Perempuan ini pergi pagi-pagi. Demikian kurang lebih isi pesan pendek yang mampir di kotak surat ponsel saya. Kabar ini saya terima di Senin pagi, saat hujan belum lama berhenti dan setelah berjam-jam menghajar Kebon Jeruk subuh hari. Basah, lembab, dan dingin. Senin, 7 Januari 2013.
“Terlalu cepat,” saya membatin.
Saya baru saja menemuinya seminggu sebelumnya. Saat saya dan keluarga membungkus liburan panjang di kampung halaman untuk Natal dan tutup tahun, saya menyempatkan diri menyambangi rumahnya di hari terakhir liburan. Tidak lama. Hanya sepuluh menitan saya mengunjunginya. Maklum, saya harus mengejar waktu untuk bergegas kembali ke Jakarta.
Kala itu, 30 Desember, dengan sepeda motor saya meluncur dan menembus udara panas Yogyakarta—maklum hari akan hujan dan mendung sudah mengintai di sudut-sudut langit Kota Gudeg ini. Saya sudah membungkus janji dengan suaminya yang tak lain sahabat saya sendiri. Dialah Aloysius Sulistiyanto, sahabat asrama yang dikelilingi pohon pinus, palem, dan tanaman rempah pala serta yang pintu gerbangnya menantang dua gunung sekaligus, Merapi dan Merbabu.
Rumah saya dengan rumah perempuan itu tidak begitu jauh. Masih satu kabupaten, Bantul. Jaraknya sekitar 30 menit waktu yang ditempuh dengan sepeda motor dengan kecepatan lebih. Saya janjian dengan Gingsul, demikian saya memanggil Sulistiyanto, di tepi jembatan Kali Opak di jalan Parangtritis. Rumah perempuan itu tidak lebih dari satu kilometer dari Kali Opak—sungai yang dikenal dengan penambangan pasir yang suasananya sepoi-sepoi oleh angin Pantai Selatan.
Tidak ada lima menit, Gingsul menjemput dengan sepeda motor bersama seorang anaknya. Kami berputar balik. Melaju menuju rumah perempuan itu. Membelah hamparan sawah. Memasuki dusun dengan jajaran pohon pisang dan nyiur di kanan kiri jalan.
Saya memarkir sepeda motor di samping dua sepeda motor lainnya. Gingsul mempersilakan masuk ke rumah. Angin Pantai Selatan masih mengayun-ayun daun-daun pisang dan nyiur di sekitar rumah. Matahari masih terik dan terus membakar langit-langit Bantul. Langit pun menghitam jelaga. Dipastikan hujan untuk beberapa waktu ke depan akan turun.
Di dalam kamar, aku mendapati perempuan itu. Wajahnya tirus. Kepalanya pelontos. Tanpa rambut. Habis. Bantal-bantal besar menopang tubuh yang tampak lunglai itu. Di lobang hidungnya terpasang selang kecil yang terhubung dengan dua tabung oksigen yang berdiri di samping tempat tidurnya. Napasnya terlihat berat. Seperti dibilang Gingsul di awal Desember lalu, perempuan ini divonis terkena kanker paru-paru stadium empat. Karena perempuan itu tampak sedang tidur, kami beranjak dari depan pintu kamar. Gingsul menarikku ke teras depan.
“Obat dokter masih diminum, Sul?”
“Sudah tidak minum obat lagi. Dokter sudah angkat tangan. Tinggal pasrah saja. Saat ini, hanya minum ramuan herbal.”
“Kemoterapi masih rutin dijalankan?”
“Kemoterapi juga sudah dihentikan. Kata dokter, kemoterapi tidak banyak membantu. Kemo hanya untuk meredakan rasa sakit saja.”
“Apa ada asupan lain selain jamu herbal?”
“Iya. Makan pun saat ini dengan tajin.”
“Kamu sendiri bagaimana, Sul?”
“Kami sudah siap dengan apa pun. Kami mensyukuri kenyataan ini.”
Saya menelan ludah. Melemparkan pandangan ke batang-batang pisang dan nyiur yang daun-daunnya menari bersama angin Pantai Selatan. Sejak lama – tepatnya melalui puisi-puisinya – saya bisa melihat ketabahan dan kepasrahan dalam diri Gingsul. Demikian juga dengan perempuan itu. Puisi-puisi kecil tapi indah yang ia kumpulkan di blog Gembiraloka, blog yang didedikasikan agar orang yang membaca puisi-puisinya bisa menjumput sepotong dua potong atau tiga potong kegembiraan.
Sepertinya mereka berdua sudah siap. Siap dengan segala kemungkinan. Iman sepasang suami istri ini begitu kuat. Paling tidak, puisi-puisi kecil yang tak lain adalah doa-doa itulah yang menjadi pertanda. Itu yang aku lihat. Pangarep-arep – pengharapan.
Hal utama yang membuat hidup mereka kuat menurut saya adalah cinta. Dari puisi-puisinya, saya bisa melihat betapa Gingsul mencintai istrinya dan kedua anak lakinya. Cinta itu ia sematkan di larik-larik puisinya. Cinta yang mereka berdua rajut sejak ikrar sehidup semati di Gereja Kecil, dua belas tahun silam. Tepatnya, 31 Desember atau 3112, angka yang tidak pernah dilupakan Gingsul dan istrinya.
Gingsul menulis puisi “Kalender Bulan Desember.” Berikut petikannya:
Kalender tahun ini Desember/ tinggal setengah lembar umurnya/ sudahkah kau siap menanggalkan kerisauan, atau masihkah kepikiran/ hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan yang tidak sehat?/ aku ingin membelikan sepasang kalender yang baru untuk engkau/ pasanglah di belakang dan di depan pintu rumah/ dari bulan Januari sampai bulan Desember/ gambarnya hanya satu orang. Yang tersenyum duduk seperti sedang menunggu engkau sapa/ ah, bukan. Itu bukan aku/ hanya tuhan yang mampu seperti iklan/ setia setiap saat dari awal hingga akhir tahun-tahun kita meskipun kita tidak pernah menandai kalender dengan melingkari setiap hari tanggal kasihnya/ kau sendiri yang tahu/ apakah tahun ini sudah kauhabiskan/ hampir 354 hari memikirkan diri sendiri.
Mendapati puisi itu, perempuan itu terharu dan membalas dengan sepotong komentar, meski kondisinya ngos-ngosan akibat sakit. “Tapi, anugerah Tuhan yang besar telah memberikan suami sepertimu! Sampai tak ada kata yang bisa merangkaikan rasa syukurku. Walau terlambat aku menyadarinya. Tapi, terimakasih atas cintamu. Dan, maafkan aku yang tidak bisa memberi, hanya meminta dan menerima.” Demikian kata perempuan itu.
BlackBerry saya berbunyi. Orang rumah menelepon agar segera berkemas. Jogja harus segera ditinggalkan. Jakarta kembali harus disongsong. Liburan usai. Saya berdiri dan meminta Gingsul menemaniku untuk pamitan dengan istrinya. Di kamar, kami bersalaman. Dengan napas berat dan kata-kata yang tidak jelas benar saya dengar, perempuan itu mengucapkan sesuatu pada saya. Karena kurang begitu mengerti, Gingsul mengejanya. “Saiki lemu” — sekarang gemuk, kata perempuan itu.
Usai berdoa singkat dalam batin, saya pamitan sekalian minta maaf karena terlalu singkat mengunjunginya. Gingsul kembali menemani saya di teras depan. Daun-daun pisang dan pohon nyiur masih menari-nari bersama angin Pantai Selatan.
Saya bertolak dari Jogja menuju Jakarta. Sampai akhirnya, di pagi hari, di kotak ponsel saya, seorang kawan mengirim pesan. Isinya tak lain bahwa perempuan itu kini sudah pergi, pagi-pagi. Kabar ini aku terima di Senin pagi, saat hujan belum lama berhenti setelah berjam-jam menghajar Kebon Jeruk subuh hari. Basah, lembab, dan dingin. Senin, 7 Januari 2013. Tak lama kemudian, di laman Facebook, Gingsul menuliskan kabar yang hampir sama dengan pesan yang sungguh menyentuh:
Telah kembali ke rumah Tuhan, Veronika Susanti Hesti Sutrisno. Hidup ini sekolah. Ujiannya Cuma dua: diberi apa-apa yang tidak disuka dan kehilangan apa-apa yang dicinta.
Selamat jalan mbak Hesti. Selamat menatap Tuhan yang selama ini mbak imani dari dekat, dari wajah ke wajah. Semoga Gingsul juga tetap kuat dengan keyakinan yang ia ucapkan sendiri:
“Keyakinanku belum berubah: Cinta lebih ajaib dari puisi, dan rindu adalah pedih yang paling indah.”
Percayalah Sul, dia sudah bergembira di Gembiraloka Surgawi, tempat di mana orang menjumput kegembiraan bukan hanya sepotong dua potong atau tiga potong, tapi berpotong-potong. Dan bahkan mencecap kegembiraan sepenuh-penuhnya. Tiada habis!
Terus terang, perjumpaan dengan kalian adalah pembelajaran hidup tak terkira bagi saya. Sebab itu, saya menuliskannya di halaman ini. Meski tak sempurna.
Jakarta, 23 Januari 2013