Setiap kali memasuki pekan suci atau pekan mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus, saya selalu teringat Petrus. Sosoknya begitu nyata. Kok bisa?
Petrus, murid yang sesumbar akan mengikuti Yesus secara militan. Sayangnya, militansi Petrus runtuh seketika begitu melihat gurunya ditangkap, digelandang, dan akan dihukum mati. Ia menyangkal Yesus menjelang masa sengsaraNya. Tiga kali pula.
Setiap passio, drama Petrus ini diulang-ulang. Saat Yesus ditangkap dan digiring ke rumah imam besar Kayafas, ia mengikuti Yesus dari jauh. Di depan gerbang, ia diinterogasi.
“Kamu salah satu murid itu juga, kan?”
“Bukan.”
Demikian pertanyaan serupa diulang tiga kali. Tiga kali juga Petrus menjawab “bukan.”
Lalu, terdengar ayam jantan berkokok. Petrus sadar. Ia ingat pesan Yesus bahwa sebelum ayam berkokok, ia akan menyangkal tiga kali. Tangis Petrus pun pecah.
Dulu, saya anggap Petrus itu murid yang imannya ringkih. Begitu saja takut. Sungguh cemen. Tapi, prasangka saya pada Petrus akhirnya runtuh. Kenapa?
Saya sendiri pernah menjadi seperti Petrus. Terang-terangan menyangkal Yesus. Kala itu, siang hari, 2 Desember 2016. Panas membakar aspal seputaran Monas.
Bersama seorang teman fotografer, saya ikut melarut dalam aksi massa yang dikenal dengan aksi 212 itu. Bukan ingin menurunkan Ahok. Tapi, ingin mendokumentasikan peristiwa akbar itu. Sekadar naluri wartawan.
Jalan-jalan memutih oleh orang berpakaian serba putih. Bendera hijau, hitam, dan putih berkibar-kibar di antara tongkat-tongkat. Suara toa pecah di mana-mana. Orang-orang beteriak-teriak. Aura dendam dan amarah menyatu dengan udara ibukota.
Tiba-tiba, dua orang bapak-bapak menghampiri kami. Kami terlibat obrolan. Mereka mengaku datang dari Pontianak. Tak disangka salah satu dari mereka menanyai kami.
“Mas, muslim juga?”
“Iya, muslim,” jawab teman saya yang memang muslim.
Bapak itu menoleh ke saya. Saya deg-degan. Khawatir pertanyaan sama dilontarkan ke saya. Dan, benar!
“Mas, muslim juga?”
“Iya, saya muslim.”
Duaaaar. Hati saya langsung kalut. Benar-benar saya merasa kehilangan kekuatan untuk berkata jujur. Sungguh, ada ketakutan luar biasa. Lidah saya kelu untuk mengatakan kebenaran.
Bayangkan saja, di tengah-tengah orang-orang berteriak “Bunuh Ahok, bunuh Ahok” atau “Gantung Ahok, bunuh kafir” saya harus mengaku bahwa saya Katolik, yang notabene kafir di mata mereka. Saya sungguh tak mampu. Saya takut.
Apa jadinya bila saya berkata jujur? Mungkin terjadi sesuatu. Mungkin juga memang tak akan terjadi apa-apa. Tapi kenyataan siang itu saya telah menyangkal agama saya. Saya telah menyangkal Yesus, Tuhan saya.
Sehari setelah peristiwa itu, saya bercerita pada seorang teman Katolik. Sambil cengengesan, spontan dia bilang, “Dasar, kamu Petrus.” Saat itu, saya seolah mendengar ayam jantan berkokok.
Hari-hari selanjutnya, saya diteror oleh rasa berdosa. Rasa berdosa itu hilang setelah saya mengakukannya di kamar pengakuan bersama seorang pastor. Usai pengakuan, pastor itu tampak cengar-cengir. Keluar dari kamar pengakuan, saya ketularan cengar-cengir.
Sejak saat itu, saya memandang sosok Petrus secara baru. Dia tak lagi saya anggap sebagai pengikut Yesus yang cemen. Saya bisa merasakan sendiri ketakutan yang dirasakan Petrus. Betapa rapuhnya saya untuk setia. Betapa mudahnya saya berbohong untuk cari selamat.
Saya bisa merasakan kemanusiaan Petrus yang tak lain adalah kemanusiaan saya sendiri. Rapuh. Mudah menyangkal.
Namun, seiring dengan itu, seperti Petrus, saya justru merasakan rahmat Tuhan yang luar biasa. Ketika manusia jujur dengan kemanusiaannya, rahmat Allah mengalir begitu deras. Saya menemukan Tuhan justru ketika saya menemukan kemanusiaan saya apa adanya: mahkluk rapuh.
Hanya segelintir orang yang tahu cerita saya ini. Hari ini, menjelang Kamis Putih, peristiwa ketika Tuhan Yesus membasuh kaki para muridNya, saya berbagi untuk kalian.
Semoga Tuhan juga membasuh dan menyegarkan kembali kemanusiaan kita semua. Kemanusiaan yang kotor, penuh penyangkalan, dan lebam-lebam selama tahun politik ini.
Salam!
Kebon Jeruk, 18 April 2019
Saya rasa, semua orang pernah jadi Petrus dalam hidupnya, mungkin tidak cuma sekali.