Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Xenoglosofilia Ivan Lanin

1 min read

Foto: Sigit Kurniawan

(Sebuah dialog imajiner di kelas bahasa)

“Di bila diikuti dengan kata kerja, penulisannya disambung. Bila diikuti keterangan tempat, penulisannya dipisah. Contoh, jenderal baper doyan berak di kardus atau apakah bukan dagelan kalau pak kyai itu yang dipilih?”
“Kalau di diikuti nikahkan, penulisannya disambung kan, Pak Guru?”
“Pinter.”
“Boleh dipisahkan enggak?”
“Kamu agamanya apa?”
“Katolik.”
“Apa yang dipersatukan Allah tak boleh dipisahkan manusia. Hanya maut yang memisahkannya.”
“Wokeh!”

Orang yang suka menulis, menurut saya, seharusnya suka dengan dunia bahasa. Dengan bahasa itulah, orang bisa menyampaikan pesan dengan baik dan lincah.

Tak gampang berbahasa Indonesia dengan baik sekaligus benar. Benar menurut kaidah. Plus, mengusung kecakapan lokal. Di era sekarang, cas cis cus memasukkan kata-kata asing dianggap lebih gaya ketimbang pakai bahasa ibu sendiri.

Untunglah Tuhan menciptakan Ivan Lanin. Lalu melahirkannya di Indonesia. Dan, bukan di Rusia, entah sebagai keponakan Putin, cicitnya Lenin, atau malah Stalin. Ivan diutus Tuhan sebagai “nabi” untuk menyerukan kebenaran di dunia kebahasaan. Bahasa Indonesia, tentunya.

Perjalanan hidup Ivan tak terduga seperti manuver Jokowi belakangan ini. Dia tak punya latar belakang pendidikan bahasa. S-1nya saja teknik kimia ITB dan S-2 teknik informasi UI. Namun, semenjak tahun 2006, ia jatuh cinta dengan bahasa Indonesia. Saat itu, ia menjadi wikipediawan bahasa Indonesia.

Ia rajin mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang benar melalui jejaring sosial. Twitter. Blog. Facebook. Ia juga getol merekomendasikan padanan kata-kata asing. Misalnya, surel untuk email, gawai untuk gadget, narablog untuk blogger, daring untuk online, dan sebagainya.

Mengapa sih Ivan gandrung pada bahasa Indonesia? Kemampuan berbahasa, kata Ivan, merupakan kunci untuk bisa menyampaikan ide dengan baik. Nah!

Penerbit Kompas berinisiatif membukukan tulisan-tulisan Ivan tersebut. Apa alasannya? Sama seperti alasan mengada-ada politisi, yakni untuk mencegah yang terburuk terjadi. Apaan sih? Agar kemampuan berbahasa Indonesia orang-orang Indonesia tidak jatuh di tingkat terburuk.

“Halah, malah nyrempet-nyrempet politik.”

Tulisan-tulisan itu dibukukan dengan judul “Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?” Istilah xenoglosofilia mengacu pada lebih senang menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa ibu.

Pekan ini, saya membeli buku ini di toko buku Gramedia. Saya juga ingin belajar mencintai bahasa. Saya yakin, hanya dengan cinta, saya bisa menulis lebih baik lagi. Michael Ball bilang, love changes everything. Gombal!!

“Golput itu kata asing bukan?”
“Kenapa kamu tanya begitu? Kenapa? Sampai kamu tanya begitu? Siapa yang suruh, siapa? Karena hanya ingin tahu saja ya?”
“Hah, kok Soeharto yang jawab? Kabuuuur!”

Itulah buku baru Ivan Lanin. Saya merekomendasikannya pada kalian semua. Sekali lagi ini Ivan Lanin. Iya, Ivan Lanin, bukan Denny Siregar.

“Pertanyaan terakhir, Pak Guru.”
“Silakan.”
“Golput akan diharamkan, dipisah atau disambung?”

Muka Pak Guru pucat. Pak Guru buru-buru “ambil sepedanya” dan kabur!!!!

— Kebon Jeruk, 10 Agustus 2018

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

One Reply to “Xenoglosofilia Ivan Lanin”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *