Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Mei dan Maria-maria Dolorosa

3 min read

Sumber: Missionaries of Divine Revelation

Tiga perempuan ini menyandang nama Maria. Tiga-tiganya memiliki seorang anak laki-laki. Ketiga anak lelaki itu mati dibunuh dalam tragedi kemanusiaan. Satu mati di Golgota. Satu mati di Klender. Satu lagi mati di Semanggi. Mereka adalah Maria-maria berduka cita. Saya menyebutnya Maria-maria Dolorosa.

Mei, bagi umat Katolik, adalah bulan Maria. Devosi pada Bunda Tuhan ini biasanya diisi dengan berdoa rosario atau ziarah ke gua Maria. Bagi bangsa Indonesia, Mei adalah bulan kelam. Dua puluh satu tahun lalu, pada bulan ini, Indonesia terbakar oleh kerusuhan berbau rasial. Mahasiswa-mahasiswa ditembaki. Toko-toko dan rumah-rumah dijarah dan dibakar. Ribuan orang mati terpanggang. Perempuan-perempuan diperkosa. Indonesia kelam — sekaligus kejam.

Bunda Maria juga mendapat julukan bunda duka cita — Mater Dolorosa. Dalam bahasa Inggris, Mother of Sorrows. Maria digambarkan dengan sosok ibu yang jantungnya tertusuk tujuh pedang. Tujuh pedang ini melambangkan tujuh peristiwa sedih yang mengoyak hati Maria — hati seorang ibu. Ibu yang melihat sendiri kekejian tak terperi menimpa putranya.

Saya terbantu film The Passion of the Christ (2004) untuk merasakan kepedihan Maria. Film yang dibintangi Jim Caviezel dan disutradarai ini Mel Gibson ini mengeksplorasi kesengsaraan Yesus dan kepedihan Maria. Bagaimana tidak, anak yang selama ini ia besarkan yang mengajarkan cinta kasih, dan tidak melakukan kesalahan sedikit pun justru dihukum mati. Yesus dihukum mati atas tuduhan subversif dan penistaan agama oleh imam-imam kepala dan ahli-ahli kitab yang munafik dan bersekongkol dengan penguasa Romawi yang korup.

Satu adegan paling menyentuh adalah ketika Maria menjumpai anaknya yang sedang memanggul salib jatuh tersungkur di jalan. Salib itu menimpa tubuh Yesus yang luka-luka dan bersimbah darah. Lalu Maria terkenang saat Yesus masih kecil, berlari, dan jatuh di jalan. Maria yang melihatNya bergegas menolong putranya. Maria pun terdorong kembali menolong anaknya yang jatuh di jalan salib. Sayangnya, tentara-tentara Romawi menghalang-halanginya. Pasti pedih sekali perasaan ibu Maria ini.

Maria kedua adalah Maria Sanu. Saya pernah menemuinya di rumahnya di Klender. Kala itu, 10 Mei 2018, bersama anak saya, Jagad Cleva. Maria Sanu adalah ibu dari Stevanus, bocah yang ikut menjadi korban di dalam Jogja Plaza — sekarang Mal Citra Klender yang dibakar pada kerusuhan 14 Mei 1998. Maria Sanu bercerita tentang Stevanus sembari beberapa kali menangis mengenang putranya.

Saya dan Maria Sanu di rumahnya. Foto: Jagad Cleva Nitisara

Singkat cerita, Stevanus kala itu pamitan main bola. Sampai sore, ia belum pulang ke rumah. Maria Sanu was-was. Kata temannya, Stevanus ikut menonton tawuran di Jogja Plaza. Hingga malam, ia belum pulang. Kecemasan menghebat dalam diri Maria Sanu yang sedang berosario di lingkungan. Di rumah, Maria Sanu menonton televisi. Jogja Plaza dibakar dan dijarah. Maria makin panik.

“Ya, Tuhan. Kalau anak saya takut pulang, mohon berikanlah petunjuk pulang. Kalau ia ikut terbakar, ampunilah dosa-dosanya,” tutur Maria terisak.

Kerusuhan di Klender itu membuat ratusan orang hangus dibakar. Banyak yang tak teridentifikasi karena kondisinya yang gosong. Saat pemakaman massal, peti-peti dibawa ke Pondok Rangon tanpa identitas. Maria Sanu terus berosario dan menangis.

“Di hari pemakaman massal itu, saya tak kuat melihat siaran televisi. Banyak peti di sana. Jangan-jangan Stevanus ada di sana,” katanya dengan mata berair.

“Salah anak saya apa sehingga dihilangkan begitu saja. Meninggalnya tak wajar. Ibu yang mengandung, melahirkan, merawat, mendidik hingga besar, tapi orang lain membakarnya semena-mena. Mereka tak merasakan betapa sakit hatinya seorang ibu.”

Saya bergeming dan mendengarkan. Mencoba merasakan betapa pilunya seorang ibu melihat anaknya mati dengan cara seperti itu. Jasadnya tak diketahui. Itu pun terpaksa dimakamkan dengan nisan tanpa nama. Kisah Maria Sanu ini pernah saya tulis dalam narasi berjudul “Menanti Stevanus Pulang.” Saya akan membagikannya secara terpisah.

Maria ketiga adalah Maria Sumarsih. Sumarsih adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Atma Jaya yang ditembak mati aparat pada peristiwa Semanggi, 13 November 1998. Wawan adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) yang ditembak di dada saat dia sedang menolong korban yang juga ditembak oleh aparat.

Bersama Maria Sumarsih di depan istana.

Peristiwa itu tentu memilukan Maria Sumarsih sebagai ibu. Namun, Maria Sumarsih mengaku, dukacitanya sudah bertransformasi pada perjuangan akan keadilan dan supremasi hukum.

“Kebenaran itu bersinar. Saya merasa, perjuangan sesulit apa pun ketika di jalan benar, maka ibarat nyala lilin, nyala lilin itu tidak akan pernah padam. Bahkan, ketika saya berada di lorong sempit, cahaya terang selalu menyinari langkah saya,” ujar Sumarsih.

Sumarsih menjadi salah satu inisiator aksi di depan istana setiap Kamis. Aksi diam dengan berpayung hitam dan berpakaian serba hitam ini dikenal dengan Aksi Kamisan. Sampai hari ini, aksi itu masih digelar di depan istana. Maria Sanu bersama para korban-korban kejahatan HAM berat masa lalu juga ikut hadir di aksi itu.

“Hitam bukanlah lambang duka cita. Hitam adalah lambang keteguhan. Keteguhan kami dalam mencintai Wawan, mencintai para korban, mencintai bangsa Indonesia,” kata Sumarsih.

Begitu cintanya pada Wawan, Maria Sumarsih sampai sekarang masih menyediakan piring kosong untuk putranya. Lengkap dengan sendok, garpu, dan gelas di meja makan. Itu terjadi saban makan bersama digelar. Di luar makan bersama, piring itu tetap ditaruh rapi, tertelungkup, lengkap dengan perkakasnya. Kisah ini pernah saya tulis dalam “Piring Kosong untuk Wawan.”

Maria-maria dolorosa ini kini masih terus berjuang untuk keadilan. Perjuangan mereka tampak sunyi. Pemerintah saat ini pun masih tampak diam. Belum ada langkah nyata mengusut, menangkap, mengadili para pelaku kejahatan HAM masa lalu. Bahkan, para jenderal yang terindikasi kuat justru bebas bermanuver. Ada yang berkali-kali ikut kontestasi calon presiden. Ada juga yang ikut dalam pemerintahan Jokowi saat ini. Sumarsih menilai, Nawacita Jokowi pun — khususnya penuntasan kasus HAM masa lalu — masih tinggal janji yang belum ditepati.

Mei memang bulan yang tepat untuk mengenang Maria-maria Dolorosa itu. Masih banyak “Maria-maria” (baca: perempuan ibu-ibu) yang berduka dan mencari keadilan sekian lama. Maria-maria yang kehilangan anak-anaknya atau suaminya — dalam kasus penculikan aktivis, penembakan mahasiswa, Tragedi Mei, Peristiwa 1965, Talangsari, Tanjung Priok, Papua, Timor Leste, Tragedi Semanggi dan Trisakti, dan sebagainya.

Perempuan-perempuan itulah yang paling lantang berjuang. Karena dari merekalah lahir kehidupan. Merekalah yang paling terluka ketika kehidupan yang mereka lahirkan dibinasakan semena-mena oleh orang lain. Bahkan, oleh instrumen bernama negara.

Andaikata anak-anak mereka masih hidup, mungkin Maria-maria itu menikmati hari tua mereka dengan menggendong dan menimang cucu-cucunya. Entah bermain di mal, berjalan-jalan di kebon raya, ngevlog bareng, berbagi tawa, seperti Pak Jokowi.

— Kebon Jeruk, 12 Mei 2019

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

2 Replies to “Mei dan Maria-maria Dolorosa”

  1. Tulisan yang sangat bagus…
    Bunda Maria adalah teladan hidup kita sebagai pengikut Kristus Tuhan. Banyak hal yg dilaluinya dengan luka dan derita dan Bunda Maria tetap menyimpannya dalam hati.
    Semoga oleh teladan kasih-Nya sayapun bisa menjadi istri dan menjadi ibu yang baik di mata Allah.Amin.

    Tks Pak Sigit & Jagad yg telah menuangkan tulisan kisah secara baik & indah, sebagai bukti penyertaan Allah melalui Bunda Maria.
    Tks. Tuhan memberkati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *