Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Mereka Bermain di Laut

1 min read

Sore tadi, di ruang redaksi, saya mendengar lagu Let It Be. Lagu The Beatles itu mengalun pelan. Bukan dari laptop atau hape saya. Melainkan dari laptop rekan kerja di samping ruangan saya. Hafiz namanya, wartawan otomotif.

Di kalangan Kristiani, lagu ini cukup populer. Lagu ini biasanya diputar saat retret maupun rekoleksi dengan suasana silentium di sebuah pondokan, jauh dari keramaian.

Lagu Let It Be ditulis dan dinyanyikan oleh Paul McCartney. Dipopulerkan pertama pada tahun 1970. Liriknya, konon terinspirasi dari pengalaman McCartney bertemu dengan ibunya dalam mimpi. Ibunya meninggal dunia saat dia berusia empat belas tahun karena kanker. Dalam mimpi, ibunya bilang, “It will be all right, just let it be” — semua baik-baik saja, apa yang terjadi terjadilah.

Dalam syair lagu tersebut, ada sebutan “Mother Mary.” Ini mengacu pada nama ibunya, Mary McCartney. Dalam perkembangannya, oleh sebagian pendengarnya, sebutan “Mother Mary” dianggap sebagai representasi Bunda Maria. Di Injil, Bunda Maria juga menyampaikan pernyataan yang kurang lebih sama saat menerima kabar dari Malaikat Gabriel bahwa ia akan mengandung Anak Allah. Bunda Maria bilang, fiat voluntas tua — terjadilah padaku menurut perkataanMu.

Di laptop Hafiz, tampak lagu legendaris ini kini disematkan dalam video animasi tentang pabrikan mobil asal Jerman Volkswagen. Di video bertajuk The Last Mile itu, Volkswagen mengucapkan perpisahan dengan VW Beetle (VW Kodok) yang dihentikan produksinya setelah tujuh dekade menemani pelanggan di jalanan.

Lagu Let It Be di video itu dinyanyikan oleh the Prosa Musica Youth Chorus. Di pungujung video berdurasi satu setengah menit itu ada pesan menarik. “When one road ends, another begins” — ketika sebuah perjalanan berakhir, sebuah perjalanan baru dimulai.

Apa hubunganya lirik McCartney ini dengan judul di atas? Kaitannya ada pada sosok Kumoro. Kumoro adalah seorang prodiakon dan katekis. Ia berdomisili di Padokan, sebuah dusun di Tirtonirmolo, kecamatan Kasihan, kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Semenjak kematian ibu, kemudian disusul bapak dan simbah putri pada tahun 2015, Kumoro hampir selalu hadir di rumah saya di Jogja. Entah hadir untuk membantu pastor membagi komuni atau memimpin sendiri ibadat arwah. Itu terjadi hampir saban doa digelar — dari ibadat pemakaman, doa tiga hari, tujuh hari, seratus hari, setahun, hingga seribu hari.

Suatu hari, dia memimpin ibadah. Kotbahnya sungguh hidup. Itu karena ia tak sekadar membedah isi kitab suci. Namun, ia menceritakan pengalamannya sendiri. Pengalaman kehilangan. Sama seperti ketika saya kehilangan ibu, bapak, dan simbah putri. Bahkan, pengalamannya jauh lebih tragis.

Suatu saat, demikian ia bercerita, saudaranya dari Jakarta menjenguknya di rumah Jogja. Saudara Kumoro kemudian hari mengajak dua anak kandungnya yang masih kecil plesir ke Pantai Selatan. Momen plesiran yang harusnya menyenangkan itu berubah menjadi duka mendalam. Kedua anak kandung Kumoro terseret ombak dan meninggal dunia.

“Kehilangan dua anak kandung sekaligus, masih kecil semua, memang menyakitkan. Namun, sekarang saya sudah pasrah pada Allah. Saya merelakan sekaligus mendoakan mereka. Sama seperti Bunda Maria, saya hanya bisa berujar, terjadilah padaku menurut perkataanMu.”

Demikian kira-kira pernyataan Kumoro sejauh saya ingat. Saya pikir, saya adalah orang yang paling malang sedunia karena kehilangan tiga orang tercinta pada tahun sama. Cerita Kumoro menggugah kesadaran saya. Cerita Kumoro justru mengajari saya memaknai kehilangan. Termasuk membawanya kepada pengalaman iman.

This image has an empty alt attribute; its file name is BUNGA.jpg

Let It Be pada akhirnya bukan sebatas lagu. Lebih jauh, itu merupakan ungkapan iman. Pengalaman Paul McCartney, Kumoro, dan saya sendiri memiliki benang merah pada lagu itu. Setiap akhir adalah sebuah awal yang baru. Persis seperti pesan di video VW Kodok tadi: when one road ends, another begins.” Dan, kabarnya, ini yang menyenangkan hati saya, Kumoro saat ini sudah memiliki momongan baru.

Kumoro (berjubah putih) sedang memimpin ibadah di rumah saya di Jogja. Foto: Sigit Kurniawan

Terima kasih, Pak Kumoro. Percayalah, kedua anakmu saat ini sedang bermain penuh suka cita di lautan kasih Allah. Juga dengan ibu, bapak, dan simbah putri saya.

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Dunia Helena

Sigit Kurniawan
3 min read

Musik Yus Menembus Langit Paradiso

“Bro, apa kabar? Senantiasa sehat ya. Wis beres gendheng omahmu?” Itulah nukilan pesan dari Yulius Panon Pratomo (Yus) pada saya di WhatsApp pada 15 Oktober 2020....
Sigit Kurniawan
6 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *