Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Selasa

2 min read

Morrie dan Albom. Sumber: Wixsite.com

Pada sebuah masa, saya pernah merasa was-was saban Selasa tiba. Was-was yang sungguh mengganggu. Itu terjadi selama hampir enam mingguan. Sampai pada akhirnya rasa was-was itu hilang dengan sendirinya. Kok bisa?

Saya bercerita ini lebih dulu. Tentang Selasa, saya selalu ingat kisah yang ditulis Mitch Albom berjudul “Tuesdays with Morrie” (1997). Novel legendaris yang diangkat dari kisah nyata ini merupakan novel pertama Albom yang saya baca, sebelum “Five People You Meet in Heaven”, “Have a Little Faith,” dan “The First Phone Call from Heaven.”

Berkat novel ini, saya berkenalan lebih dekat dengan seorang teman. Dia juga pembaca kisah Albom. Namanya F Indah Kuwaratiwi akrab dipanggil Fiki. Dulu, dia teman sekantor. Sekarang, perempuan berhijab dan periang ini bekerja di perusahaan bergengsi di ibukota dan menjadi ibu dari dua anak, Bhima dan Bhumi.

Pada sebuah malam, 16 Mei 2014 (saya ingat tanggal ini karena saya mencatatnya), Fiki mengirim mention di laman Twitter saya. “Huaaa, mas @sigit_kurniawan suka Mitch Albom juga? Toss donk kita.”

Sejak itu, kami suka ngobrolin buku-buku, termasuk karya Albom ini. Apalagi kami juga punya klub penulis. Berlima, teman sekantor semua. Namanya Scriboers. Ada saya, Fiki, Ardhi RidwansyahIrviene ‘ipin’ Maretha, dan Feryan Saputra. Karena sebagian besar sudah tak sekantor, klub ini sementara mati suri. Dengar-dengar mau diaktifkan lagi.

“Aku membaca Tuesdays with Morrie pada tahun 2005. Dikasih oleh temanku,” kata Fiki.

Fiki merasa sosok Morrie yang dikisahkan Albom bukanlah sosok asing. Kisah Albom saat mendampingi profesor Morrie Schwartz di masa-masa sakit menyatu dengan pengalaman Fiki sendiri.

“Kisah ini mengesan karena aku baca pas papaku terbaring sakit karena stroke dan semua yang dikatakan Morrie seolah menjadi perkataan papaku.”

Saya semakin ingin tahu bagaimana kisah Morrie ini memaknai perjalanan Fiki mendampingi papanya sampai meninggalnya. Fiki kembali bercerita.

“Aku suka semua yang dikatakan Morrie. Apa yang dia katakan pada intinya tentang kehidupan ini yang pada akhirnya perjalanan pulang menuju Tuhan. Kita diingatkan tentang hal itu. Sangat spiritual. Bahasanya ringan, mudah dimengerti, dan tak terlalu sastra. Aku baca Morrie ini sampai nangis-nangis karena sangat nyata, Mas Sigit.”

Saya dan Bapak di hari-hari terakhir.

Pada tahun 2007, papa Fiki mengembuskan napas terakhirnya. Ia meninggal seperti Morrie usai menghabiskan hari-harinya di pembaringan.

“Kita hidup itu buat mengumpulkan bekal menuju Tuhan. Semua harus siap. Dan, kadang, justru yang merasa takut itu bukan orang yang mau meninggal. Tapi, kitalah yang ketakutan kehilangan orang yang kita sayangi,” ujar Fiki.

Pengalaman iman Fiki ini pernah saya tuliskan dalam blog personal saya dengan judul “Hidup dan Cerita-cerita di Dalamnya” (2014). Dan, Fiki menambahkan satu kisah lagi.

“Mas Sigit, aku lupa bilang. Pelajaran tentang hidup selalu dishare Morrie di pertemuan Selasa. Dan, “kelas” terakhir yang Papaku ajar juga di hari Selasa, 17 April 2007, pukul satu pagi. Hari itu, papaku ternyata dijadwalkan Tuhan untuk bertemu langsung dan kembali kepadaNya. Great posting, Mas. Love it so much. Makasiiiiih, ya…”

Ada satu ucapan Morrie kepada Albom dan itu cukup menghentak saya, Fiki, dan mungkin Anda. Morrie bilang, begitu banyak orang menjalani hidup mereka tanpa makna sama sekali. Mereka seperti separuh terlelap. Bahkan, meskipun mereka sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting. Ini, sambung Morrie, dikarenakan mereka memburu sasaran-sasaran yang salah.

Lalu, mengapa saya pernah was-was setiap Selasa tiba? Asal tahu saja, percakapan dengan Fiki tadi terjadi pada tahun 2014.

Dan, setahun berikutnya, tahun 2015, ibu saya meninggal dunia. Ibu wafat pada 13 Januari 2015. Hari itu adalah hari Selasa. Lalu, enam bulan kemudian, bapak saya menyusul ibu. Bapak wafat pada 14 Juli 2015. Hari itu adalah hari Selasa.

Sejak itu, saya dihantui oleh rasa was-was yang mengganggu setiap Selasa tiba. Sampai muncul pikiran negatif: apakah Selasa adalah jadwal kepergian orang-orang yang saya kasihi? Saya lahir pada hari Selasa. Adik saya juga lahir pada hari Selasa. Atau, Selasa adalah hari saya pergi kelak? Akhirnya rasa was-was itu hilang. Selasa justru menjadi titik balik perjalanan rohani saya.

Dalam coretan blog berjudul “Mata Air di Kaki Ibu” (2015), saya menulis, kepergian bapak ibu ditambah simbah putri pada tahun yang sama mengingatkan saya pada asal dan tujuan manusia diciptakan. Kematian mereka mengajari saya untuk tak lagi terpenjara dengan kenangan-kenangan masa lalu yang tak jarang menyeret saya pada kerinduan dan kesedihan.

Sebaliknya, kematian mereka membuat kami bersemangat memandang dan berlari untuk masa depan. Masa depan tempat bapak ibu, Morrie, dan papanya Fiki bersukacita saat ini. Bukan di dunia ini, tapi di sana, di tempat yang sungguh nyata: hidup bersama Allah.

Dan, besok adalah hari Selasa!

— Kebon Jeruk, 3 September 2018

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *