Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Kebebasan Berinternet, Kebebasan Semu

2 min read

Saat pembatasan akses media sosial dibuka lagi pemerintah beberapa hari lalu, netizen girang. Postingan di medsos pun mengalir deras. Linimasa kembali gaduh. Hidup terasa ‘normal’ kembali. Netizen merasa mendapatkan kembali kebebasannya.

Demokrasi seakan kembali digenggam. Orang bebas berekspresi — dari memaki pemerintah, memposting menu buka puasa hingga curhat tentang anjing kesayangannya yang mati.

Benarkah dengan internet, kebebasan itu ada dalam genggaman kita? Dalam tulisan lawas saya berjudul “Internet dan Kebebasan Semu” saya suka dengan analogi ini.

Dulu, pada masa Soeharto memerintah dengan tangan besi, kebebasan berekspresi hampir tak ada. Demokrasi pun semu. Diskusi-diskusi dibatasi. Media dibredel. Intel ada di mana-mana. Pagi hari, orang boleh bersuara lantang menentang pemerintah, tapi malam hari tak ada yang bisa jamin ia kembali ke rumahnya. Orang-orang pun bisik-bisik ngerumpi pemerintah. Pengawasan negara (surveillance). Sedikit tercium makar, orang langsung diciduk.

Soeharto tumbang, tak lama kemudian internet datang, Orang-orang merayakan kebebasan. Benarkah kita bebas? Tidak. Proses pengawasan negara dan memata-matai makin canggih. Soeharto mengontrol warga dengan membatasi ruang gerak.

Di zaman now, negara justru mengontrol warga dengan memberi ruang sebebas-bebasnya bernama internet. Aturan mainnya lugas. Semakin kita banyak bicara di medsos, semakin kita gampang dimata-matai oleh negara. Merayakan kebebasan di medsos tak ubahnya menyerahkan data-data ke kekuasaan. Inilah paradoks yang diusung era milenial.

Era sekarang mengusung sistem pengawasan baru. Istilah kerennya, “Virtual Panopticon.” Istilah ini saya pinjam dari seorang kolumnis David Engberg. Istilah Panopticon sendiri sudah lama saya kenal dari buku pemikir Michael Foucault. Foucault pun menjumput istilah tersebut dari Jeremy Bentham— filsuf Inggris yang menjadi orang yang pertama kali mempopulerkannya.

Istilah “Panopticon” mengacu pada menara pengawas yang biasa dibangun di tengah-tengah penjara. Pada tahun 1791, Jeremy Bentham mengusulkan sebuah inovasi dalam sebuah arsitektur penjara. Bentham mengusulkan agar penjara diatur dalam sel-sel yang melingkar. Dinding sel dibuat sesolid mungkin. Tujuannya, agar antartahanan tidak bisa saling berkomunikasi. Jendela kecil dibuat di masing-masing sel agar tidak gelap gulita.

Di tengah penjara yang melingkar-lingkar itu, dipasang sebuah menara pengawas. Di menara, ada jendela yang dibuat khusus agar tahanan tak melihat siapa yang ada di menara itu. Dan, dari jendela ini, sang pengawas bisa melihat semua gerak-gerik tahanan tanpa ia terlihat. Sang Pengawas pun berlaku seperti Tuhan “Sang Maha Penglihat.”

Panopticon dimaksud Bentham sebagai alat pengontrol perilaku tahanan. Menara itu menjadi sebuah “teror” yang memaksa orang-orang di dalamnya tidak melakukan tindakan menyimpang. Termasuk saat menara itu sama sekali kosong melompong alias tidak ada penjaganya. Tahanan akan membatasi perilakunya. Model pengawasan ini juga sering digunakan untuk rumah-rumah sakit, panti-panti sosial, maupun sekolah.

Dalam bukunya Dicipline and Punish (1979), Foucault menandaskan kontrol sekarang ini bisa dilakukan tanpa harus ada kehadiran fisik.  Kontrol dilakukan terus-menerus tanpa tahu siapa yang sebenarnya sedang mengamat-amati diri kita. Hal ini cocok untuk sekali untuk menggambarkan dunia sekarang—dunia yang sedang bereuforia dengan informasi.

Foucault juga mengatakan penindasan di era informasi tidak lagi didominasi kontrol fisik. Tapi, lebih pada pengetahuan lengkap dan observasi. Pemikiran Foucault ini lahir jauh di masa-masa Internet belum seriuh sekarang. Ide Foucault ini,  menurut David Engberg, menjadi senjata kesayangan kaum Libertarian Siber Posmodern untuk menganalisis situasi masyarakat kontemporer. 

Panopticon-panopticon modern dipasang di mana-mana untuk mengontrol perilaku. Di perusahaan-perusahaan, dipasang kamera-kamera pengintai untuk membatasi aktivitas para buruh dan karyawan. Belum lagi kamera pengintai di toko-toko modern, bank-bank, dan bahkan tempat-tempat ibadah. Termasuk kota Jakarta dengan 6.000 CCTV di pasang di segala sudut pada era Ahok.

Dan, panopticon-panopticon itu juga ada di lanskap Internet. Kebebasan berekspresi dan berkata-kata di Internet merupakan big data gratis yang bisa dilacak oleh sebuah mesin tertentu.  Mesin pencari seperti Google menjadi contoh bagaimana kebebasan berinformasi itu itu tercatat rapi di Internet. Beda halnya, di era dahulu yang lebih didominasi dengan budaya lisan.

Bahkan, The Associated Press pernah merilis sebuah laporan eksklusif tentang para pengintai yang ditugasi oleh agen mata-mata Amerika Serikat CIA. Para pengintai ini mempunyai sebutan khusus, yakni Ninja Librarian atau Pustakawan Ninja.

Ninja-ninja ini bertugas menggali informasi orang-orang dari seluruh dunia tentang aneka perbincangan yang ada di media sosial, dari masalah umum sampai revolusi. Mereka memberikan informasi kepada Gedung Putih tentang segala hal yang ada di Twitter, Facebook, maupun artikel surat kabar.

Bagi saya, internet dan kebebasan itu memiliki relasi paradoksal. Semakin kita bebas berekspresi di internet, semakin kebebasan itu terkontrol dan diawasi.

Secara kultur, ini pun kontradiktif. Evgeny Morozov dalam bukunya “The Net Delusion, How Not to Liberate the World” bilang, open networks, narrow minds. Cultural contradictions of internet freedom.”

Nah, kebebasan yang kita rayakan dengan internet pada dasarnya kebebasan yang terkontrol. Kebebasan semu. Tapi, tak masalah juga. Lha, wong kita senang kok perilaku kita diawasi. Hari ini, banyak mata yang mengawasi seluruh gerak-gerik keseharian kita. Bahkan, detak jantung dan embusan napas pun tidak luput dari sorotan mata-mata virtual ini.

Tak percaya? Pergilah ke luar pada malam hari dan pandanglah jauh ke langit malam. Di antara bintang-bintang itu, ada mesin pintar yang sedang memata-matai gerak-gerik kita.

Bukan demikian?

— Kebon Jeruk, 31 Mei 2019

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Jurnalisme Sol Sepatu

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah” sangat menarik. Selain menarik, pesan tersebut juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti...
Sigit Kurniawan
4 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *