Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Iwan, Mei 1998, dan Sesudahnya

3 min read

Dalam rangka mengenang kejahatan brutal atas kemanusiaan dalam Tragedi Mei 1998 dan upaya mendokumentasikan ingatan, saya unggah tulisan lawas saya di blog ini. Tulisan ini memuat wawancara saya dengan Iwan Firman, salah satu penyintas peristiwa itu pada 14 Mei 2003 — persis lima tahun saat Iwan mengalami peristiwa naas. Selamat menyimak.

Iwan Firman di rumahnya di kawasan Senen. Foto diambil oleh Lui pada tahun 2003.

Pria berpostur gemuk dengan luka bakar di sekujur tubuhnya itu tampak gelisah. Sesekali, ia menatap kalender yang digantung di dinding ruangan berukuran 2X4 meter. Hari itu, 14 Mei 2003. Matahari siang masih menghujamkan panasnya di Tanah Tinggi, Kawasan Senen, Jakarta. Patung panglima Tiongkok Kwang Kong dan seekor burung robin dalam sangkar seolah turut merasakan kegelisahan pria itu. Sejenak mereka hening.

Iwan Firman (43), seorang korban Kerusuhan Mei 1998, takkan melupakan tanggal itu. Lima tahun lalu, pada tanggal yang sama, Iwan mengalami kekerasan yang membuat fisiknya cacat, tak senormal dulu. Siang itu juga, Iwan berbagi kisah tentang peristiwa horor Mei kelabu.

Kamis, 14 Mei 1998 pukul delapan pagi, Iwan ditelepon bosnya untuk melakukan tagihan ke Bekasi. Iwan yang adalah karyawan sebuah toko elektronik di Glodok ini segera menaiki Yamaha King Cobranya. Pagi itu, jalan-jalan masih normal. Ia menuju rumah bosnya di Pluit dan langsung meluncur ke Bekasi. Dari Bekasi, hari sudah siang. Iwan kembali ke Jakarta. Iwan heran memandangi jalanan. Mobil-mobil sudah terbalik dan terbakar. Api menyala melalap ruko-ruko di pinggiran jalan, menimbulkan asap tebal.

Iwan merinding ketakutan. Ia mencari-cari orang untuk ditanyai apa yang terjadi. Tapi, ia tak menemui seorang pun. Sepi, katanya. Dari Bekasi, lalu Pondok Kranji, Cakung, Pulo Gadung, Perintis Kemerdekaan, Perempatan Coca-Cola, tampak suasana yang sama lagi mencekam. Siang menjelang sore, ia kembali Pluit menemui bosnya. Karena suasana sedemikian genting, bosnya menyuruh Iwan cepat-cepat pulang.

Kembali Yamaha king Cobra segera meluncur membawa sosok Iwan pulang. Pukul empat sore, di depan STM Poncol Cempaka Putih, terpaksa ia menghentikan motornya. Ia melihat ada segerombolan orang menghadang di jalan. Rambutnya cepak, mirip tentara, bercelanakan jeans plus pakaian preman.

Mendapat isyarat buruk, segera ia membanting stir motornya ke belakang. Tak disangka, di belakang dia, sekelompok lain menghadangnya. Karena takut, ia buru-buru turun dari motornya dan berusaha kabur. Ia lari sekuat tenaga. Saat menoleh ke belakang, ia melihat sepuluh orang mengejar dia.

Sayangnya, seorang dari kesepuluh orang itu berhasil menarik baju Iwan. Ia ketangkap. Iwan dipukuli beramai-ramai. Iwan mencoba melawan. Tapi, sia-sia saja. Mereka mencoba menyeret tubuh Iwan mendekati motornya yang ia parkir sekitar 20 meter dari tempat ia dipukuli. “Mau diapakan lagi diriku,” batin Iwan.

Ternyata, mereka membuka saluran bensin dari motornya yang berisi bensin penuh dan menguyurkannya ke tubuh Iwan. Lalu, seorang menyalakan korek api dan melemparkannya ke tubuh Iwan. Kontan, api langsung menyala membakar tubuh Iwan. Iwan pingsan.

Saat siuman, Iwan sadar bahwa dirinya sudah ada di ruang ICU Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Sakit seolah menggerayangi tubuhnya. Daging tangan kanannya gosong dan mengelupas, kelihatan tulangnya. Sementara, tangan kirinya tak bisa digerakkan karena patah. Dan, Ibu jarinya sudah hilang terpanggang api. Di masa siuman itulah, Iwan menyadari bahwa dirinya selamat dari maut berkat pertolongan Pak Haji Harun, seorang haji tua asal gang Kranjang, Poncol dan sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

“Dokter, kalau begini caranya, untuk apa saya hidup,” tutur Iwan mengenang saat ia tergolek di ranjang rumah sakit. Iwan mengaku tambah teriris hatinya karena istrinya tercinta tidak menengoknya. Padahal, satpam rumah sakit sudah ditugasi untuk mengabari istrinya soal kondisi Iwan. Namun, Iwan merasa diteguhkan saat teman-teman SMP-nya dulu datang rutin menengok. Bahkan, akunya, merekalah yang membiayai seluruh pengobatan yang mencapai 200 juta rupiah itu.

