Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

73 Tahun, Ternyata Kita Tak Beranjak

2 min read

Jagad sedang tujuh belasan pertama kalinya. Foto: Sigit Kurniawan

Pagi ini, saya mengantar Jagad upacara di sekolah. Ini upacara tujuh belasan pertama baginya. Maklum, hanya siswa kelas lima ke atas yang ikut upacara.

Saya merekam upacara itu dengan kamera. Suasana khidmat. Riuh. Terik. Peluh. Polos. Riang. Guyup. Usai upacara, tim paskibraka unjuk atraksi. Disusul iring-iringan sepeda hias. Lalu joget poco-poco bareng guru-guru, siswa, suster. Mengharukan.

Siang hari, di rumah, istri nonton film Soekarno di SCTV. Saya duduk berdampingan di sofa. Jagad sibuk dengan Maincraftnya. Lentera bermain boneka sinterklas.

TV memutar adegan kumpulan orang menolak penjajah Belanda. Banyak orang dengan banyak spanduk tumplek blek. Satu melawan Belanda.

“Pa, suasana dulu beda banget ya dengan suasana sekarang.”
“Suasana gimana, Ma?”
“Orang-orang bersatu padu berjuang. Sekarang, malah terpecah belah.”
“Cebongers dan kampreters, maksudnya?”
“Iya.”
“Terus?”
“Soekarno itu keren banget. Berani pasang badan. Tak kompromi.”

Wah, istri saya Natalia Alami mulai kepolitik-politikan nih. Dan, ini suka diceritakan malam-malam sehingga malam-malam yang harusnya romantis jadi politis. Males, tho?

Asal tahu saja, Nat itu dulu respek pada Jokowi. Tapi, ia ngaku nyesek atas manuver Jokowi kemarin. Kata Nat, hidup kita cuma jadi mainan politikus. Lha, gimana, katanya tegas dengan intoleransi, kok malah nggandeng orang yang punya peran pada kasus-kasus intoleransi. Hidup orang lain kok dibuat main-main.

Waini, saya suka. Cocok. Saya pribadi punya refleksi sendiri atas tujuh belasan ini. Kesimpulan saya, 73 tahun merdeka, tapi kita sebenarnya tak ke mana-mana. Tak pernah beranjak.

Lha kok bisa? Dulu, orang-orang, baik pemuda, orang tua, laki-laki, perempuan berani meninggalkan sentimen primordial mereka dan bersatu melawan penjajah. Mereka meninggalkan kesukuan, ideologi, dan bersatu padu. Sekarang? Orang-orang, baik cebongers atau kampreters (entah istilah dari mana ini) justru memamerkan sentimen primordial mereka secara vulgar. Tanpa rasa malu. Sedikit pun.

Kita saat ini lebih senang merayakan tembok-tembok pembatas: aku cebongers, kamu kampreters atau aku kampreters, kamu cebongers. Dua mahkluk menggelikan ini saling serang, saling sinis, saling bully , dan parahnya dua-duanya doyan memanipulasi fakta dan menggoreng kebenaran. Ideologi Pancasila hanya sebatas lambe ndower (lip service) dan nyanyian di pengujung misa minggu. Jauh dari persaudaraan sejati.

Yang ada, saya suka menyebutnya dengan ideologi “pokokmen” atau “pokoknya.” Pokokmen Jokowi. Pokokmen Prabowo. Di luar yang pokokmen, pasti salah.

Kalau sudah pokokmen Jokowi, maka segala sesuatu yang berbeda, entah itu masukan, kritik, pilihan, gagasan, dianggap salah. Tak ada kebenaran di luar Jokowi. Bahkan, sebaik apa pun niat di kubu yang berbeda pasti dianggap salah. Layak dimusuhi dan dibully. Demikian juga sebaliknya dengan pokokmen Prabowo. Di luar Prabowo, salah.

Kalau sudah pokokmen Jokowi, kasus-kasus orang yang ada di kubu Jokowi, pantas dimaafkan. Tabu untuk diutak-atik. Pokokmen woles saja kalau di kubunya ada sosok-sosok intoleran, penjahat HAM, koruptor, pelaku kekerasan, dan sebagainya. Sosok intoleran yang dulu ditentang, karena berada di kubu Jokowi, sekarang disembah-sembah. Pantes juga penjahat HAM dan penculik bernapas lega. Bebas jadi menteri. Bebas juga nyapres, dua kali lagi.

“Namanya juga politik. Politik itu punya seribu satu alasan untuk membenarkan segala sesuatu. Tahi pun bisa diubah jadi roti”

Dan, kita yang terjebak pada ideologi pokokmen ini, pada akhirnya malah permisif, tak punya prinsip, dan pintar cari-cari alasan. Bahkan, kita rela mengorbankan persahabatan demi Jokowi atau Prabowo.

Gara-gara pokokmen, kacamata kita pun buram, bahkan gelap. Kita menilai realitas tidak lagi pakai kriteria nilai dan moralitas universal. Baik buruk ditentukan oleh apakah kita di pihak Jokowi atau Prabowo. Sampai-sampai, ukuran nurani pun yang dipakai adalah apakah kita pro Jokowi atau pro Prabowo.

Njur kesimpulane opo Mas? Ojo mung nggambleh wae kowe. Yah, 73 tahun Indonesia merdeka, kita sebenarnya belum beranjak ke mana-mana. Gedung-gedung boleh tambah tinggi. Jalan tol makin panjang ribuan kilo. Jembatan, bendungan menjamur di mana-mana. Wi-Fi di mana-mana. Semua itu pantas kita syukuri. Tapi, perilaku dan mental kita masih primordial. Dulu kita dipecah-belah Belanda. Sekarang kita dipecah-belah oleh nafsu primordial. Jadi, kita sebenarnya belum beranjak ke mana-mana (untuk tak mengatakan mundur ke belakang).

“Hati-hati, Mas. Nanti kamu dituduh golput.”
“Apa salahnya golput?”
“Kalo golput, nanti yang diuntungkan kubu sebelah. Katanya, pemilu bukan untuk memilih yang terbaik. Tapi agar yang terburuk tidak berkuasa.”
“Sebelah mana? Halah, itu kan kambing hitam saja untuk menutupi frustasi mereka.”
“Mas golput atau bukan?”
“Rahasia.”

Merah putih sudah berkibar-kibar. Cebongers dan kampreters masih terus berseteru. Mereka masih saling tuduh pihaknya terbaik dan lawannya terburuk. Padahal, yang terburuk sedang mencengkeram kita semua: primordialisme.

Semoga anak-anak kita bebas dari racun primordialisme ini dan membangun persaudaraan sejati, sejak dini.

Merdeka!

— Kebon Jeruk, 17 Agustus 2018

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *