Seandainya Edgar Allan Poe (1809-1849) masih hidup dan plesiran ke Indonesia sekarang, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, ia berhenti menulis. Kedua, sebaliknya ia justru makin produktif. Kok bisa?
Rabu malam, saya mulai membaca kumpulan cerpen Poe. Kumpulan cerpen penulis Amerika ini diterbitkan oleh Gramedia dengan judul “Kisah-kisah Tengah Malam.” Muhammad Andre, pengemudi Go-Jek, mengantarkannya ke kantor saya dari toko buku Gramedia.
Sesuai judulnya, kisah-kisah Poe ini cocok dibaca tengah malam. Di kamar gelap. Di saat semua penghuni rumah tidur. Alasannya apa? Aroma teror, horor gotik, psikopat, dan ganjil makin sempurna.
Cerpen berjudul “Kucing Hitam”, misalnya. Alkisah seorang lelaki punya istri peyayang kucing. Pluto adalah nama seekor kucing kesayangan mereka.
Suatu hari, dalam keadaan mabuk dan merasa jengkel, lelaki itu mencungkil salah satu mata Pluto. Di hari lain, karena jengkel, lelaki itu menjerat leher kucing itu dan menggantungnya di dahan pohon. Di sini, saya mulai linu-linu membacanya.
Kucing mati. Lelaki terus dihantui sosok kucing itu. Hari lain lagi, ia mendapati kucing mirip Pluto. Istrinya menyayanginya. Tapi, kebencian lelaki pada kucing itu meledak.
Ia ambil kampak dan ingin membunuh kucing itu. Istrinya menghalangi. Kebenciannya pindah ke istrinya. Kepala sang istri bocor dikampak lelaki psikopat itu. Istrinya roboh dan mati.
Takut ketahuan polisi, lelaki itu membongkar tembok ruang penyimpanan anggur. Menaruh mayat istrinya di sana. Lalu, ia menutupnya dengan semen. Sadis!
Dua belas cerpen lainnya tak kalah meneror. Silakan Anda baca sendiri. Baca kisahnya seperti nonton film-film thriller para psikopat. Sebut saja Psycho, The Cabin in the Woods, Saw, The Texas Chainsaw Massacre, dan sebagainya.
Banyak kisah Poe diangkat ke layar lebar, seperti The Raven, Tales of Terror, Castle of Blood, The Black Cat, dan sebagainya. Banyak yang tergolong film lawas. Perlu upaya ekstra untuk mencarinya.
Saya sih paling males melihat film-film seperti ini. Bikin linu. Tapi, yang saya suka dari Poe, ia gesit dalam menaruh kejutan di plot cerpennya.
Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Indonesia punya kisah-kisah ganjil, teror, horor, dan psiko. Uniknya, ini bukan fiksi, tapi fakta. Bahkan, keganjilannya melebihi kisah-kisah fiksi Poe. Sebutlah stranger than fiction, seperti judul film Hollywood yang dibintangi Will Ferrell dan Dustin Hoffman.
Di Bekasi, misalnya, Agustus tahun lalu, seorang lelaki dibakar hidup-hidup oleh massa karena dituduh mencuri pengeras suara milik Musala Al-Hidayah.
Ada lagi DP. Lelaki beristri asal Kendal ini membunuh pacarnya dan mencor mayatnya di kamar mandi. Mereka sempat bercinta sebelum terjadi pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2018.
Di Surabaya, tahun 2013, SOL membunuh seorang balita. Mayatnya diguyur semen biar tidak menguarkan bau busuk. SOL adalah tetangga korban. Membunuh gara-gara sakit hati pada ayah balita itu.
Di Pontianak, Juli 2018, HN membunuh ibu kandungnya sendiri. Ibunya dimutilasi dan potongan tubuhnya dimasukkan ke dalam ember.
Di biara Maumere, Sika, 2013. Tulang jenazah mantan suster ditemukan di kompleks biara setelah 10 tahun dikabarkan hilang. Pastor H jadi tersangka. Keduanya terlibat hubungan asmara. Di dekat dekat kuburan ilegal itu, polisi menemukan dua kerangka bayi. Diduga bayi itu hasil hubungan gelap keduanya.
Belum lagi, di Cikesik, Pandeglang, 2011, tiga warga Ahmadiyah tewas mengenaskan karena dibantai ramai-ramai. Aparat yang ada di tempat kejadian tak berkutik di depan massa. Kesadisan ini direkam melalui hape dan viral.
Ada lagi ST, lelaki berkemeja biru kotak-kotak, siang hari pada awal Oktober 2014, meloncat dari lantai 56 Menara BCA. Tubuhnya hancur. Entah apa yang ada di benaknya.
Saya pernah menulis kisah-kisah ganjil ini di blog saya, Scriboers. Judulnya, “Saat Dunia Kita Lebih Absurd Ketimbang Fiksi.”
Belum lagi kisah-kisah paling gres. Kisah orang-orang yang menjadi psikopat karena mabuk agama. Orang-orang yang berperilaku kesetanan usai keluar tempat ibadah.
Termasuk juga kisah-kisah yang membuat nalar kita gatal. Kisah perempuan yang dibui karena protes pada kerasnya suara toa. Kisah tentang mereka yang jejak rekamnya buruk, entah sebagai arsitek intoleransi dan SARA, penculik aktivis pro demokrasi, penjahat HAM, maling uang negara, justru berfoya-foya di pusaran kekuasaan. Politik absurd. Politik jahat.
Hubungannya dengan Poe? Seandainya dia masih hidup dan main ke Indonesia. Pertama, mungkin dia syok berat karena Indonesia menjadi gudang peristiwa-peristiwa absurd, ganjil, teror, psiko, yang melebihi cerpen-cerpennya. Lalu ia mutung dan berhenti menulis.
Kedua, ia jatuh cinta pada Indonesia. Peristiwa-peristiwa psiko tersebut justru memacu adrenalinnya untuk terus menulis. Indonesia menjadi gudang ide bagi Poe. Poe bakal bilang: inilah Wonderful Indonesia yang sesungguhnya!
Kesimpulannya, Mas? Saya jadi ragu-ragu merekomendasikan buku ini untuk Anda baca. Anda cukup baca di portal-portal online. Semua kisah teror, horor, psiko, absurd, ada di sana. Dan, yang penting 100 persen made in Indonesia. Ingat pesan bos Maspion dan Titiek Puspa, cintailah produk-produk Indonesia.
Tapi, bila Anda tak punya nyali atau tak doyan kisah-kisah teror dan suspens ini, bacalah kisah anak-anak, penuh lelucon menggelikan dari Denny Siregar. Atau, cukup baca fesbuk, tempat banyak cebonger dan kampreter buang ingus, meludah, dan berak.
Gampang, tho?
— Kebon Jeruk, tengah malam, 25 Agustus 2018