Maria Sumarsih sampai sekarang masih menyediakan piring kosong untuk anak lelakinya. Lengkap dengan sendok, garpu, dan gelas di meja makan. Itu terjadi saban makan bersama digelar. Di luar makan bersama, piring itu tetap ditaruh rapi. Tertelungkup. Lengkap dengan semua perkakasnya. Siapa tahu anak lelakinya itu pulang ke rumah dan mau makan.
Nama lengkap anak lelakinya adalah Bernardinus Realino Norma Irmawan. Akrab dipanggil Wawan. Wawan, mahasiswa Atma Jaya, Jakarta yang ditembak mati dalam Tragedi Semanggi I tahun 1998.
“Saya tidak pernah merasa ditinggal oleh Wawan. Sosok Wawan selalu ada di hati saya. Makamnya pun menjadi taman hati kami sekeluarga,” tutur Sumarsih.
Sabtu siang. Masa prapaskah tahun 2017. Saya menemui ibu Sumarsih di rumahnya di kawasan Meruya, Jakarta Barat. Maria Sumarsih berpakaian hitam-hitam. Pakaian yang biasa ia gunakan saat melakukan Aksi Kamisan di depan istana. Saya menemuinya untuk sepotong wawancara untuk majalah gereja edisi Paskah. Perempuan kelahiran Salatiga, 5 Mei 1952 menceritakan suka duka memperjuangkan keadilan bagi Wawan dan korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Saya masih ingat, ketika misa misa requiem yang dipimpin oleh Bapak Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, beliau mengatakan bahwa Wawan meninggal dunia karena ditembak oleh aparat militer. Ia ditembak di halaman kampusnya. Saat itu, Wawan sedang menolong korban yang ditembak aparat,” ujar Sumarsih.
Sebagai seorang ibu, sambung Sumarsih, ia ingin mengetahui alasan anaknya ditembak. Ia juga mempertanyakan tugas-tugas aparat militer dalam menjaga dan mengamankan para mahasiswa yang sedang demonstrasi kala itu.
Mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan. Menolak Sidang Istimewa MPR. Cerita Sumarsih begitu hidup. Pasalnya, pada 13 November 1998, saya juga ikut bergabung dalam lautan demonstrasi itu. Saya ikut rombongan kawan-kawan dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Kala itu, kami bergabung dalam FAMRED (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi). Kami saat itu mau menuju Gedung MPR/DPR. Demonstran terpaksa berhenti di kawasan Semanggi – tepatnya di depan kampus Atma Jaya. Aparat keamanan lengkap dengan panser, kendaraan water canon, senjata, menghadang secara berlapis-lapis.
Saya tidak mengenal Wawan kala itu. Walaupun kampus kami sering berdiksusi dan berdemo bareng. Mahasiswa STF berbalut jaket almamater warna biru telor. Mahasiswa Atma berjaket warna oranye. Saya sendiri bukan aktivis. Saya sekadar pengembira.
“Saya menemukan kesaksian yang mengatakan Wawan ditembak oleh aparat saat menolong seorang korban yang juga ditembak aparat. Ada keselarasan antara kesaksian itu dengan yang disampaikan Kardinal. Kesaksian lain mengatakan, dari pagi hingga sore hari pada Jumat, 13 November 1998, Wawan mengenakan kartu identitas Relawan Kemanusiaan,” kata Sumarsih.
Sekadar informasi tambahan. Saya mengutip kesaksian lain dari laman Wikipedia. Dikatakan, Ita F. Nadia, seorang senior di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) bersaksi, sebelum ditembak, Wawan bersama dengan enam orang kawannya berusaha menetralisir gas air mata dengan menyemprotkan air hidran. Saat ia tertembak, tas berisi obat-obatan masih menggantung di lehernya.
Pernyataan ini diperkuat oleh Dian, seorang wartawan radio yang berada di samping Wawan pada saat kejadian. Menurutnya, sebelum Wawan pergi menolong salah satu korban, ia telah meminta izin kepada salah satu aparat militer untuk menolong korban dan diperbolehkan. Wawan juga melambaikan bendera putih. Simbol posisinya yang netral. Tetapi, ia tetap terkena tembakan. Ia ditembak di bagian dada. Saat itu, ia sedang mengangkat korban.
Berbagai upaya ia tempuh demi keadilan. Pemerintah dinilai tak konsisten melaksanakan hukum dengan adil. Sumarsih menilai undang-undang yang mengatur penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, yakni UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM justru dipakai untuk melindungi para pelaku pelanggaran HAM.
Di tengah kekaburan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, Sumarsih tetap setia berjuang. Bersama para korban dan keluarganya, ia menggelar aksi diam di depan istana dengan berpayung dan berpakaian serba hitam.
Kebenaran itu bersinar. Saya merasa bahwa perjuangan sesulit apa pun ketika itu di jalan yang benar, maka ibarat nyala lilin, nyala lilin itu tidak pernah padam. Bahkan, ketika saya berada di lorong yang sempit, cahaya terang selalu menyinari langkah saya,” ujar Sumarsih.
Keteguhan Sumarsih tampak bersumber dari spiritualitas imannya. Spiritualitas ini mengalir dari kedalaman hati. Sebagai orang Katolik, Sumarsih merasa diteguhkan saban Paskah tiba. Pada masa ini, umat Katolik berkesempatan memperbarui janji baptis mereka. Salah satu janjinya, kesanggupan untuk membela Hak Asasi Manusia.
“Saya selalu percaya bahwa kebenaran akan terus bersinar. Ketika kita mengalami kesulitan, kita akan tahan uji. Tuhan Yesus selalu hadir dan membantu umatNya. Ketika saya mengalami pengalaman yang berat, Tuhan Yesus menciptakan banyak bahu untuk menopang salib yang dianugerahkan kepada saya,” katanya.
“Ketika kami tahan uji, saya percaya akan muncul ketekunan dan harapan. Sekecil apa pun, saya selalu memelihara harapan dalam memperjuangkan tegaknya hak asasi manusia.”
Saya bergeming. Medengarkan dengan seksama. Sesekali mengatur letak kamera. Memastikan perangkat ini sedang merekam. Sumarsih meyakini adanya jalan menggapai cita-cita perjuangannya. Ia begitu mencintai Wawan. Ia juga mencintai para korban.
“Dukacita kami sebagai keluarga korban, kasih saya pada Wawan, sudah bertransformasi di dalam perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum, agenda Reformasi yang diperjuangkan Wawan dan teman-temanya.”
Wawan di mata Sumarsih merupakan anak muda yang peduli masalah sosial. Saat tragedi Mei 1998 pecah, Wawan ikut mendampingi para korban. Selain itu, Wawan menjadi sosok orang yang pintar mencairkan suasana.
“Kalau saja Wawan marah, dia sangat mudah dicairkan kemarahannya. Misalnya, kemarahannya reda saat saya menghidangkan makanan kesukaannya. Hampir saban akhir pekan, saya memasak makanan kesukaan Wawan dan adiknya, seperti nasi goreng, sate, siomay, dan minuman es,” tutur Sumarsih.
Sumarsih menambahkan, Wawan adalah sosok yang terbuka. Ia senang diajak diskusi. Ia pernah menyarankan agar Wawan membuka ruang dialog antara mahasiswa dan penguasa. Dialog ini dilakukan agar tidak ada lagi korban berjatuhan.
Penembakan mahasiswa Trisakti pada Mei 1998 menyisakan trauma bagi ibu-ibu. Khususnya yang punya anak-anak yang ikut turun ke jalan, termasuk Sumarsih. Pada hari-hari menjelang ditembak, Wawan mengadakan sarasehan di gereja. Ia berdiskusi dengan anak-anak muda Katolik. Senin, sepekan sebelum ditembak, Wawan menjadi ketua seminar di kampusnya.
Wawan suka menulis. Bila liburan semester tiba, Wawan minta dipinjamkan bacaan di perpustakaan DPR. Buku-buku itu menjadi bahan dia menulis artikel. Suatu hari, ia pernah minta dipinjamkan buku tentang kisah Rahwana. Selesai membaca, Wawan menulis artikel berjudul Negara Kesatuan Republik Alengka. Tulisan ini menyindir Soeharto, rezim otoriter, korup, dan milteristik.
“Tulisannya bagus, runtut, dan enak dibaca. Wawan memang gemar membaca sejak kecil. Pada kelas empat SD, ia sudah menjadi anggota perustakaan di Jakarta Barat,” ujar Sumarsih.
Pada tahun 2003, masalah HAM jarang diberitakan di media massa. Saat itu, Sumarsih sedang bekerja di DPR. Banyak anggota DPR mempertanyakan kondisi tersebut.
Ia berinisiatif mengajak ibu-ibu korban, seperti ibunya Yun Hap dan Sigit Prasetyo untuk melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia. Aksi ini aksi diam. Hanya perlu membawa selembar kertas bertuliskan perjuangan menuntut keadilan. “Namun, dalam perjalanan waktu, mereka menderita sakit. Rencana aksi itu tidak pernah telaksana,” kata Sumarsih.
Sumarsih dalam sebuah sebuah rapat mengusulkan aksi rutin kecil-kecilan untuk menyuarakan keadilan. Rapat itu dihadiri oleh para keluarga korban yang tergabung dalam JSKK atau Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan dan JRKI atau Jaringan Relawan Kemanusiaan Indonesia beserta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Pada 18 Januari 2007, Sumarsih bersama keluarga korban dan aktivis menggelar Kamisan untuk pertama kalinya. Durasinya satu jam. Dari pukul empat hingga lima sore. Aksi di depan istana itu merupakan aksi damai. Mereka memajang spanduk dan foto-foto korban pelanggaran HAM masa lalu. Sumarsih selalu mengirim surat untuk presiden setiap Kamisan.
“Saya pernah mengatakan, ketika aksi tersebut tinggal tiga orang, aksi itu akan kami hentikan. Tetapi, ternyata hal itu tidak pernah terjadi. Yang datang memang tidak banyak. Itu pun silih berganti,” katanya.
Aksi Kamisan ini kemudian juga dikenal dengan aksi payung hitam. Mereka beraksi dengan memakai payung hitam. Pakaian mereka serba hitam.
Hitam bukanlah lambang dukacita. Hitam adalah lambang keteguhan kami dalam mencintai. Saya mencintai Wawan. Saya mencintai sesama manusia. Kami mencintai bangsa dan negara,” kata Sumarsih.
Aksi Kamisan ini kemudian berlipat ganda. Aksi ini digelar di berbagai kota. Dari Jakarta, aksi ini kemudian digelar di Bandung, Pekanbaru, Samarinda, Palu, Ternate, Jogja, Surabaya, Malang, Karawang, hingga Medan. Aksi Kamisan tidak hanya dihadiri oleh para korban dan keluarganya. Tetapi, dihadiri oleh anak-anak muda, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Aksi Kamisan terinspirasi dari aksi serupa yang dilakukan oleh ibu-ibu di Argentina. Mereka adalah korban kejahatan HAM. Aksi digelar di kompleks pusat pemerintahan Plaza de Mayo. Di sana, aksi ini digelar setiap Selasa sejak tahun 1977. Aksi tersebut digelar menyusul pembunuhan dan penculikan yang dilakukan rezim sayap kanan pada orang-orang yang dituding subversif. Kantor berita BBC pernah merilis, sekitar 30.000 orang dibunuh dan dihilangkan paksa pada periode tahun 1976 hingga 1983. Aksi ini berakhir pada tahun 2006 setelah rezim di Argentina berganti dan lebih akomodatif dengan gerakan-gerakan kritis.
Pada 10 Desember 2004, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Maria Sumarsih dianugerahi Yap Thiam Hien Award. Anugerah ini diberikan di Museum Nasional. Sumarsih dinilai pantas menerimanya karena menjadi sosok yang berhasil mengatasi kesedihannya menjadi kesadaran akan nilai kemanusiaan.
“Mendengar kabar itu , saya berbicara dengan Romo Sandyawan. Kalau memang penghargaan itu ada nilai tunainya, akan kami gunakan untuk kegiatan keluarga korban,” ujarnya.
Dengan payung hitam, Sumarsih terus mempertanyakan keseriusan pemerintah terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Pada pemerintahan SBY, Sumarsih sedikit merasa lega karena keluarga korban pernah diterima di istana negara. Kala itu, Presiden SBY berjanji akan menegakkan supremasi hukum dengan pengadilan HAM Ad Hoc. Pada pemerintahan SBY periode dua, dibentuk tim penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tetapi, sampai akhir pemerintahannya, janji itu tidak pernah terwujud.
Bagaimana dengan Pak Jokowi? Pada saat kampanye, Jokowi membuat sebuah janji tertulis yang namanya visi misi dan program aksi Jokowi-JK yang kemudian dikenal dengan Nawacita. Di dalam salah satu butirnya, mereka berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi beban politik bangsa dan negara. Misalnya, tragedi Semanggi I, II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari Lampung, penghilangan paksa, Tragedi 1965, Tragedi Tanjung Priok, dan sebagainya.
“Selain itu, di butir yang lain dikatakan soal komitmen mereka untuk menghapus impunitas. Termasuk merevisi undang-undang peradilan militer yang menjadi salah satu sebab terjadinya pelanggaran HAM berat,” ujar Sumarsih.
Presiden Jokowi pernah membentuk tim komite gabungan pengungkap kebenaran dan rekonsiliasi. Tetapi, anggotanya adalah mabes TNI, mabes POLRI, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, BIN, dan KemenkumHAM. Sayangnya, sambung Sumarsih, hal itu belum terlaksana. Lalu, ada wacana Menkopulhukam Wiranto yang sebetulnya diduga sebagai yang bertanggung jawab pada penembakan mahasiswa pada Tragedi Semanggi I, II, dan Trisakti. Wiranto menggagas terbentuknya Dewan Kerukunan Nasional.
“Saya pribadi menolak karena apa yang saya perjuangkan adalah penegakkan supremasi hukum, sebagai mana ditulis di dalam konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sementara itu, DKN merupakan suatu upaya pembentukan lembaga yang tidak diatur dalam undang-undang itu sendiri. Saya tidak menolak rekonsiliasi asal proses rekonsiliasi itu melalui proses hukum. Jadi, di sana akan jelas siapa yang bersalah dan tidak bersalah. Termasuk siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelakunya,” ujarnya.
Seandainya para pelaku dan dalang penembakan tersebut ditangkap dan diadili, Sumarsih ingin mereka dihukum dengan adil. Sumarsih terang-terangan menolak hukuman mati. Khususnya bagi mereka jika memang hukuman itu dijatuhkan oleh pengadilan.
Mendengar komitmen Sumarsih pada penghormatan HAM ini, saya merasa tergetar. Sumarsih konsisten memperjuangkan martabat manusia. Ia menentang prinsip balas dendam, mata ganti mata, dan gigi ganti gigi.
Sebagai orang Katolik, ia memegang teguh ajaran Gereja. Khususnya soal penghormatan pada martabat manusia dalam segala kondisi. Ia menolak hukuman mati pada manusia sejak dalam kandungan. Bahkan, kalau misalnya, suatu ketika ada pengadilan ad hoc membuktikan siapa yang menembak dan memerintahkan penembakan dan dia dihukum mati, Sumarsih berkomitmen akan membela mereka. Termasuk membela mereka yang menembak Wawan agar tidak dihukum mati.
Alasannya, hukuman mati tidak memutus rantai kekerasan,” pungkas Sumarsih.
Usai perjumpaan dengan ibu Sumarsih tersebut, saya pulang. Hati saya berkobar-kobar. Saya merasa, inilah semangat Paskah sesungguhnya. Hanya kasih yang mampu memutus rantai kekerasan.
Sementara itu, Maria Sumarsih sampai sekarang masih menyediakan piring kosong untuk anak lelakinya. Lengkap dengan sendok, garpu, dan gelas di meja makan. Piring kosong itu untuk Wawan.
— Masa Paskah Tahun 2017
*Tulisan ini juga diterbitkan dalam buku “Perempuan yang Pergi Pagi-pagi” (2018).
Berkah Dalem Bu Sumarsih..