Empat bulan, Iwan dirawat di rumah sakit. Dengan kondisi belum sembuh benar, ia beranjak untuk mengunjungi istri dan kedua anaknya, Dewi Mustika (14) dan Yosua Santosa (12). Ia menuju Jl. Kembang Sepatu. Tak disangka, pertemuan hari itu menjadikan hati Iwan tambah sakit. Rupanya, istrinya tidak mau menerima lagi. “Kamu tidak perlu ke mari lagi. Kita sudah masing-masing saja,” kata istrinya seperti yang ditirukan Iwan.

Pupus harapan Iwan. Ia dicaci maki oleh istrinya. Ia diceraikan istrinya. Akhirnya, ia meninggalkan Jl. Kembang Sepatu menuju Tanah Tinggi, ke rumah kelahirannya.

Bila Sahabat Datang

Selain membuat tubuhnya cacat, peristiwa tragis itu membuat Iwan kehilangan pekerjaannya. Terpaksa, ia mengetuk dari pintu ke pintu untuk mengemis. Kadang ke Kota, kadang ke Jatinegara. Rahmat tersendiri bagi Iwan saat ia bertemu dengan sosok Andreas.

Saya (kiri) dan Abdillah. Foto diambil oleh Anto Purwanto pada tahun 2003.

Andreas adalah seorang penjual siomay yang sudah 33 tahun keliling menjajakan siomaynya di sekitar Tanah Tinggi. Tiap sore, ia lewat di depan rumah Iwan. Andreas, bapak yang enam bulan lalu ditinggal mati istrinya karena keropos tulang, menyediakan diri sebagai teman setia Iwan. Dialah yang menyediakan makan, memandikan, menceboki dan membantu Iwan melakukan aktivitasnya. Andreas menjadi tempat curhat Iwan dikala susah.

Hadir Andreas, hadir pula Abdillah. Penjaga palang kereta api Pos Pintu no. 31, Kembang Pacar, Pasar Gaplok, Senen ini mengaku telah menjalin persahabatan selama 20 tahun dengan Iwan. Bapak tua asal Brebes dan lebih dikenal sebagai Pak Kamat ini mengaku telah menyelamatkan Iwan dari niatnya bunuh diri di bantalan rel kereta api.

Foto Iwan Firman (kanan) sebelum cacat. Foto disimpan oleh Abdillah. Foto diambil oleh Anto Purwanto pada tahun 2003.

“Jangan lakukan itu, Tuhanlah yang memberi keselamatan. Iwan itu temen akrab. Meskipun dia Cina, saya Jawa, kami sudah merasa seperti saudara. Iwan dulu suka menolong saya, kini giliran saya yang menolong Iwan,” tutur Abdillah lalu beranjak memejet tombol merah, tanda kereta api datang. Di dinding Pos Pintu itu, kami menemukan foto Iwan bersama seorang kawannnya sengaja ditempel oleh Abdillah.

Dibantu sahabatnya tadi, Iwan kini mampu meneruskan usaha turun-temurun dari kakeknya, sebagai pedagang obat dan jamu Cina Sin She. Konon kabarnya, kakeknya menjadi saudagar jamu Sin She di Toko Tjap Singa Mas yang berdiri di kawasan segitiga Senen, kini telah menjadi Plaza Atrium. Setiap sore, ia menjaga kotak kaca berisi obat-obat Cina, menunggu pelanggan. Ia mengaku punya bakat menyembuhkan. Taka heran, beberapa pasien yang pernah ia tangani, seperti penderita kanker payudara, stroke, batuk darah, mengalami kesembuhan total.

Iwan terus menjalani hiduonya. Jalan masih panjang. Dengan sisa-sisa usia, energi, kecacatan tubuhnya, Iwan mencoba merajut beragam mimpi. Siang malam, ia terus bermimpi. Mimpi berkumpul kembali bersama istri dan kedua anaknya, mimpi agar orang-orang yang mencelakakan dirinya diadili, mimpi mendapat keadilan bersama korban-korban kekerasan negara lainnya. Mimpi seorang korban. Iwan namanya.

Jakarta, Mei 2003

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *