Ada sepotong kisah dari negeri antah berantah. Di sana, hiduplah sebuah keluarga besar yang terkenal seantero negeri. Keluarga besar ini tinggal di rumah tua nan besar. Halamannya luas. Mereka memunyai perkebunan. Dari tanah itu, dihasilkan apel, anggur, pir yang sangat terkenal manisnya dan beragam tanaman bunga, seperti tulip, bakung, aster yang sangat terkenal indahnya.
Ada sebagian petak tanah digunakan untuk peternakan sapi, babi, ayam, dan domba. Untuk menjaga dari serangan binatang buas seperti serigala hutan maupun ular beludak, dipeliharalah sekawanan anjing penjaga. Anjing-anjing ini ditempatkan di setiap sudut halaman rumah mereka. Mereka tidak pernah tidur sekalipun bola raksasa yang terbang di langit telah melarut dalam gelap. Keluarga itu hidup dengan gembira dan penuh persaudaraan.
Keluarga itu dipimpin oleh seorang lelaki tua yang sering disapa dengan Bapa. Ia disegani sampai negeri seberang. Tugasnya tak lain adalah menjaga kelangsungan hidup rumah tua itu beserta seluruh isinya. Orang asing sering menyebutnya dengan Si Penjaga Tradisi.
Asal tahu saja, rumah tua itu merupakan rumah warisan yang usianya sudah ribuan tahun. Konon katanya, rumah itu didirikan di atas sebongkah batu karang raksasa. Menurut kitab tak pernah tertulis, rumah itu tidak boleh dirombak. Renovasi masih dimungkinkan sejauh tidak mengubah struktur bangunan yang sudah ribuan tahun berdiri.
Rumah itu diyakini sebagai rumah Dios, sang penguasa siang malam, sosok tidak kasat mata yang diimani tinggal di langit-langit rumah itu. Dios diyakini hadir saat lonceng-lonceng di menara rumah itu menari-nari digoyang angin dan menimbulkan suara dentang parau yang meningkahi malam dingin tak berkabut.
Di sudut ruang utama, berdiri angkuh sebuah altar tua dari kayu leluhur yang sudah berlumut. Di sanalah, setiap pengujung pekan, berlangsung puja-pujian bagi Dios. Kepulan asap setanggi dan lilin cendana menguar di setiap ruang dan meninggalkan wewangian yang tak pernah tanggal.
Dari altar itulah, Bapa senantiasa menyampaikan cerita turun temurun tentang kehebatan dan kepahlawanan Dios. Tentang Abraham. Tentang orang-orang yang celaka karena tidak mau menerima Dios dan tinggal di rumah tua itu. Cerita itu diulang-ulang. Seolah-olah tak ada cerita lain di sana. Termasuk kepada kedua anak lelakinya yang sekarang sudah beranjak dewasa, Si Sulung dan Si Bungsu.
Sampai akhirnya di sepotong malam, bulan berbentuk selarik buah pisang bertengger anggun di jendela rumah. Si Bungsu mendekati Bapanya yang merebahkan diri di kursi rotan kumal dekat perapian. Paras mudanya tampak gelisah. Sepertinya ia sedang memendam rindu besar yang ingin ia tumpahkan malam itu.
“Bapa, aku ingin sekali mengembara,” katanya.
“Kamu mau pergi ke mana? Bukankah kamu sudah hidup aman dan tenteram di sini bersama Bapa dan abangmu?” sahut bapanya sedikit syok.
“Tidak Bapa. Aku ingin menemukan hidupku di luar sana.”
“Jangan kamu lakukan anakku. Hidup di luar rumah ini berarti bunuh diri. Di luar tidak ada kehidupan. Itu sangat membahayakan jiwamu. Dios dan leluhurmu bisa marah”
“Aku tidak takut. Bukankah Bapa yang selalu mengajari aku untuk tidak takut. Bukankah Bapa juga yang mengajariku tentang Dios yang selalu menjaga anak-anaknya?”
“Setan dari mana yang membiusmu Adik. Apa kurangnya Bapa dan abangmu ini di mata Adik. Kita sudah nyaman di sini. Di sini, kita dilahirkan. Di sini pula, kita dikuburkan. Janganlah pergi dari rumah ini. Di luar, kamu hanya akan mati. Jangan jadi anak durhaka yang menentang perintah Bapa,” timpal Si Sulung dengan pandangan mata seperti mata ular pohon saat menatap Eva di Taman Firdaus.
Si Sulung mengatakan seperti itu semata-mata untuk mengambil hati bapanya. Padahal hatinya menginginkan adiknya pergi jauh, mati dilumat cacing gurun, dan tidak seorang pun menemukan tulang-belulangnya. Mimpinya cuma satu, menjadi pewaris satu-satunya rumah leluhur itu bila Bapanya nanti mangkat.
“Terimakasih Abang. Abang memang kakak yang baik hati. Tapi, aku tidak bisa mengingkari nuraniku. Aku harus mengembara. Aku ingin menemukan hidupku.”
“Bukankah hidupmu ada di rumah ini, anakku. Rumah ini adalah rumahmu. Rumah ini adalah hidupmu. Sebenarnya Bapa sangat kecewa. Tapi, apa boleh buat. Bapa tidak bisa melarangmu. Bapa hanya berdoa kamu cepat kembali ke rumah ini dengan selamat.”
“Terimakasih Bapa.”
