
Malam-malam, sekitar dua jam usai KPU mengumumkan masa tenang, saya justru tidak tenang. Kenapa? Karena kebanyakan minum kopi dan tak bisa tidur.
Makin tak tenang setelah menemukan statusnya Feby Indirani. Intinya, dia menilai gagasan-gagasan perlawanan yang diusung golput itu, menurut sepenangkapan saya, absurd dan tak efektif.
Saya sepakat dengan Feby. Dulu saya sempat kepikiran untuk golput. Alasannya keren-keren. Entah alasan melawan penjahat HAM, protes sistem pemilu, pendidikan politik, antioligarki, dan sederet alasan lain yang berbau progresif, intelektual, dan kenabian.
Pada akhirnya, saya merasa melawan dengan golput tidaklah cukup. Bahkan, golput justru berpotensi besar menghambat cita-cita progresif yang diusungnya sendiri. Kenapa?
Pertama, dengan golput, saya memberi peluang lebih besar bagi Prabowo, sosok yang di mata banyak orang termasuk golputer, sebagai penjahat HAM masa lalu, menjadi orang nomor satu di negeri ini. Apalagi Prabowo membawa gerbong yang berisi kelompok-kelompok inteloran, fasis, pemimpi kilafah, dsb.
Satu-satunya cara paling realistis saat ini agar penjahat HAM itu tak berkuasa adalah dengan memilih lawan tandingnya, Jokowi. Golputer pasti tak setuju. Pasalnya, sederet jenderal pelanggar HAM ada di kubunya. Pertanyaannya, di bawah kepresidenan siapa, Jokowi atau Prabowo, cita-cita progresif golput LEBIH bisa dilanjutkan dan LEBIH bisa diwujudkan? Secara nalar, jelas Jokowi.
Kedua, saya akui golput mengusung suara-suara kritis kenabian dan progresif yang bagus bagi pemerintah.
Namun, dalam konteks saat ini, golput ibarat “nabi” yang kesasar di padang gurun. Ia berseru-seru mewartakan pertobatan di tengah hamparan pasir yang luas dan tak berpenghuni, tanpa sadar jantung kehidupan ada di tengah kota.
Jadi, suara-suara progresif golput cenderung menjadi sebatas suara-suara saja. Buat apa? Padahal ada sesuatu yang LEBIH untuk dilakukan.
Ketiga, alasan kemanusiaan yang ‘egosentris’. Saya mengerti, banyak yang memutuskan golput karena alasan kemanusiaan. Korban-korban pelanggaran HAM dan kekerasan negara yang belum mendapat keadilan sampai sekarang, misalnya. Bahkan korban terus berjatuhan. Saya salut dan respek dengan mereka yang terus memperjuangkannya. Bahkan, saya sujud hormat khusus pada korban dan keluarga korban yang karena pengalaman historis yang “sakral” (tak terusik) memutuskan untuk golput.
Tapi, apakah dalam konteks saat ini, itu sudah cukup? Horizon rasa kemanusiaan kita sebaiknya perlu diperluas. Apakah rakyat lain, termasuk mereka yang berbondong dalam lautan massa, entah yang memilih Jokowi atau Prabowo dengan segala kepolosannya, tidak memiliki kemanusiaan yang sama? Apakah mereka tidak memiliki HAM yang patut dijaga? Dan, apakah dengan golput, kita LEBIH bisa menjamin mereka tidak menjadi korban-korban baru pelanggaran HAM karena kita membiarkan penjahat HAM itu berkuasa? Belum jadi presiden saja korbannya banyak, apalagi jadi presiden. Lalu, di mana tanggung jawab etis kita?
Keempat, saya menyadari golput bukan satu-satunya cara melawan sistem yang buruk. Jangan kira bahwa orang-orang yang tidak golput itu tidak peduli HAM dan tidak sedang melakukan perlawanan. Saya melawan Prabowo dengan memilih Jokowi. Apakah setelah memilih Jokowi perlawanan berhenti? Tentu tidak. Kita masih bebas mengkritisi pemerintahan Jokowi dan bahkan melawannya lagi bila kebijakannya melawan prinsip HAM. Toh, saya menjadi pemilih dan bukan pemuja buta. Saya sadar memilih Jokowi dengan segala kekurangannya.
Kelima, saya menyadari melepas ego tidak gampang dan menyakitkan. Apalagi kalau ego ini dilegitimasi dengan alasan-alasan seolah-olah rasional. Merasa kebenaran ada di tangan dan seerat mungkin kita tak mau melepaskannya. Pertanyaannya sama, apakah itu sudah cukup? Saya ditantang untuk selalu mencari yang lebih. Saya sadar saya LEBIH memilih Jokowi ketimbang memilih golput dan Prabowo karena ada sesuatu yang LEBIH BESAR yang ingin saya capai: kebaikan bersama. Saya memilih Jokowi bukan sebatas Jokowinya, tapi nilai LEBIH besar di baliknya.
Yang jelas, saya tidak rela anak-anak, istri, orang tua, saudara, dan teman-teman saya menjadi korban-korban pelanggaran HAM baru berikutnya karena saya (dan kalian) membiarkan penjahat HAM itu jadi presiden.
Pada akhirnya, ukuran terakhirnya adalah pilihan mana yang LEBIH membuat saya LEBIH bisa mencintai negeri in saat ini. Dan, akhirnya, saya menyadari: “TO VOTE IS TO LOVE.”
Maaf bila metafor “Nabi yang Kesasar di Padang Gurun” itu menyinggung. Kalau pun menyinggung, pasti tak sekasar frasa mental freak, benalu, bodoh dari Romo Magnis yang kemudian ia cepat-cepat tarik kembali, bukan? Kalau memang menyinggung, saya akan tarik kembali. Cepat-cepat juga. Tapi, kalau malah senang, alhamdulillah. Toh ini sekadar tulisan receh.
Santai saja, perjuangan kita sejatinya sama, tapi jalan kita berbeda. Saya hanya mau menawarkan sesuatu yang LEBIH.
Kebon Jeruk, 14 April 2019