Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Ada Ibu di Antara Bintang-Bintang Itu

1 min read

Sumber ilustrasi: https://best-wallpaper.net

Saya masih memelototi layar laptop. Siang kemarin. Mengedit video-video seputar hajatan kantor sepekan ini. Sesekali, menengok layar henpon. Facebook masih sama dengan hari-hari kemarin. Penuh kisah-kisah pandir dan menghibur. Dari mainan presiden-presidenan, gubernur yang menyalahkan banjir kiriman, hingga mantan jenderal yang konon bisa ngobrol dengan kucing, nyamuk, dan semut.

Tiba-tiba, notifikasi berbunyi. Ada pesan baru di WhatsApp. Kakak perempuan saya mengingatkan kemarin adalah hari ulang tahun ibu. Tentu saya kaget. Lalu saya teringat ibu. Lebih tepatnya kangen. Kangen pada sosok yang berpulang empat tahun lalu itu.

Saya sempat iseng mencari nomor ibu di daftar kontak di ponsel saya. Rasanya ingin sekali memencet nomor itu. Lalu terdengar suara ibu di ujung telepon. Saya mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian kami berbagi kabar. Tapi, urung, mengingat ibu sudah bahagia di sana bersama bapak dan simbah.

Sebagai tombo kangen, saya meluncur ke YouTube. Memutar lagu duo bersaudara asal Belanda, Maywood. Judulnya, Mother How Are You Today? Lagu ini populer pada tahun 1980. Saat di rumah Jogja, tentu saya masih kanak-kanak, lagu ini sering mengalun di pagi hari dari kamar kakak perempuan.

Saya bergeming depan laptop. Maywood masih berdendang di earphone saya. Menyanyikan lagu yang sama. Rizki, di sebelah kanan saya, sibuk menyortir foto hasil jepretannya. Nug, di sebelah kiri, sibuk dengan Adobe Premiere Pronya.

Mendadak, tanpa kontrol, ada yang melorot dari kedua sudut mata saya. Gelembung air itu pecah. Menyadari ini, cepat-cepat saya mengusapnya. Tanpa teman-teman tahu. Astaga, saya baru saja menangis. Geli juga rasanya. Mother, how are you today? Ibu, kados pundi kabar panjenengan sakniki?

November, di tahun yang sama ibu meninggal, ibu pernah menunjungi saya dalam mimpi. Di hari ulang tahun saya. Ibu datang ke rumah. Saya menjumpai ibu di dapur. Ia sedang menggoreng ikan, makanan kesukaan saya. Hari itu, saya menyadari ibu tidak pernah benar-benar pergi. Di tahun-tahun kemudian, ibu tak datang lagi. Pasti ibu sudah bahagia di sana.

Banyak kisah tentang ibu sudah saya tulis dalam buku “Perempuan yang Pergi Pagi-pagi.” Terbit tahun 2018. Masih banyak yang belum saya ceritakan.

Salah satunya, ibu suka mengajak saya malam-malam naik ke bukit Sempu, persis di samping kanan rumah. Biasanya, ini terjadi kalau ada doa lingkungan, entah itu jalan salib, novena, atau rosario. Maklum, di punggung bukit, sekitar 500 meter dari rumah, ada gua Maria kecil. Namanya Gua Maria Semanggi. Dan, sepuluh meter dari gua Maria, ada lahan pemakaman keluarga. Ibu dimakamkan di sana di samping bapak.

Malam-malam di punggung bukit menjadi malam-malam menyenangkan. Kenapa? Saya bisa melihat rasi bintang dengan jelas dengan mata telanjang.

Bintang-bintang itu menghambur. Ada yang kelap-kelip kemerah-merahan. Ada yang menyala terang seperti kunang-kunang. Tak jarang, saya melihat bintang-bintang itu jatuh. Jatuh fantastis menuju kaki-kaki langit.

Bintang-bintang itu berbagi terang dengan gulita. Pemandangan sangat indah. Lebih-lebih, melihat bintang-bintang itu di samping ibu. Ibu yang menumpahkan cinta pada anak-anaknya sampai akhir hayatnya. Malam sama sekali tidak menakutkan. Meski angin bukit doyan membawa dingin. Kehadiran ibu justru membawa hangat.

Sayangnya, pemandangan itu jarang saya temui lagi sekarang. Bahkan, ketika saya berada di tempat yang sama puluhan tahun silam itu. Andai pun ada bintang, mendung telah menyamarkannya. Belum lagi dengan polusi cahaya dari rumah-rumah dan tiang-tiang. Alam sudah berubah. Angin bukit pun tak lagi membawa dingin. Ditambah, ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Meski demikian, saya bisa mengenang ibu bila melihat bintang di langit. Bintang-bintang itu akan tetap ada, meski tertutup gulita, awan hitam, maupun hujan lebat. Matahari, bulan, dan bintang itu akan tetap ada untuk setia berbagi cahaya. Bukankah memang demikian. Meski dunia dihajar badai dan awan gelap, dan ini sering menakutkan dan membuat kita kehilangan arah dan merasa sendiri, matahari dan bintang-bintang itu tak pernah beranjak, siap berbagi hangat dan cahaya.

Ibu maupun bapak sudah berada di antara bintang-bintang itu. Hidup bersama Sang Sumber Cahaya, Allah sendiri. Kematian sama sekali tidak memutus relasi kita dengan orang-orang yang kita cintai. Ibu sudah bahagia di sana.

Pada akhirnya, mereka bisa kita rasakan lagi kehadirannya lewat doa. Dalam doa, Allah memberi rupa-rupa perantara.

Maria, salah satunya, sebagai Bunda Perantara. Kangen dengan orang-orang yang kita cintai yang sudah meninggal? Titip salam saja pada Maria. Dari pengalaman yang sudah-sudah, Maria tak pernah mengecewakan.

Selamat ulang tahun, Ibuk!

— Kebon Jeruk, 27 April 2019


Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *