Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Marco

1 min read

Sore kemarin, adik saya pamer anjing barunya. Anjing kampung ini bernama Boy Marco. Usianya baru tiga bulan. Ia membelinya dari seorang kawan. Nama Marco itu pemberian kakak perempuan saya. Katanya, nama Marco terinspirasi dari anjingnya Ignasius Jonan.

“Marco iki saiki dadi kancaku nang omah.” Demikian sesumbar adik saya di whatsapp. Saya sendiri bungah. Bukan karena si anjing baru ini. Tapi, karena sesumbar ini menandakan bahwa adik saya baik-baik di sana.

Marco. Foto: Agung Pamungkas

Sejak ibu, bapak, dan simbah putri meninggal pada tahun 2015, rumah Jogja sepi. Hanya adik saya seorang diri tinggal di sana. Itu pun tidak tiap hari. Pasalnya, adik harus bolak-balik Sembungan-Minomartani karena urusan pemulihan kesehatan.

“Kirik iki mengko calone dadi gede duwur,” sambung adik saya.

Saya rindu bisa memelihara anjing. Sayang, di rumah Jakarta, ini tak memungkinkan. Tak ada halaman cukup bagi anjing untuk belingsatan. Bila dilepas bebas, lingkungan sekitar jelas tak ramah anjing.

Saat kanak-kanak, saya memelihara beberapa anjing. Saban pagi, anjing ini membangunkan saya. Ia melompat ke kasur dan menjilati muka saya. Ekornya goyang-goyang tanda senang. Sayang, anjing-anjing itu mati dalam tragis. Mati diracun. Kematian anjing ini menorehkan kepedihan. Ini pengalaman pertama saya merasakan apa itu kehilangan.

Kakak perempuan saya juga pernah memelihara anjing. Namanya Gerard. Bulunya putih dengan belang hitam di bagian matanya. Kakak sangat mencintai Gerard. Saat Gerard hilang, kakak begitu terpukul. Saking sayangnya, setiap pagi selama sembilan hari, kakak pergi ke gereja untuk misa dan novena. Berdoa agar Gerard kembali ke rumah. Almarhum ibu sampai geleng-geleng kepala melihat perilaku kakak. Namun, keajaiban terjadi. Pada hari ke-sembilan novena, kakak menemukan Gerard di jalan di daerah Kasongan. Gerard pun diboyong pulang ke rumah. Kedua mata kakak saya berair saking terharu.

Saya rasa, adik saya sudah tepat memboyong Marco di rumah Jogja. Hewan mana lagi yang paling setia menjadi teman manusia selain anjing? Sudah banyak kisah kesetiaan seekor anjing pada manusia yang kita dengar.

Hachiko, misalnya. Ia adalah seekor anjing jantan jenis Akita Inu di Jepang. Ia dikenang sebagai lambang kesetiaan anjing pada majikannya. Bahkan, anjing ini dibuatkan patung di depan Stasiun Shibuya. Tempat ini adalah tempat di mana Hachiko menunggu majikannya setiap turun dari kereta hingga akhir hayatnya.

Maru adalah kisah empat hari lalu. Maru, seekor anjing betina jenis Bullmastiff. Usianya baru setahun. Ia harus berjalan sejauh 125 mil atau 201 kilometer demi menemui tuannya yang sudah tak menginginkannya lagi. Untuk sampai di rumah tuannya, Maru harus menyusuri hutan Siberia, Rusia.

Semoga Marco pun menjadi sahabat yang baik. Kesetiaan anjing-anjing memang tak diragukan lagi. Manusia pun pantas belajar dari mereka. Sayangnya, perilaku manusia sering jatuh di bawah perilaku terhormat anjing-anjing ini. Manusia doyan menggonggong tanpa isi, gampang menyalak marah, mengejar, menggigit, hingga melukai orang-orang yang ia benci atau ia anggap musuh. Bahkan, menganjing-anjingkan orang atas nama agama.

Selamat datang, Marco!

Kebon Jeruk, 25 Juli 2019

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *