Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Di Balik Peti-peti Jenazah Itu

3 min read

Suster Laurentina Suharsih PI masih ingat pengalaman di Minggu siang pada tahun 2018. Saat itu, di Bandara El Tari, Kupang, ia menerima dua peti jenazah pekerja migran Indonesia asal Borong Manggarai dan Oekabiti Timor. Satu jenazah kondisinya mengenaskan. Jenazah itu penuh jahitan, dari pangkal perut hingga dada. Jenazah itu milik Milka Boimau. Ia adalah pekerja migran asal NTT yang bekerja di Malaysia.

Milka Boimau menjadi salah satu potret buruk pekerja migran Indonesia. Alih-alih mendapat pekerjaan bagus, mereka justru menderita. Mereka mengalami ketidakadilan dan bahkan kekerasan yang berujung kematian.

Kisah singkat Milka tersebut disampaikan oleh Suster Laurentina dalam sebuah diskusi di Sanggar Prathivi, Jakarta, 5 Juli 2019. Diskusi ini dimoderatori oleh Romo Ismartono SJ dari Sahabat Insan.

Suster Laurentina dikenal dengan julukan Suster Kargo. Sebutan ini ia dapatkan karena sering mengurusi penerimaan jenazah pekerja migran asal NTT di Terminal Kargo, Bandara El Tari, Kupang. Jumlah jenazah pekerja migran tak main-main banyaknya.

Sepanjang tahun 2018, ada 104 peti jenazah pekerja migran dikirim ke sana. Bahkan, belum sampai pertengahan tahun 2019, sudah ada 56 peti jenazah pekerja migran yang dikirim melalui layanan kargo bandara tersebut. Sampai akhir tahun 2019, jumlah total jenazah pekerja asal NTT mencapai 119 orang. Jumlah ini meningkat bila dibanding tahun 2018.

“Suster Laurentina harus bergerak cepat begitu mendengar kabar ada peti jenazah akan tiba di bandara. Ia tak memedulikan waktu. Entah itu malam atau dini hari. Ada dua alasan. Pertama, jenazah manusia dalam kondisi apa pun harus diberi penghormatan. Tidak boleh diperlakukan sembarangan. Kedua, suster mencegah jenazah itu ke calo perdagangan organ manusia. Banyak jenazah penuh jahitan. Sebagian organ dalamnya hilang,” ujar Ismartono.

Laku suster dari Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi ini menandakan perdagangan manusia nyata dan terjadi hingga hari ini. Perdagangan manusia ini, sambung Suster Laurentina, terjadi karena beberapa faktor.

“Kondisi desa-desa di NTT ikut memicu. Infrastruktur di sana terbatas. Lapangan kerja tidak ada. Orang-orang kampung ingin keluar dari NTT. Ini berlangsung bertahun-tahun. Sayangnya, ini dimanfaatkan oleh mafia jaringan perdagangan manusia,” ujarnya.

Mafia perdagangan manusia ini memiliki sistem kerja yang kuat, rapi, dan jaringan luas. Tradisi sirih pinang, misalnya, dimanfaatkan untuk menjaring anak-anak muda di sana. Mereka menyuruh orang-orang yang tinggal di NTT mencari tenaga kerja. Satu kepala dihargai Rp 3 juta. Ada agen yang menerima Rp 20 juta untuk satu kepala.

“Agen lapangan membujuk orang tua calon korban untuk melepaskan anaknya. Caranya dengan memberi uang sirih pinang. Bila sudah menerima uang sirih pinang, mereka tak berhak lagi mengatur anaknya. Besaran uang sirih pinang beragam, dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta,” katanya.

Jaringan perdagangan manusia di NTT susah dibongkar. Salah satunya karena melibatkan pejabat, aparat, serta oknum Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Mereka juga menggunakan modus-modus baru.

Mafia ini suka memalsukan dokumen dan identitas korban. Entah mengganti nama, alamat, umur, dan lainnya. Ketika datang masalah, pekerja migran ini susah dilacak. Saat mengalami penganiayaan, mereka juga susah melarikan diri. Paspor dan dokumen mereka disita oleh penyalur. Begitu kabur tanpa identitas, mereka langsung dicap pekerja ilegal. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan.

Modus perdagangan selalu baru. Saat ini, mereka menggunakan orang-orang yang sudah pernah bekerja. Entah di perusahaan atau pembantu rumah tangga. Saat libur, mereka mencari calon-calon pekerja baru. Majikan atau calon majikan sudah memberikan tiket. Artinya, calon pekerja tidak ditampung lagi.

“Yang disasar kebanyakan adalah lulusan SMP dan mereka yang buta huruf. Perekrutnya suka mengaku dari kalangan mahasiswa. Asalnya dari Kalimantan dan Jakarta,” katanya.

Panggilan Gereja

Gereja menjadi pihak yang paling didengar di NTT karena sebagian besar warganya beragama Katolik. Peran Gereja Katolik dibutuhkan dalam melawan perdagangan manusia ini. Sayangnya, karena alasan kekurangtahuan, beberapa imam justru terlibat dalam kasus ini. Mereka tanpa curiga merestui dan menandatangani surat pengantar bagi calon pekerja. Padahal, menurut aturan, siapa saja yang terlibat dalam perdagangan manusia, sejak perekrutan dan pengantaran, harus ditindak. Di sini, banyak kepala desa dan ketua umat yang terlibat – entah karena ketidaktahuan atau justru ikut permainan.  

Bahkan, sambung Suster Laurentina, ada calon pekerja migran yang dipilih atas rekomendasi kelompok doa dari kalangan Protestan sehingga pendeta ikut terlibat. “Ibu ini terpilih berkat doa-doa. Mereka bilang, kamu harus bersyukur karena kamulah yang terpilih untuk bekerja di luar negeri,” ujar Suster.

Suster Laurentina berharap Gereja Katolik bertindak proaktif pada kasus-kasus human trafficking ini. Tentu dengan berkolaborasi dengan banyak pihak, baik dari kepolisian, satgas pencekalan bandara, NGO, media, dan warga. “Tidak semua bagian gereja bergerak untuk masalah perdagangan manusia ini. Di tingkat keuskupan se NTT, kami sering berdiskusi. Namun, hanya beberapa keuskupan yang bergerak, seperti Keuskupan Ende, Ruteng, dan Kupang. Harapannya ini akan meluas,” ujarnya.

Selain itu, Suster Laurentina menekankan, gerakan antiperdagangan manusia ini tidak hanya menjadi tanggung jawab gereja secara hierarki, tetapi juga Gereja dalam arti seluruh umat. “Banyak alasan mengapa kasus-kasus ini kurang terdengar. Paus Fransiskus bilang dalam arah pastoralnya, orang Katolik tidak antusias terhadap persoalan human trafficking karena mereka pemakai dalam proses akhir,” pungkas Ismartono.

——-
Tulisan ini sudah diterbitkan di Warta Minggu edisi 11 Agustus 2019. Saya unggah di blog ini dalam rangka Hari Doa Sedunia Melawan Perdagangan Manusia pada 8 Februari 2020. Doa ini dinisiasi oleh Paus Fransiskus. Tulisan ini sudah mengalami beberapa penyesuaian informasi dan penyelarasan bahasa.

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *