Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Kata Mereka Tentang Perempuan yang Pergi Pagi-pagi

4 min read

“Dari tulisan-tulisan Sigit Kurniawan ini saya semakin yakin bahwa semakin personal suatu tulisan semakin dia universal, artinya semakin relevan bagi semua orang.

Sigit mengajari bahwa orang-orang terdekat – bapak, ibu, simbah, pak lik dan bulik, rekan kerja, teman sekolah – ternyata dapat menjadi bahan refleksi yang mendalam dan menarik. Tulisan-tulisan ini tidak lain merupakah buah kontemplasi.

Saya jadi teringat buku Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang berisi surat-surat imajiner Pram kepada anak-anaknya.

Kisah-kisah tentang para ibu dan simbah yang berdoa rosario, mengingatkan saya akan tulisan-tulisan Romo Sindhunata.

Terimakasih Sigit, sudah diperbolehkan melongok dan menimba dari kehidupan pribadimu dengan segala harapan, kecemasan, kesedihan, kepahitan di sekitar kematian tapi sekaligus pengalaman cinta dan syukur.

Romo Antonius Sumarwan SJ, Penulis buku “Menyeberangi Sungai Air Mata”

———————

Senang dan bangga ketika seorang sahabat menghasilkan karya. Sigit Kurniawan, bagiku bukan sekadar sahabat biasa. Kami mulai kenal sekitar tahun 2002 ketika bersama mengelola sebuah majalah Gereja. Mantan frater Yesuit itu memang sangat menonjol di komunitas karena ketajaman, kejernihan dan keberaniannya. Ritme kerja mingguan menerbitkan majalah jadi dinamika yang sangat seru, bernas dan memperkaya.

Sigit bukan sekadar sahabat, karena ia selalu menjadi antitesisku. Apapun yang aku katakan, ia selalu bisa menyambarnya secara cerdas dan lucu. Nah, kejenakaannya itu juga menjadi ciri khas tersendiri. Sense of humornya sangat baik. Kami tidak pernah bertengkar.

Sebagai seorang penulis, aku sangat mengagumi otentisitasnya. Ia selalu punya gagasan tentang sesuatu, dan bukanlah gagasan murahan atau kodian. Ia bisa berada di titik tempat orang tidak berada. Pemahaman filsafatnya yang mendalam, kepekaan terhadap realitas sosial, pembangkangannya terhadap kemapanan, keberaniannya mengungkapkan perasaan dan gagasan, menjadi satu paket lengkap dalam tulisan-tulisannya. Ia juga seorang penulis yang cepat, cermat dan akurat. Hanya satu lontaran ide biasa, di tangannya bisa langsung jadi mahakarya.

Aku tidak sedang lebay tentang orang ini. Mungkin yang tepat adalah aku agak prihatin karena tak banyak orang seperti Sigit, bahkan juga yang berkategori penulis. Padahal di zaman post-truth ini, kita butuh penulis-penulis yang berani, independen, jernih, jujur dan membawa orang kepada kebaikan serta persatuan. Di medsos, yang kita temukan adalah yang sebaliknya: penulis yang buruk karena tidak covers both sides, tidak terbiasa melakukan verifikasi, dan terlalu yakin pada keyakinannya sendiri. Penulis buruk adalah yang benaknya keruh, oportunis, dan biasanya malah membawa pertengkaran dan memecah-belah. Ditambah lagi, tampaknya mereka juga tidak paham etika, sehingga tulisannya penuh dengan amarah, caci maki dan ditimpali oleh debat kusir tiada guna.

Sejak 2002 aku sudah membaca tulisan-tulisan Sigit. Aku gembira hingga kini aku masih membacanya, setelah 16 tahun persahabatan. Aku tak pernah meragukan tulisan-tulisannya, dan seringkali cekakakan sendiri ketika tulisan-tulisan itu membuat orang tersentak, mengerutkan dahi, tersinggung, bahkan murka dan mulai menggunakan kekuasaan untuk menaklukkan Sigit. Wah, kami punya banyak sekali pengalaman membuat orang marah. Keluar dari zona nyaman memang sangat menyakitkan.

Seharusnya aku mengulas buku ini, buku pertama Sigit. Tapi kurasa tak perlu. Dari ceritaku, pasti banyak yang setuju bahwa ulasan tak lagi perlu. Baca saja bukunya, serap substansinya. Apakah Anda akan termasuk orang yang menyukai tulisan-tulisan di buku ini, ataukah justru yang akan geram dan marah? Kita lihat saja.

Sigit, proficiat. Selalu bangga dan gembira denganmu.

Helena Dewi Justicia,  Penulis 

——————–

Saya kenal dengan penulisnya. Kami pernah satu sekolahan, ketika masih bercelana pendek biru. Di sekolah kami yang persis di utara Lapangan Kridosono itu kami berbagi ruang sejak kelas 1.

Dalam ingatan saya, dia bocah yang kalem, tenang dan tak banyak bicara. Mungkin kelelahan setiba di sekolah, karena rumahnya jauh, di balik Gunung Sempu. Pulang pergi digonceng ayahnya, tentara yang bertugas di RST belakang sekolah.

Setelah lulus SMP, kami sama-sama melanjutkan ke sekolah cowok berasrama di Magelang. Dia di sekolah asrama tua dengan pohon-pohon pinus di jalan masuknya (kini sudah ditebang). Saya di sekolah asrama yang lain, lebih baru dan gratisan (waktu itu).

Bertahun-tahun tidak bersua. Sewaktu saya lulus dokter dan bertanya tentang Jakarta, kota dimana dia tinggal. Dia menjawab dengan kutipan Kitab Suci. “Datang dan Lihatlah.” Dasar Jesuit.

Perjumpaan belum menjadi jodoh kami.Tetapi kali ini saya menikmati buah pikirnya. Lewat buku ini, dia bertutur banyak. Cerita-cerita yang membuatku mbrambangi, tersenyum geli, berefleksi dan misuh. A*u tenan kowe mas.

Cerita-ceritanya bagai mesin penjelajah. Membawa kita ke masa lalu, masa depan, hingga masa entah berantah. Saya mengagumi tulisannya. Sungguh.

Maturnuwun mas Sigit Kurniawan buat kisah inspirasinya.

Stephanus Agung Kristianto, Seorang Dokter 

——————–

Ada perjumpaan ada perpisahan. Ada suka ada duka. Ada tawa ada air mata. Ada kelahiran ada kematian. Yg terpenting jangan pernah kehilangan iman harapan kasih. “Hidup harus dijalani dengan sukacita bukan bersungut-sungut. Sukacita itu tanda nyata bahwa kita benar-benar mengimani Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatan dan pegangan hidup kita. Bersungut-sungut dan khawatir sebaliknya menjadi tanda kita masih meremehkan Allah,” pesan Veronica Sumijati.

Proficiat, Selamat, atas terbitnya buku perdana Sigit Kurniawan, Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi.  Semoga buku ini menjadi berkat dan inspirasi bagi para pembaca.

Judith Wijaya, Warta Minggu 

 

—————————

Layak dibaca dan dimiliki…

Bukan karena sahabat saya Sigit Kurniawan penulisnya, bukan karena kita pernah bekerjasama memberikan pelatihan jurnalistik dan menulis kreatif, bukan juga karena berasal dari daerah yang sama Jogjakarta, bukan karena kami berdua penggemar tulisan Romo Sindhunata, bukan juga karena kami penggemar karya Romo Mangun Wijaya dan Seno Gumira Ajidharma, pun juga bukan karena kesamaan suka membaca dan menulis serta lainnya melainkan saya sungguh sangat mengapresiasi karya pertama sahabat saya ini karena setelah saya membaca semalam karya ini begitu sangat jujur ditulis dari hati, pikiran dan perasaannya serta diolah oleh seluruh panca indera sehingga bisa menuliskan 31 judul yang menarik pun penuh refleksi ditambah prolog dan epilog nya.

Salah tiga dari 31 judul yang sangat saya sukai adalah “Ecce Homo” dan “Mengalir seperti Sindhunata” karena sebenarnya di situlah sejatinya sosok tulisan sejujurnya dari seorang Sigit Kurniawan sang penulis.

Membaca setiap lembar demi lembar judulnya mengingatkan saya akan skripsi yang pernah saya tulis 20 tahun lalu “Eksistensi Diri Manusia dalam Novel Negeri Kabut dan Tempat Terindah untuk Mati karya Seno Gumira Ajidarma sebuah Pendekatan Intertekstualitas” yang dibimbing oleh Prof.Dr. Alex Sudewo (Alm) serta diuji oleh Prof.Dr. Slamet Suwandi dan Dr. Santosa yang menjadikan saya pribadi selanjutnya dengan predikat sarjana. Dan akhirnya, pagi ini saya membuka kembali skripsi yang tak pernah tersentuh hanya untuk membaca kembali karena buku karya sahabat saya ini mengobrak-abrik pikiran saya tentang judul kecil di bawah judul bukunya ” Hidup dan Mati Bergelimang Makna” adalah sebuah pertanyaan reflektif tersembunyi menurut saya yang harus diselesaikan oleh pembacanya dan dimaknai dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai ciptaan-Nya yang secitra dengan-Nya. Luar biasa judulnya karena saya harus mengobrak-abrik pikiran, perasaan dan yang jelas penuh emosi yang halus dan tenang membaca isi buku ini.

“Seorang penulis tiba-tiba mendapati dirinya liar seperti di hutan, dan selalu liar sepanjang hidupnya” …Maka menulis itu sebenarnya bukan hanya menulis, tapi mengalahkan kelemahan dirinya, menundukkan apa yang dihadapinya!” ujar Romo Sindhu (hlm 258). Dan akhirnya, sebenarnya sahabat saya sudah membuktikan seperti apa yang Romo Sindhunata katakan. Salut dan selamat buat penulis! Menulis adalah soal laku disiplin dan asketik. Berani menerobos kesepian dan kegundahan.

Selain itu, buku ini menunjukkan keterampilan penulis yang juga haus akan pengetahuan dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Salah satu judul tulisannya yang sangat menarik perhatian saya adalah “Paul Heru, Sang Alberto Knox”. Saya suka tulisan ini karena pengalaman belajar filsafat penulis digunakan untuk menulis tulisan tersebut selain sungguh ringan dan sarat reflektif juga.

Memang, membaca buku ini perlu bekal banyak pengetahuan karena banyak referensi yang dituliskan oleh penulis sebagai sumber acuan menuliskan tulisannya sehingga sejenak pembaca perlu mengingat apa isi referensi tersebut selain penuh pengetahuan reflektif yang harus dimaknai oleh pembaca.

Secara keseluruhan, buku ini layak dimiliki dan dibaca karena memang sangat reflektif, menarik dan pembaca jadi tambah pengetahuan dan yang pasti setiap dari kita pasti akan menuju tempat akhir. Dan saya hanya bisa menuliskan hasil membaca buku ini dalam sebuah kalimat singkat “Apa yang dilakukan dalam hidup saat ini sejatinya kita menyiapkan akhirnya” Selamat membaca dan merenungi buku yang penuh kebaikan ini.

Sekali lagi, selamat dan proficiat untuk kelahiran anak pertamamu Sahabat dalam Menulis Sigit Kurniawan dan tetaplah menulis.

Cello Celli, Penulis dan Juragan Kopi 

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *