Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Bukan Dead Poet Society

1 min read

Hari ini, saya membacakan buku cerita untuk Lentera di sekolah. Saya membacanya pagi tadi sebelum ngantor dan melayat tokoh literasi yang baru saja wafat, Rm. Adolf Heuken SJ di Kapel Kolese Kanisius.

Dua hari lalu, orangtua murid diundang datang ke sekolah untuk membacakan buku di depan anaknya masing-masing. Undangan saya sambut dengan riang gembira.

Ini digelar untuk menyambut Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku (Gernas Baku) pada 27 Juli 2019. Ini gelaran kedua yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun lalu. Gerakan ini dikhususkan untuk anak usia dini setingkat PAUD.

Tak gampang membacakan buku untuk anak usia playgroup. Saya harus pindah tiga tempat. Dari duduk di pelataran, lanjut di tempat bermain, dan berakhir di dalam kelas. Lentera belum bisa jenak untuk duduk lama dan mendengarkan cerita saya. Di kelas, mama Tera mengambil alih. Tera tampak lebih menikmati dan mau berinteraksi dengan mamanya terkait buku di depannya.

Ada dua buku cerita yang saya bacakan untuk Lentera. Satu karangan Clara NG berjudul “Jika Ayah Bajak Laut dan Ibu Putri Duyung.” Satu lagi seri dongeng untuk si kecil terbitan BIP berjudul “Ceritaku Bersama Mama.” Kedua buku ini lebih didominasi gambar warna warni ketimbang teks.

“Membacakan buku untuk anak-anak bisa menjadi sarana untuk membangun kedekatan relasi orangtua dengan anak. Ada relasi rohani yang dibangun, walaupun anak-anak ini belum bisa membaca. Selain tentunya memperkenalkan anak-anak dengan buku sejak dini,” ujar Magda, salah satu ibu guru pendamping saat membuka gerakan ini.

Saya sepakat ide besar gerakan ini. Khususnya dalam membangun literasi sejak dini. Salut buat guru-guru di sekolah ini. Namun, kalau ini sekadar selebrasi imbauan pemerintah jelas tak mencukupi. Apalagi kalau hanya dilakukan setahun sekali. Salah dua ciri gerakan adalah kontinuitas dan dilakukan bersama.

Ada dua kunci utama dalam membangun literasi ini, yakni sekolah dan rumah. Saya tak tega membayangkan jika awal yang baik ini justru pelan-pelan dibunuh oleh sistem pendidikan nasional di sekolah yang sangat berorientasi pada kurikulum, standarisasi, dan cara mengajar yang membosankan.

Saya jadi ingat film Dead Poet Society. Film lawas ini dibintangi mendiang Robin Williams. Di sana, ada guru bahasa Inggris unik. Namanya John Keating. Unik karena ia “melawan” sistem sekolah yang kaku dan dingin.

Ia mengajar dengan cara-cara yang tak lazim. Tak seperti yang dilakukan guru-guru di sekolah yang sudah punya nama itu. Belajar di tanah lapang, membaca puisi, mendiskusikan sastra, mementaskan teater, berolahraga, dan sebagainya. Keating adalah antitesis dari kurikulum dan cara mengajar yang rigid dan membosankan.

Carpe diem, raihlah kesempatan. Itulah frasa sakti Keating yang mengubah anak-anak didiknya.

Salah satu adegan Dead Poet Society. Sumber: Wikipedia

Gerakan membaca buku (sastra), seperti cerita, dongeng, puisi bukan sekadar belajar membaca itu sendiri. Lebih dari itu, seperti Keating bilang, itu adalah belajar tentang kehidupan. Berikut satu kutipan Keating

“We don’t read and write poetry because it’s cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. And medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for.”

Sebagai orangtua dari dua anak, saya merasa tertantang. Saya percaya, anak adalah peniru terbaik orang tua mereka. Kalau orang tuanya di rumah doyan baca buku, dipastikan anak-anak doyan baca buku juga. Kalau orang tua lebih senang main hape, demikian juga anak-anak akan lebih senang main hape. Anak menjadi pemarah karena orang tuanya pemarah.

Ini cukup menantang bagi saya karena saya merasa masih pas-pasan dalam membangun iklim literasi di rumah. Buku-buku memang berjibun tertata di meja dan perpus rumah. Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana saya berani memberi teladan di depan anak-anak. Membacakan buku untuk anak itu baik. Tapi, memberi teladan membaca buku itu jauh lebih berdaya.

Betul demikian?

– Kebon Jeruk, 26 Juli 2019

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *