Saya suka dengan cerita. Selalu ada hikmah yang dijumput dari balik cerita. Apalagi kalau cerita-cerita itu merupakan bagian kehidupan nyata orang-orang. Termasuk cerita dari orang-orang yang belum saya kenal atau belum pernah saya jumpai sama sekali.
Contohnya, kemarin siang. Di kantor, lantai delapan Gedung 88, Kota Kasablanka, saya bertemu dengan Sinta Ayu dan anaknya, Rafi Ridwan. Saya baru pertama kali ini bertemu dan mengenal mereka. Anak muda kelahiran tahun 2002 ini dikenal sebagai desainer fesyen termuda penyandang tunarungu. Pada umur sembilan tahun, Rafi sudah menggelar fashion show. Debutnya pun mendunia.
Siang itu, Sinta mengantar Rafi untuk menerima penghargaan dari kantor saya. Tepatnya, di ajang pemasaran yang digelar selama sepekan. Sebenarnya, saya baru tahu Rafi itu tunarungu dari obrolan makan siang kemarin. Rafi bicara gagap. Ibunya membantu sebagai interpreter. Dan, cerita perempuan berhijab itulah yang paling mencuri perhatian saya.
Saat mengandung janin Rafi, demikian Sinta bercerita, dirinya divonis mengidap virus Rubela. Virus ini berdampak pada janinnya. Dokter menyarankan Sinta melakukan aborsi. Tapi, Sinta menolaknya. Sinta memilih merawat dan membesarkan bayinya. Apa pun keadaannya.
Saya bisa membayangkan pergulatan batin Sinta dan suaminya kala itu. Mereka dihadapkan pada pilihan: melakukan aborsi atau memiliki anak tunarungu. Di antara kematian dan kehidupan itu, Sinta memilih kehidupan.
Ada pengalaman masa lalu yang tak lepas dari keputusan heroik Sinta itu. Waktu kecil, Sinta mengalami kecelakaan. Tertabrak mobil. Dokter bilang, akibat peristiwa ini, Sinta akan susah memeroleh keturunan alias mandul.
“Saat menikah, saya dan suami tak berharap banyak akan mendapat momongan. Namun, Tuhan memberi mukjizat. Saya hamil tapi bayi divonis tunarungu. Sebagai rasa syukur pada Tuhan, saat dokter menyarankan saya untuk aborsi, saya memilih untuk merawat bayi saya,” ujar Sinta.
Sinta kemudian berjanji pada diri sendiri. Ia akan selalu mendampingi putranya. Tidak akan membatasi Rafi dengan segala kekurangannya. “Saya memberi kebebasan Rafi untuk mengetahui, belajar, dan mencoba banyak hal. Saya ingin dia menjadi diri sendiri apa adanya,” ujarnya.
Umur dua tahun, ia sudah doyan coret-coret. Ia menggambar Ariel, salah satu tokoh dalam dongeng Little Mermaid. Ia merancang busana untuk tokoh-tokoh dunia bawah laut itu.
Sampai akhirnya, ia menggelar fashion show untuk karya-karyanya sendiri. Tokoh-tokoh kreatif dunia mulai meliriknya. Ia pernah digandeng Tyra Banks, pesohor dunia, di ajang America’s Next Top. Mulai tahun 2011, ia mejeng hampir tak pernah absen di Jakarta Fashion Week. Tahun 2017, karyanya dipamerkan di ajang pameran fesyen dunia di Mercedes-Benz El Paso Fashion Week di El Paso, Texas. Pemerintah dukung penuh Rafi melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Itulah Rafi Ridwan. Dalam hati terdalam, saya merenung apa jadinya jika orang tua Rafi kala itu menuruti rekomendasi dokter untuk aborsi? Sudahkah kita, khususnya orang tua, bersyukur dan mencintai dengan total, anak-anak kita dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka? Atau kita lebih senang marah-marah, jengkel kecewa, atau “pengen ngremus-ngremus” mereka ketika mereka sedang tampil seperti yang tak kita harapkan? Kisah Rafi ini cukup menohok saya secara pribadi.
Bagi saya, tindakan orang tua Rafi bukan sekadar tindakan heroik. Lebih besar dari sekadar heroisme, pilihan orang tua Rafi adalah pilihan iman. Iman bahwa segala sesuatu yang hidup itu suci karena berasal dari Dia di atas sana yang menciptakan semesta ini. Dan, ini tak boleh diciderai dan dikurangi sedikit pun. Sayangnya, dunia mengajari kita untuk menolak, meminggirkan, dan bahkan melenyapkan hal-hal yang dinilai tidak normal dan tak ideal.
Bukankah kita di dunia ini dipanggil bukan untuk menjadi yang terbaik? Tetapi, dipanggil untuk setia. Setia apa? Setia untuk merawat, mempertahankan, dan mengembangkan kehidupan yang dititipkan kepada kita. Lalu? Membiarkan rahmat Allah bekerja. Dan, jangan pernah coba-coba menghalanginya.
Kita dipanggil untuk menjaga keutuhan ciptaan. Sekecil apa pun. Santa Theresa dari Kalkuta bilang, “God has not called me to be succesful. He called me to be faithful.”
Paus Fransiskus pernah bilang, aborsi itu sama saja dengan menyewa pembunuh bayaran. Menghentikan proses kehamilan sama saja dengan membunuh seseorang.
Paus asal Argentina ini di kesempatan lain juga bilang, tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna. Tidak menikah dengan orang sempurna. Kita juga tak memiliki anak yang sempurna. Dalam ketidaksempurnaan itu, Paus mengatakan, kita membutuhkan pengampunan, penerimaan, dan rasa syukur. Pengampunan akan melahirkan suka cita.
Selamat mensyukuri keluarga masing-masing!