Saban kali ketemu Mas Heru saya selalu sungkan. Tepatnya was-was, jangan-jangan dia melontarkan pertanyaan sama: kapan kamu menulis buku sendiri? Pertanyaan itu sudah berulangkali. Tapi, buku itu tak jadi-jadi. Dan, lha kok, kemarin dia ujug-ujug ngasih kabar di whatsapp, pengen ketemu.
“Git, buku pesananmu sudah ada.”
“Mantab.”
“Kapan mau diambil?”
“Besok saja, Mas.”
“Setengah enam sore, aku di rumah.”
“Sip.”
Saya langsung blangkeman alias kaku lidah. Saya was-was lagi. Jangan-jangan kalau ketemu nanti, dia akan mempermalukan saya dengan pertanyaan itu lagi. Mas Heru ingin ketemu saya karena mau ngasih buku barunya.
Judulnya cakep, “Dari Frank Sinatra ke Maria Zaitun, Masyarakat Modern dalam Lirik Lagu.” Tebalnya 314 halaman. Ini merupakan kumpulan tulisan mas Heru dari tahun 2014 hingga 2017 yang ia tulis di blognya.
Meski sering was-was, saya bersyukur karena dikelilingi oleh teman-teman yang jago nulis. Bahkan, yang menjadikan menulis sebagai panggilan hidup, seperti mas Heru ini.
Petang hari, sedikit terpaksa, saya mampir di rumahnya. Kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil was-was, kami ngobrol tentang buku barunya. Tentang goyang dangdut dan militer Indonesia, politik Orde Baru dan film semi bokep Indonesia hingga tentang paroki kami yang antarpengurusnya doyan berantem dengan cara-cara kampungan. Pokokmen saya layani obrolan apa saja asal jangan soal mengapa saya belum nulis buku sendiri.
Mas Heru ini lulusan sastra UGM dan S2 IKJ. Ia sudah menulis delapan buku. Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture (2012) dan Si Jampang Jago Betawi: Kajian Tokoh Dalam Komik Ganes TH (2015), misalnya. Selebihnya silakan browsing sendiri dengan kata kunci: Paul Heru Wibowo.
Menghindari keadaan genting, saya berupaya melontarkan pertanyaan sebanyak-banyaknya agar Mas Heru tak punya kesempatan bertanya balik dengan pertanyaan kapan kamu menulis buku sendiri?
“Mas Heru kan orangnya sibuk. Kapan punya waktu buat menulis?”
“Wah, disambi terus, Git. Bisa pagi di kantor, malam di rumah, dini hari jam tiga.”
“Itu saban hari?”
“Ya, diupayakan minimal ada satu atau dua kalimat baru sehari.”
Istri mas Heru keluar membawa dua cawan berisi kwetiau seafood goreng dan dua gelas berisi air mineral. Pertanda obrolan ngalor ngidul ini bakal berubah jadi ngetan ngulon alias extra time. Dan, saya makin was-was. Jangkrik, perpanjangan waktu ini jangan-jangan akan dimanfaatkan Mas Heru bertanya itu-itu lagi. Saya cepat-cepat bertanya lagi.
“Menulis tentu butuh kedisiplinan besar. Kata Romo Sindhunata, menulis itu sebuah laku asketik, menaklukkan diri. Mas Heru, gimana?”
“Perlu terus belajar untuk punya habit sehingga bisa menjadi laku estetik.”
“Ada lagi, Mas?”
“Jadi, habit dulu yang penting.”
“Ada lagi, Mas?”
“Lalu resah kalau tak menulis.”
Saya melihat jam tangan. Maghrib sudah sejam lewat. Saya memotong pembicaraan dengan niat pamitan. Orang rumah sudah menunggu saya. Itu alasan saya. Alasan sebenarnya, biar Mas Heru tidak ingat akan pertanyaan itu.
Sebelum sayonara, saya minta Mas Heru menandatangani buku barunya itu. Tak lama, ia corat-coret di halaman pertama. Dua menitan. Sepertinya ia menuliskan sebuah pesan singkat seperti jamak dilakukan para penulis buku kepada penggemarnya. Dan, selesai.
Di sepanjang jalan, hati saya bungah. Saya cengengesan dalam hati. Syukur pada Gusti Allah, Mas Heru lupa pada pertanyaan maut itu. Sampai rumah, saya buka lagi buku bersampul kuning itu. Dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, saya membaca pesan Mas Heru.
“Untuk Mas Sigit. Semoga buku ini dapat memotivasi panjenengan untuk melahirkan buku sendiri. Selamat berproses. Scribo ergo sum!”
Kembali saya blangkeman alias kaku lidah.
“Wooo, pancen wuasyu!”
Saya pun terpingkal-pingkal dan geli pada diri sendiri.