PASKAH ITU perihal kebangkitan. Perihal hidup. Demikian juga menulis. Menulis itu upaya menghidupkan kata-kata. Mengembusinya dengan roh.
Hari ini, saya mau menceritakan sisa-sisa perjumpaan dengan Martin Aleida. Soal filosofi menulis ala Martin sudah saya ceritakan di tulisan pertama. Judulnya, Martin Aleida, Sastrawan Penyintas Peristiwa 1965.
Intinya, takdir menulis atau sastra, menurut Martin adalah membela korban. Hampir semua cerpen-cerpen Martin mengangkat isu-isu kemanusiaan dari sudut pandang korban-korban Peristiwa 1965.
Saya menemui Martin di kampus Atmajaya, Jakarta. Maret lalu. Di forum diskusi novel Lelaki di Tengah Hujan karya Wenri Wanhar.
Salah satu kritik Martin pada Wenri adalah kurangnya keberanian berimajinasi. Wenri dinilai masih terkungkung pada data-data keras sejarah.
“Kemampuan imajinatif dia tidak jalan karena dia merasa harus mengikuti data sejarah yang ada,” ujar Martin.
Martin menyebut Bumi Manusia karya Pramoedya. Pram, sambung Martin, tak menulis sejarah. Ia menulis novel.
Selain imajinasi, Martin bilang diksi penting untuk menghidupkan cerita. Dan, sebuah karya tulis bisa disebut sastra, menurutnya karena tulisan itu memberi nilai baru dan memperkaya batin pembacanya.
Pada titik ini, saya merasa mendapat hiburan rohani dari Martin. Ia bilang, saatnya melepaskan kaidah-kaidah sastra seperti yang diajarkan guru-guru saat SMA. Baginya catatan kecil seperti jurnal atau catatan harian pun bisa menjadi karya sastra luar biasa.
Mengapa saya terhibur? Soalnya saya hanya bisa menulis catatan-catatan receh. Itu pun sebatas curhatan. Malah cuma status Facebook. Tak jarang amat personal. Dan, tentu, so what getu, lho?
Soal tulisan yang hidup, ia menyebut Anne Frank, Nezar Patria, dan Mitch Albom. Frank dikenal dengan buku harian yang ia tulis di atas loteng di masa persekusi Hitler. Nezar dengan jurnal pribadi seputar pengalamannya diculik dan disiksa di masa Orba. Mitch Albom dengan Tuesdays with Morrie-nya.
Tak hanya jurnal harian, bagi Martin, karya jurnalistik pun bisa bernilai sastra tinggi. Asalkan tak hanya memberi kekayaan informatif, tapi juga menggugah.
Saat badai menghajar Haiti, misalnya, International Herald Tribune menurunkan laporan jurnalistik sastrawi. Di alinea pertama, wartawannya menulis: Haiti hancur. Tak ada rumah yang tersisa. Sekalipun presiden, dia tak tahu di mana ia tidur malam ini.
Conton lain, Martin menyebut Olimpiade di Melbourne. Kala itu, ada reporter Inggris meliput maraton. Pelari kondang saat itu adalah Robert de Castella, pelari tuan rumah. Lari dimulai pukul enam pagi.
Para reporter dibawa dalam bus yang mengikuti pelari dari belakang. Saat pelari memasuki kawasan perumahan, reporter itu menulis cerita yang hidup.
Ia mengabarkan orang-orang di perumahan itu membuka jendela-jendela rumah mereka. Mereka melambai-lambaikan tangan kepada Castella dengan meninggalkan sarapan pagi.
“Bagaimana dia tahu mereka meninggalkan sarapan pagi? Padahal dia ada dalam bus. Inilah kekuatan imajinasi. Tak salah. Bagi saya, ini memiliki nilai sastra,” ujar Martin.
Inilah sepotong pelajaran menulis dari sastrawan besar Indonesia. Bukan sekadar menulis, tapi bagaimana menghidupkan cerita. Mengembuskan roh ke dalam kata-kata. Roh kebaikan di tengah ujaran kebencian. Roh kebenaran di tengah kabar bohong. Roh pengharapan di tengah arus pesimisme. Roh suara bagi yang tak bisa bersuara.
Apa yang Martin sampaikan ini telah membangkitkan kembali semangat saya untuk menulis. Sereceh apa pun. Dan, saya percaya, kata-kata yang hidup bakal menghidupkan pembacanya.
Inilah sastra. Inilah Paskah!
Menteng, 20 April 2019