Dua hari saya membaca tuntas Srimenanti. Novel perdana Joko Pinurbo memang tak tebal. Tebalnya cuma 138 halaman. Ceritanya mengalir dengan kalimat-kalimat bersahaja, jenaka, dan indah — khas penyair yang akrab disapa Jokpin itu.
Ada dua tokoh utama dalam novel ini. Satu sang penyair yang kemungkinan besar representasi dari Jokpin sendiri. Satu lagi, Srimenanti, perempuan yang berprofesi sebagai pelukis. Keduanya dinarasikan selang-seling dengan sudut pandang orang pertama.
Selain dua tokoh utama tadi, ada satu tokoh yang paling mencuri perhatian saya. Ia tokoh figuran dan muncul beberapa kali saja.Tokoh itu bernama eltece, kependekan dari lelaki tanpa celana, sosok hantu laki-laki dengan darah mengental di ujung kelaminnya. Hantu ini suka batuk-batuk di kamar mandi disertai rintihan: “Sakit, Jenderal.”
Eltece muncul pertama kali di halaman lima. Ini membuat saya tegang sekaligus antusias membaca. Jokpin seolah menghadirkan suspense di awal novelnya. Saya pikir Jokpin akan mengeksplorasi eltece. Ternyata saya keliru. Ia bukan karakter utama dan hanya sesekali muncul.
Rintihan “Sakit, Jenderal!” itu yang membuat saya langsung berasumsi pada jenderal penculik. Eltece saya asumsikan dengan aktivis dan korban-korban kekejaman Orba. Mereka digebuk, diculik, disiksa, dan mati. Darah mengental di kelaminnya itu simbol kekejian tak terkira.
Soal jenderal, saya langsung ingat jenderal Orde Baru. Satu, Soeharto, diktaktor keji yang tak sungkan-sungkan melibas lawan-lawan politiknya. Satu lagi, Prabowo, menantu Soeharto dan mantan Danjen Kopassus yang membawahi Tim Mawar, tim khusus untuk menculik para aktivis.
Masih di halaman lima, asumsi saya diperkuat dengan kisah Srimenanti yang teringat bapaknya setelah bertemu eltece. Pada suatu malam, saat pulang dari bermain teater, bapaknya dijemput beberapa orang tak dikenal. Sejak itu, ia tak pernah lagi melihatnya. Ia tak tahu menahu apa yang terjadi. Sampai ia dengar cerita-cerita tentang para aktivis dan seniman yang diculik, disiksa, dan konon dikerat kemaluannya.
Munculnya eltece ini, saya menduga, Jokpin ingin membuat cerita dengan sedikit bumbu masa lalu yang nyambung dengan masa sekarang. Trauma kekejaman Orba masih ada hingga hari ini. Bagian mesin kekejaman Orba itu pun masih eksis. Ia ikut kontestasi pilpres, kalah, dan mengajukan gugatan.
Kehadiran eltece membawa kenangan sekaligus trauma. Trauma yang membuat hari-hari Srimenanti dipenuhi kegelisahan. Ia dibuat menjadi tak konsen melukis.
“Hari-hari ketika kepala saya terteror oleh suara bising dan saya sulit tidur. Saya sering mendengar derap sepatu serdadu dan letusan senapan yang bertubi-tubi. Hati saya tak mampu menghalaunya” (hlm.28).
Sindiran-sindiran kecil pada situasi politik beberapa kali muncul bersamaan munculnya eltece. Subagus, teman sang penyair, pernah diganggu eltece. Pria bertato di lengan dan betis ini tak berdaya ketika eltece menciwel-ciwel pipinya seraya berseru: “Piye kabare? Ngeri zamanku to?” Senyum Soeharto sontak hinggap di benak saya.
Tampak Jokpin juga ingin menyentil situasi di tahun politik ini. Lewat sang penyair, ia bilang hari-hari belakangan gerah dan berisik, penuh dengan caci maki dan intrik. Orang-orang pun sudah kehilangan selera humornya (hlm.61). Politik itu keras, penuh muslihat (hlm.75).
Jokpin juga menyentil soal politik identitas. Srimenanti pernah ditanya oleh wartawan, “Lukisanmu termasuk aliran apa?” Ia malas menjawab. Srimenanti bilang, hari-hari ini kegemaran bermain label kembali merajalela dan banyak orang lupa atau tak menyadari bahayanya. Situasi kian runyam jika perang label sudah membawa-bawa agama (hlm. 77).
Dan, politik telah mencerai-beraikan persahabatan. Srimenanti bilang, apa yang dipersatukan oleh cinta ternyata bisa diceraikan oleh politik.
Hantu lelaki tak bercelana itu tak hanya usil pada Srimenanti, sang penyair, dan teman-temannya. Eltece juga menghantui masyarakat di mana-mana dengan kelamin yang luka dan berdarah sembari merintih, sakit Jenderal, sakit Jenderal.
Demikian kisah trauma yang saya temukan dalam novel ini. Namun, saya harus jujur untuk satu hal ini. Srimenanti masih kurang greget. Plotnya datar-datar saja. Tak seperti novel-novel pada umumnya, saya tak menemukan konflik, sosok antagonis, klimaks, hingga resolusi yang kentara. Narasi mengalir datar. Untung ada eltece.
Kisah novel ini tak ubahnya kisah persahabatan Jokpin. Meski fiksi, muncul nama-nama yang ada di dunia nyata. Sebut saja Butet, Djaduk, Aan Mansur, dan Beni Satryo, misalnya. Dan, tentu saja, kisah perjumpaan sang penyair dengan Sapardi Djoko Damono — sosok idolanya. Puisi Sapardi “Pada Suatu Pagi Hari”, tulis Jokpin di pengantarnya, menjadi inspirasi lahirnya novel ini.
Itulah Srimenanti. Di balik kalimat-kalimat dan potongan-potongan puisi indah Jokpin di novel ini, ada narasi-narasi kecil tapi getir. Kegetiran akibat kekejaman masa lalu. Sampai hari ini, kegetiran itu belum terselesaikan.
Trauma itu terus muncul dalam bentuk hantu lelaki tanpa celana. Eltece akan terus menghantui kapan pun sampai kekejaman masa lalu itu diselesaikan — oleh siapa pun presidennya.
Sampai kapan? Mungkin inilah yang mendorong Jokpin memberi judul novel ini Srimenanti, Sri yang menanti, menanti sampai kapan? Mungkin.
— Kebon Jeruk, 24 Mei 2019
Mas yang terhormat, saya sudah membaca review mas sendiri tentang maksud dari novel srimenanti, saya mohon bertanya mas, kira-kira teori yang cocok untuk menganalisis novel tersebut itu teori apa ya mas? boleh dijelaskan mas, untuk dijadikan referensi atau acuan berfikir saya dalam mengerjakan tugas. Terimakasih.