
Lelaki dengan suara serak itu terus menelepon. Ia berupaya meyakinkan anak-anak muda bersenapan itu sedang berjalan di jalan Allah. Surga pun menanti mereka. “Allahu Akbar.” Senapan meletus. Orang-orang kocar-kacir dengan jeritan histeris. Tubuh-tubuh roboh. Darah menggenang di mana-mana.
Film Hotel Mumbai (2019) memang menegangkan. Teror dan ketegangan hadir menit demi menit. Film garapan sutradara Anthony Maras dan John Collee ini mengangkat kisah nyata di Mumbai pada tahun 2008. Saat itu, 26 November, sekelompok teroris dari Lashkar-e-Taiba yang berbasis di Pakistan ini berperahu menuju Mumbai. Kelompok ini terdiri dari sepuluh anak muda. Mereka bersenjata AK47, pistol, dan granat.

Serangan membabi buta ini terjadi di beberapa lokasi. Di antaranya, stasiun kereta Chhatrapati Shivaji, hotel Oberoi Trident, hotel Taj Mahal Palace, kafe Leopold, rumah sakit Cama, dan komunitas Yahudi Nariman House. Teror brutal ini menewaskan sedikitnya 174 orang — termasuk sembilan teroris, dan melukai 300 orang lebih.
Film ini mengambil latar utama di Taj Mahal Palace. Kisahnya dominan tentang upaya petugas hotel menyelamatkan tamu-tamunya. Semangat “tamu adalah dewa” mendorong mereka berjuang mati-matian. Dua staf hotel tersebut adalah Hemant Oberoi (Anupam Kher) sebagai kepala koki dan Arjun (Dev Patel) selaku pelayan. Zahra (Nazanin Boniadi) dan David (Armie Hammer) menjadi pasutri yang terjebak di hotel itu. Serangan itu membuat mereka pontang-panting menyelamatkan bayinya yang dibawa sang pengasuh bernama Sally (Tilda Cobham-Hervey). Di sana, ada juga mantan pasukan khusus Rusia bernama Spasilnaz Vasili (Jason Isaacs).

Sehari setelah menonton Hotel Mumbai, saya menonton versi dokumenternya berjudul “Terror in Mumbai.” Dokumenter ini diproduksi oleh HBO Documentary Film dengan narator wartawan kawakan Fareed Zakaria. Banyak adegan sama di kedua jenis film ini. Bahkan, dokumenter itu tak kalah menegangkan dan mengerikan. Terlebih saat para penyintas pembantaian itu memberikan testimoni yang mengaduk emosi.
Dari sekian tokoh, ada satu yang paling mencuri perhatian saya. Dia adalah suara serak di ujung telepon yang tersambung dengan ponsel para teroris tiada putus. Suara lelaki disapa Bull ini berperan sebagai pengarah sekaligus penyemangat. Ia mengarahkan anak-anak muda bersenjata itu kapan menembak, melempar granat, atau menghabisi para sandera. Ia juga menyemangati bahwa tindakan mereka direstui Allah. Surga pun menanti mereka.
Tampaknya ini lumrah. Hampir di setiap tragedi terorisme, ada sosok-sosok yang berperan sebagai pengarah sekaligus guru dari para eksekutor lapangan itu. Guru ini berhasil mencuci otak. Membunuh orang-orang kafir itu, katanya, merupakan tindakan yang direstui Allah. Orang kafir itu ibarat binatang. Boleh ditumpas semaunya. Ini adalah jihad. Tak peduli lelaki, perempuan, orangtua, lansia, maupun balita. Para teroris ini dijanjikan sejumlah uang sekaligus surga.
Paling tidak, ini terungkap dalam percakapan polisi dengan Ajmal Amir Kasab , satu-satunya teroris yang berhasil ditangkap hidup-hidup. Para teroris ini sekian tahun direkrut dan dicuci otak oleh Lashkar-e-Taiba — yang didanai oleh Osama Bin Laden. Laskar ini mendatangi dusun-dusun miskin di India sembari menjanjikan kehidupan lebih baik. Laskar ini melakukan kampanye hitam. Kemiskinan orang-orang muslim, katanya, adalah akibat tindakan orang-orang kafir. Mereka kemudian dilatih berperang. Melawan orang-orang kafir dianggap jihad. Itu yang akan membebaskan mereka dari kemiskinan.

Fenomena yang pantas direfleksikan adalah bagaimana mungkin nama Allah yang kudus dipakai untuk melegitimasi tindakan kebinatangan itu. Termasuk, bagaimana agama justru rentan dipakai untuk membenarkan kekerasan dan pembunuhan. Mengapa yang suci sangat dekat dengan kekerasan? Bukankah ini sangat paradoks: mengaku semakin mendekati yang suci, tetapi justru semakin biadab.
Buku “Kambing Hitam Teori René Girard” yang ditulis oleh Sindhunata cukup menjawab pertanyaan tersebut. René Girard, seorang intelektual Prancis, mencoba mengelupasi fenomena kekerasan mulai dari kulit terluar hingga misteri terdalamnya. Termasuk kekerasan dalam selubung agama yang dipicu oleh arus besar dunia bernama globalisasi.
Kata-kata kunci dalam gagasan Girard adalah hasrat, mimesis, rivalitas, kebencian, kekerasan, dan kambing hitam. Menurutnya, kekerasan dalam agama paling vulgar nampak pada ritus korban. Ritus ini biasanya dibungkus dalam rupa persembahan, entah binatang maupun manusia.
Ritus korban ini dianggap sebagai puncak kesucian. Ritus ini mengalami mimesis atau ditiru turun temurun dalam rupa-rupa bentuk. Girard memberi kesimpulan mengejutkan: violence is the heart and secret soul of the sacred.
Dalam Hotel Mumbai, tampak bagaimana hasrat dan kebencian begitu diumbar. Orang-orang kafir dianggap sebagai musuh yang menjadi penyebab segala kemalangan umat muslim. Mereka dikambinghitamkan. Dianggap pantas untuk dikorbankan sebagai bentuk persembahan mulia untuk Allah. Mereka diperlakukan sebagai hewan-hewan korban.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Allah merestui kekerasan dan pembunuhan atas namaNya itu. Benarkah Allah menghendaki pembantaian dan pertumpahan darah atas manusia-manusia ciptaanNya sendiri? Lalu, di mana kemahabaikan dan kemaharahiman Allah itu? Kebaikan dari mana lagi yang bisa manusia-manusia beragama andalkan kalau Allah sendiri doyan akan ketidakbaikan?
Sejarah mencatat bahwa teror dan kekerasan atas nama agama terjadi hampir di semua agama. Agama Kristen, misalnya, memiliki sejarah kelam sepanjang Abad Pertengahan. Kekerasan demi kekerasan terjadi mengatasnamakan kekristenan.
Thomas H. Green, SJ dalam bukunya “Prayer and Common Sense” (1996) memberi pendekatan cukup bagus. Saya membaca edisi bahasa Indonesianya berjudul “Doa dan Akal Sehat” dan diterbitkan Kanisius. Jesuit asal Amerika Serikat ini mengajak pembaca untuk mendekati Allah dengan akal sehat. Allah pada dasarnya menghendaki kita untuk hidup dengan akal sehat — termasuk dalam laku hidup rohani. Akal sehat ini merupakan karunia terbesar Allah untuk manusia dibanding ciptaan lain.
Akal sehat kita tentunya tidak membenarkan pembunuhan dan pembantaian pada manusia ciptaan Allah. Sebab itu, segala praktik kekerasan, seperti terorisme, persekusi, pembantaian manusia atas nama Allah berarti telah menempatkan Allah di bawah akal sehat manusia. Allah direndahkan sedemikian rupa di bawah akal sehat manusia. Inilah penistaan yang sebenarnya — menganggap Allah itu haus darah.
Hotel Mumbai dirilis beberapa saat setelah tragedi penembakan komunitas muslim di masjid Christchurch, Selandia Baru. Penembakan ini menewaskan sedikitnya 51 orang. Sebulan pasca rilis, sekelompok teroris meledakkan bom bunuh diri di sejumlah gereja dan hotel di Sri Lanka pada perayaan Paskah. Sedikitnya 290 orang tewas akibat teror bom ini. Artinya apa? Bayang-bayang teror itu masih ada hingga hari ini.

Saya pribadi menyambut senang ketika banyak pemimpin lintas agama atau organisasi atau masyarakat akar rumput bergandengan tangan menolak segala bentuk intoleransi yang menjadi bibit-bibit kekerasan dan terorisme di masa mendatang.

Refleksi ini saya tutup dengan bahasan soal sekolah atau lembaga pendidikan. Kenapa? Tempat inilah yang menjadi salah satu ruang efektif untuk mengedukasi soal toleransi di tengah perbedaan. Jangan sampai Bull-bull baru seperti dalam film Hotel Mumbai itu menjadi guru-guru menyesatkan bagi anak-anak di sekolahnya. Jangan biarkan bibit-bibit intoleransi itu disebar di bangku-bangku belajar — tempat yang seharusnya untuk mengasah akal sehat.
Guru-guru yang menyesatkan anak-anak ini selayaknya dikalungi batu kilangan dan dibuang ke lautan. Ada pertanyaan umum, seandainya dengan bom bunuh diri orang masuk surga, mengapa guru-guru itu tidak melakukan untuk dirinya sendiri? Pastilah guru-guru sesat ini mengeruk keuntungan dari para teroris yang pada taraf tertentu menjadi korban dari skandal guru-guru jahat ini.
Allahu akbar! God is the greatest. Allah maha besar. Kemahabesaran Allah ini hanya bisa ditangkap semestinya kalau kita juga memiliki hati, jiwa, dan pikiran yang besar. Segala macam perbedaan di dunia ini bukti kemahabesaran Allah. Merayakan perbedaan berarti merayakan kemahabesaran Allah.
Namun, bila yang besar itu ditampung dalam hati dan pikiran yang sempit, praktik-praktik intoleransilah yang muncul. Kita masing-masing bisa menilai diri sendiri, seberapa besar benih-benih intoleransi itu mengendap di hati dan pikiran kita. Kita bersihkan satu per satu. Jangan biarkan diri kita menjadi teroris-teroris sejak dalam pikiran.
Betul demikian?
Fenomena yang pantas direfleksikan adalah bagaimana mungkin nama Allah yang kudus dipakai untuk melegitimasi tindakan kebinatangan itu. Termasuk, bagaimana agama justru rentan dipakai untuk membenarkan kekerasan dan pembunuhan. Mengapa yang suci sangat dekat dengan kekerasan? Bukankah ini sangat paradoks: mengaku semakin mendekati yang suci, tetapi justru semakin biadab.
Sebagai pecinta binatang, saya menyarankan kepada penulis scriboer untuk memikirkan lagi paragraf ini. Apakah betul ada sifat-sifat binatang yang cocok untuk menggambarkan perilaku manusia dalam tindak teror dan atau tindak kejahatan lainnya?