Saya langsung menebak lelaki beruban itu adalah Martin Aleida. Ia duduk di bangku paling belakang di ruang diskusi. Sendirian. Diskusi buku masih sejam kemudian. Novel Lelaki di Tengah Hujan ada di pangkuannya. Novel ini novel baru karya Wenri Wanhar.
Sesekali ia berdiri. Sesekali keluar ruangan. Jalannya sedikit pincang. Satu kakinya tampak sedang sakit. Sesekali tiduran di atas bangku-bangku rapat itu. Lantai 14, Gedung Yustinus, Unika Atmajaya Jakarta. Jumat sore, 5 April 2019.
Bagi pecinta sastra Indonesia, sosoknya tentu tak asing. Sastrawan kelahiran Tanjung Balai 76 tahun lalu ini gemar menulis cerita dengan latar Tragedi 1965. Kumpulan cerpennya sudah saya baca. Di rak perpus rumah, kumcernya berjudul Leontin Dewangga tersimpan rapi. Diterbitkan oleh Penerbit Kompas tahun 2003. Saya kembali membacanya.
Perjumpaan langsung dengan Martin adalah keagungan tersendiri bagi saya. Perjumpaan ini disengaja. Selain karena novel baru itu, nama Martin Aleida sebagai kritikus menjadi alasan saya datang di bedah buku itu. Perihal novel Lelaki di Tengah Hujan akan saya tulis di artikel lain.
“Kelemahan kita sebagai masyarakat atau bangsa adalah kita malas menulis. Dan, kalau sudah ditulis, dia tidak menjadi arsip yang baik,” ujar Martin di awal diskusi novel itu.
Kutipan Martin itu menggetarkan hati saya. Beruntung saya duduk di bangku paling depan. Moncong kamera Sony A6000 milik saya bergeming ke arah Martin. Merekam setiap detik paparannya. Dokumentasi yang sangat berharga.
Ia prihatin, belum lama ini, LIPI memusnahkan berton-ton arsip entah ke mana. Padahal, arsip itu bagian dari sejarah penting.
“Muatan sejarah dalam novel Wenri ini sangat penting. Ada seorang tiran yang pada usia 30 tahun kekuasaannya baru bisa tumbang. Saya yakin, ada catatan-catatan sejarah di antara teman-teman aktivis lain yang tak terkumpulkan. Bukan karena tak mau mengumpulkannya. Tapi, mungkin karena enggan atau mereka tak mau membongkar sesuatu yang telah lama mereka pendam,” ujar Martin.
Coba bayangkan, Martin kembali melanjutkan ceritanya, kalau seorang menulis dengan intensif seperti Nezar Patria tentang bagaimana dia diculik, ini suatu luar biasa.
“Menurut saya, itu memang catatan pribadi. Meski itu jurnal pribadinya, tapi nilai sastranya luar biasa. Saya mengatakan ini sastra selama dia menggugah dan memperkaya batin saya,” kata Martin.
Apa yang diomongkan Martin bukan pepesan kosong. Dia sendiri telah melakukannya. Dia bukan sekadar menulis. Dia juga mengalami sendiri kekejaman politik Soeharto. Operasi antikomunis dalam Peristiwa 1965 membuatnya dipersekusi, dipenjara, dan disiksa. Ia melihat dengan kepalanya sendiri peristiwa-peristiwa tragis. Semua itu ia tuangkan dalam cerita-ceritanya.
Ia memang menulis fiksi. Tapi, ia sebenarnya sedang menyuguhkan kebenaran. Kebenaran yang sampai hari ini pun masih ditutup-tutupi oleh kekuasaan. Saya jadi ingat apa yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997), bahwa bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo dan dimanipulasi, tetapi kebenaran muncul dengan sendirinya seperti kenyataan.
Dalam pengantar kumpulan cerpen Leontin Dewangga, dia mengatakan, menulis adalah menjadi saksi dari sukacita maupun kepedihan, kehidupan yang kelabu maupun yang menggairahkan.
Dia juga menulis, masih kuat dalam ingatan angkatan seusianya, yang menjadi sasaran pengejaran dan pembantaian waktu itu adalah kaum komunis, orang-orang kiri, mereka yang memperjuangkan tanah untuk petani tak bertanah, termasuk istri, anak cucu mereka, tak peduli mereka bisa membaca atau masih buta huruf. Mereka ditakdirkan oleh kekuasaan untuk dilenyapkan. Paling tidak dihinakan sebagai manusia.
“Bagi saya sastra adalah dimensi tertinggi dari kesaksian tentang hidup — pengalaman fisik maupun batin,” ujarnya. Kepada Indoprogress dia menyampaikan sikap tegas jalan kepenulisannya.
“Saya selalu mengatakan bahwa takdir sastra adalah membela korban. Karya yang besar tidak harus besar dalam volumenya. Dia bisa sekecil catatan harian.”
Kalau kita membaca cerpen-cerpennya, kita bisa merasakan getaran kegelisahan dan getirnya pengalaman ditindas oleh rezim yang sangat kejam. Itu berlangsung puluhan tahun. Ia pun harus kehilangan banyak hal, termasuk identitasnya. Hidup sembunyi-bunyi. Termasuk yang saya baru tahu, nama Martin Aleida bukanlah nama aslinya. Itu nama pena. Nama aslinya Nurlan.
Cerpen-cerpennya yang kembali saya baca mengantar saya menuju jati diri Martin yang lebih dalam. Cerpennya berjudul Tanah Air diganjar sebagai cerpen terbaik Kompas 2016. Cerpen ini cerita tentang orang-orang eskil atau dalam pembuangan. Mereka terpaksa pergi dari tanah airnya karena persekusi Orde Baru. Martin menceritakannya secara dramatis. Martin juga menjadi salah satu saksi dalam Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 di Den Haag, 11 November 2015.
Hal-hal lain di diskusi buku itu, Martin lebih gamblang bercerita soal bagaimana menghidupkan tulisan. Ia juga mengungkapkan kekesalannya pada dunia penerbitan di Indonesia. Apa itu? Saya akan membagikannya di tulisan terpisah.
Yang jelas, ada dua hal besar dari perjumpaan dengan Martin yang pantas saya syukuri. Pertama, ungkapan dia bahwa catatan receh sekelas catatan atau jurnal harian pun bisa menjadi karya sastra yang luar biasa. Ini jadi pelipur lara bagi saya yang cuma mampu meracik catatan-catatan receh. Itu pun beruang lingkup sempit dan personal. Martin kembali membakar hati saya untuk tak berhenti menulis. Sereceh apa pun.
Kedua, selidik demi selidik, ternyata seperti saya, Martin juga mengagumi karya Mitch Albom. Tuesdays With Morrie, misalnya. Asal tahu saja, Mitch Albom dan Paulo Coelho menjadi penulis luar negeri yang cukup mewarnai hidup saya lewat karya-karyanya. Termasuk buku semata wayang saya — untuk saat ini — berjudul “Perempuan yang Pergi Pagi-pagi” yang terbit tahun lalu.
Ini dulu!
Kebon Jeruk, 13 April 2019