“Lho, Tera belum pakai anting, tho?”
“Belum. Nanti kalau dia sudah gede.”
“Kalau nunggu gede, nanti sakit bila telinganya ditindik.”
“Iya, nanti nunggu dia gede.”
Itulah sepotong percakapan pada pertengahan Desember lalu. Persisnya di emperan belakang rumah Sawangan, Depok, Jawa Barat.
Sejak kelahiran Lentera pada 1 Januari 2016, saya dan istri bersepakat untuk tidak menindik telinganya dan kemudian memasang anting-anting.
Ada beberapa alasan yang saya pegang. Pertama, menindik telinga tanpa kesepakatan dengan yang ditindik adalah sebuah bentuk vulgar kekerasan. Sebuah laku yang dipaksakan oleh orang dewasa untuk melukai tubuh anaknya secara permanen.
Kedua, menindik telinga dan memasang anting tidak ada kaitannya dengan kesehatan. Demikian juga tak berkorelasi langsung dengan meningkatnya martabat manusia atau bahkan menjadi penentu ia masuk surga atau tidak. Tindik dan anting sekadar aksesori.
Biarlah ketika dewasa kelak, dengan segenap kesadaran dan kemerdekaannya, Lentera memilih apakah mau melubangi daun telinganya atau tidak dan mengenakan anting-anting atau tidak.
Saya menolak tindik telinga balita dengan alasan apa pun. Termasuk alasan budaya atau agama.
Kebon Jeruk, 12 Januari 2020