Perbincangan soal salib dan jin kafir membuat saya kembali ke buku lawas ini. Apalagi wacana ini muncul di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia. Buku ini ditulis oleh Leonardo Boff. Judulnya “Jalan Salib Jalan Keadilan.” Versi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Kanisius tahun 1992.
Saat menulis ini, media-media masih memberitakan tindakan represif aparat, kekerasan, dan rasisme yang dialami oleh teman-teman mahasiswa dari Papua yang ada di asrama di Surabaya. Seperti dikutip dari Tirto, mereka mendapat umpatan rasis dari aparat bersenjata dengan sebutan “anjing, babi, monyet.”
Salib dan kemerdekaan. Itu yang ingin saya angkat dalam tulisan ini. Soal ini, minimal UAS ‘berjasa’ mengingatkan kita pada spiritualitas salib dan keadilan dalam konteks kemerdekaan. Benarkah kemerdekaan itu sudah dirasakan oleh seluruh warga Indonesia? Atau, masih banyakkah orang-orang Indonesia yang justru “disalibkan” (baca: menderita karena ketidakadilan) oleh bangsanya sendiri?
Renungan Boff mengajak kita menuju pada esensi salib. Bukan sekadar ocehan soal jin kafir atau bukan. Bukan soal patung dan berhala. Tapi, soal tubuh mistik Kristus yang masih menderita karena ketidakadilan. Sebuah semangat salib untuk berbelarasa dengan mereka yang menderita, miskin, dan tertindas.
Dalam pengantarnya, Boff dengan tegas mengatakan, teologi berusaha membicarakan iman secara rasional dan sistematis. Teologi keluar dari pengalaman iman konkret dan menyuburkan iman itu sendiri. Kriteria penting untuk menentukan kebenaran setiap teologi adalah apakah teologi itu menyuburkan kehidupan iman, harapan, dan cinta.
Boff melanjutkan, teologi itu benar sejauh diterjemahkan ke dalam meditasi, doa, tobat, mengikuti Kristus, dan perhatian serta keterlibatan pada sesama manusia. Jika teologi tidak mengantar orang untuk mengambil langkah-langkah itu, maka bisa dipastikan bahwa teologi itu adalah teologi istana. Artinya, kegiatan penulis religius yang melayani istana (orang besar) dan kekuasaan orang yang didewakan di dunia ini. Teologi ini, tandas Boff, jelas tidak melayani Allah.
Soal salib, Boff menyinggung teologi yang bermata dua atau ante et retro occulata. Mata satu memandang masa lampau ketika penyelamatan terjadi. Mata lain melihat masa kini ketika keselamatan menjadi kenyataan sekarang dan di sini. Jika teologi hanya memandang dengan satu mata saja, teologi itu menderita rabun myopia.
Buku ini mengusung Jalan Salib dengan satu mata terpusat pada Yesus historis – kehidupanNya, penyiksaanNya, kematianNya, dan kebangkitanNya. Sekaligus buku ini merupakan Jalan Keadilan dengan berpusat pada Kristus yang diimani yang melanjutkan penderitaanNya dewasa ini dalam diri saudara dan saudariNya yang dihukum, dibelenggu, dan dibunuh karena masalah keadilan.
Di zaman now ini, penderitaan Kristus terulang kembali dalam hidup mereka yang menjadi korban karena masalah keadilan. Penderitaan mereka tampaknya sama dengan penderitaan Yesus historis. Banyak orang sekarang disiksa dan dibunuh karena mempertahankan hak-hak orang kecil dan keadilan bagi orang miskin.
Boff juga menulis, mereka lebih suka mati karena kekerasan namun mulia, daripada menikmati kegembiraan karena suatu kebebasan yang terkutuk. Kebangkitan Yesus yang tersalib membuktikan bahwa pengorbanan hidup seseorang demi cinta pada orang yang terempas dan tersiksa bukanlah tanpa makna. Dia yang tersalib, Dia pulalah yang Hidup. Mereka yang dewasa ini disalibkan juga akan hidup.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk mereka yang masih setia dalam perjuangan merebut keadilan di negeri yang sudah 74 tahun merdeka ini. Pertama-tama, saya dedikasikan untuk teman-teman muda Papua yang mengalami tindakan represif, perlakuan rasis, dan aneka kekerasan, sementara sumber daya alam mereka dieksploitasi.
Juga kepada mereka yang terus berjuang mencari keadilan atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh negara. Kepada mereka yang berjuang atas tanah-tanah mereka yang direbut atas nama pembangunan (baca: pemilik modal). Kepada mereka yang disingkirkan dan diintimidasi secara sosial, seperti teman-teman LBGT. Kepada mereka yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Kepada para pengungsi dan korban perdagangan manusia. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Boof lahir di Brazil tahun 1938. Ia merupakan seorang teolog, filsuf, sekaligus penulis. Ia terkenal karena aktif mendukung perjuangan bagi hak-hak kaum miskin dan tersisih. Ia dikenal sebagai salah satu penggagas teologi pembebasan bersama Gustavo Gutierrez.
Jadi, salib seperti apa yang kita imani? Kalau dengan salib kita bisa menemukan Yesus yang masih disalibkan di era sekarang dalam diri mereka yang tertindas karena masalah keadilan, berarti kita mengimani Yesus yang hidup. Tapi, kalau salib sebatas salib, mungkin benar kata UAS bahwa kita sedang menyembah jin kafir – jin yang membuat kita mabuk agama dan membutakan kita pada realitas sosial.
Jin kafir atau Yesus yang hidup?
Kebon Jeruk, 18 Agustus 2019