasilitasi
Dari mana datangnya kerinduan akan yang asli itu? Ariel Heryanto mengatakan dari modernitas – khususnya teknologi dan sains. Teknologi pada era awal kelahirannya memungkinkan reproduksi akan segala sesuatu yang asli. Reproduksi lukisan, misalnya. Begitu reproduksi kian massal, orang kembali mempertanyakan dan mencari yang asli.

Teknologi makin memperlebar kesenjangan antara yang asli dan tidak asli. Selain itu, teknologi memungkinkan manusia mengukur sampai pada tataran terkecil untuk mencari tahapan terawal – mana yang lebih tua, mana yang lebih asli.
“Penyesalan pada modernitas itu terjadi saat pecah Perang Dunia. Sains dan teknologi telah membawa kehancuran,” ujarnya.
Ingatan saya sontak tertuju pada negara-negara di Perang Dunia yang adu kekuatan. Lalu, sosok Hitler yang membangga-banggakan ras Arya sebagai ras manusia paling murni sembari melemparkan orang-orang Yahudi ke kompor raksasa di kamp konsentrasi.
Media sosial saat ini menjadi fasilitator efektif dalam mempromosikan kebencian ini. Dulu, hanya orang-orang yang memiliki kekuatan untuk menguasai industri media untuk menebar kebencian. Sekarang, setiap orang yang memegang ponsel dengan media sosial di dalamnya bisa memproduksi kebencian dengan gampang.
Hoax Itu Ibarat Debu
Satu lagi yang saya suka dari Ariel Heryanto. Saat peserta diskusi melemparkan pertanyaan, ia justru balik mempertanyakan pertanyaan tersebut. Ada peserta bertanya, bagaimana cara melawan radikalisme dan hoax? Lelaki kelahiran Malang tahun 1954 ini balik bertanya: mengapa harus dilawan?
“Wajar saja, selama ada ketimpangan, orang berhak marah. Saat ada ketimpangan, orang butuh jalur atau wadah untuk mengungkapkannya. Kalau di suatu negara, jalur atau wadah itu tidak ada, orang akan mencari caranya sendiri. Bisa dengan ujaran kebencian, hoax, atau bahkan bom bunuh diri,” katanya.
Hoax, sambung Ariel, itu biasa. Ia ibarat debu yang beterbangan di ibukota. Kalau ada orang yang sakit karena debut, berarti orang itu tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Jadi, jangan salahkan debunya.
Kalau memang hoax itu sampah, ya buanglah sampah pada tempatnya. Tak usah sakit hati. Demikian juga kalau ada yang jualan politik identitas, jangan salahkah yang jual, salah sendiri kenapa dia mau membeli.”
Pernyataan itu saya pahami bahwa kita harus memiliki sistem imune sendiri untuk menghadapi hoax. Toh, hoax bukanlah barang anyar. Ia terus ada dan tak bisa dilenyapkan. Tapi, seseorang di samping kiri saya tampaknya tak terima dengan gagasan itu. Dia kedengaran ngedumel terus, tapi tak mau angkat tangan.
Ariel mengingatkan, jangan terjebak seolah identitas itu jelek. Politik identitas terjadi karena lembaga-lembaga politik mandul, khususnya dalam menyuarakan orang-orang menderita di tingkat bawah. Mereka akhirnya cari saluran lain.
“Inilah bentuk kegagalan kapitalisme yang suka bersin-bersin. Kebencian itu wajar. Yang tak wajar bila ia tak tertampung. Ada sampah itu tak masalah. Menjadi masalah ketika saluran pembuangannya tak berfungsi,” katanya.
Dus, Ariel tak setuju dengan aneka bentuk pensensoran, pemblokiran, pelarangan, dan pemberangusan. Kalau dilarang, orang justru curiga bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Lalu, mereka berangan, berfantasi, dan berspekulasi sendiri. Lalu, runyam.
Fitrah Media
Soal peran media, Nezar Patria yang kini menjabat Pemimpin Redaksi The Jakarta Post angkat bicara. Baginya, media-media tidak boleh hanyut dalam euforia media sosial. Media-media ini harus kembali ke fitrah dengan memegang erat prinsip jurnalisme untuk menjernihkan informasi. Prinsip verifikasi harus dikedepankan. Kalau tidak, media justru andil dalam disinformasi.
“Ada pemisahan tegas antara opini dan fakta meski stand point-nya bisa sama. Media harus independen. Tapi, ingat independen ini berbeda dengan netral,” pungkas Nezar.
Jadi, yang perlu diwaspadai adalah ketimpangan sosial dan angan-angan soal yang asli atau murni itu. Dua racun inilah yang membawa kebencian dalam darah yang mengalir di nadi kita. Alirannya pelan, tapi mematikan!
Di Rumah Dunia, cara menangkal hoax dan ujaran kebencian sangat mudah. Dengan unsur berita (5W plus 1 H) dan nilai berita (CHuPPT). Begitulah…
Pertanyaan kembali, mengapa terdapat benci dari angan-angan keaslian dan kemurnian ini? Apakah karena tidak ada pelampiasan, jadi energinya berubah ke benci? Lalu ketimpangan sosial, bukankah sudah fitrah yang tidak dapat dihindari? Mengapa kedua ini harus dibenci. Ini yang Aneh.
Saya senang dengan ide keaslian dan kemurnian, tapi tidak mengubah saya menjadi benci pada yang tidak asli. Justru berharap semoga mereka yang “belum” paham, bisa paham indahnya keaslian dan kemurnian yang saya pahami.
Darimana sumber asli kebencian ini? Jawaban yang saya yakini hingga saat ini hanyalah bisikan setan, dari yang tak tampak atau kasat mata.
Good article and good event.
Rasanya Prof kurang menukik….akar atau racun kebencian bukan angan2 atas keaslian atau kemurnian atau pun perawan…tetapi ketakberdayaan bathiniah seseorang utk melihat dan mengakui bahwa orang lain itu berbeda dari diri sendiri…. artinya seseorang itu membenci krn ia tak mampu menerima dirinya berbeda dari orang lain….