Si Bungsu bergegas ke biliknya. Mengambil sepotong pakaian dan sekoci anggur tua. Ia memasukkannya ke dalam tas gendong terbuat dari serat jagung. Tidak lupa, ia memasukkan sebuah buku bersampul tebal. Pengarangnya anonim. Buku itu berangka 1818 sebagai tahun terbit. Diterbitkan di kota Trier, sebuah kota di tepian Barat Jerman. Judulnya “Jendela Jiwa.” Buku ini telah menggelorakan revolusi dalam jiwanya.
Pengarang buku itu telah menjungkirbalikkan kesadarannya. Kesadaran yang digenangi oleh kotbah-kotbah Bapa di rumah tua itu. Buku itu mengajarinya tentang mimpi-mimpi. Mimpi hanya bisa dicapai oleh si pemilik mimpinya. Semesta akan membantu merajut mimpi itu menjadi kenyataan. Di bab terakhir buku itu, dikatakan terbanglah bersamaku ke negeri yang baru, di sanalah kamu akan mewujudkan apa yang kamu mau.
Epilog buku itu seperti gong. Gong yang mencabik-cabik pemahaman lamanya. Tentang hidup yang sudah digariskan oleh tradisi, ditakdirkan oleh Dios, dan dicatat di dinding-dinding rumah tua itu. Buku itu mengajari manusia sendirilah yang berkuasa atas hidupnya sendiri.
Ia muak dengan kehidupan di rumah leluhur itu. Hidup yang sarat aturan, ritual kosong, dan kemunafikan. Di rumah itu, tidak ada kebebasan. Di rumah itu, anak-anak dipaksa taat pada aturan leluhur tanpa tahu maksud dan alasannya. Rumah itu telah merenggut hidupnya. Merampas mimpinya dan memasung jiwa bebasnya. Rumah itu juga telah membatasi pengetahuannya. Rumah itu telah membuatnya seperti budak-budak tradisi yang tidak pernah memiliki masa kini dan tidak pernah mengukir masa depan.
Buku itu ia terima dari seorang kesatria tanpa nama yang menunggangi kuda putih dengan meterai angka 1540 di pelananya. Ksatria inilah yang menyelendupkan buku-buku ke tangan Si Bungsu. Buku ini diselundupkan karena aturan rumah tua tidak membolehkan buku-buku asing masuk selain buku-buku kitab.
Ditemani seekor cerpelai putih berlurik coklat yang bertengger erat di pundaknya, Si Bungsu menghampiri bapanya. Bapanya sudah menyiapkan satu kantung dari kulit unta berisi kepingan uang logam sebagai bekal perjalanan. Si Bungsu menolakknya. Mendengar itu, Si Sulung dengan paras tamak segera meraih kantong harta itu dan menyampaikan niat palsunya untuk menyimpan uang itu. Dan pergilah Si Bungsu menuju gerbang.
“Kasihan orang-orang ini. Mereka lahir, hidup, dan dimakamkan di sini. Hidup mereka hanya sebatas rumah tua itu. Padahal, di luar sana, keajaiban-keajaiban akan berloncatan bak cipratan air hujan menghantam bebatuan. Sepanjang hidup, mereka hanya hidup dalam kesenyapan dan dengan jiwa-jiwa kosong,” katanya dalam hati saat kakinya melintasi lahan pekuburan milik rumah tua itu.
Tanpa lama, sosok Si Bungsu ditelan belukar di gundukan bukit. Buku itu telah berubah menjadi sayap dan menerbangkannya ke negeri baru. Mulai saat itu, rumah tua itu lengang dari kabar Si Bungsu. Hanya sepotong papan setengah dimakan ngengat dipasang di pintu biliknya dan bertuliskan: Anak Hilang!
Musim berganti musim. Bunga matahari tumbuh dan tumbang silih berganti. Bumi berputar ribuan kali pada porosnya. Duduklah seorang lelaki muda di sebuah sofa hijau di pinggir kolam kecil berisi ikan yang menari-nari berebut remah-remah roti. Di sampingnya, bertumpuk buku-buku hasil karyanya sendiri. Dialah Si Bungsu, seorang penulis terkenal dan terkaya di negeri itu.
Upaya gigih dan kerja keras di tanah rantau, tanpa seorang karib dan kerabat, menghasilkan buah-buah yang tak kalah manis dengan anggur, pir, dan apel di perkebunan Bapanya. Si Bungsu telah menemukan hidupnya. Hidup yang menyuguhkan berbagai kesempatan dan peluang. Tinggal memilih mau menjadi apa, semesta akan membantu mewujudkannya.
“Aku sudah menemukan hidupku di sini. Sekarang, aku menjadi seorang penulis kaya. Dikenal banyak orang. Aku memiliki rumah bagus dan seekor cerpelai yang setia. Aku hidup bersama istri dan anak-anak yang baik hati. Aku bersyukur atas segala keajaiban hidup ini. Aku jadi ingat akan bapaku, abangku, dan rumah tua itu. Aku ingin memastikan nasib mereka,” katanya dalam hati sambil tangannya mengelus cerpelainya yang berbaring manja di pangkuan.
Khawatir memikirkan nasib bapa dan abangnya, Si Bungsu pun memutuskan pulang kampung. Setelah mendaratkan kecupan manis di kening istri dan anak-anaknya, Si Bungsu pun pergi. Ia pergi dengan sebuah kereta kuda yang bermuatkan peti-peti berisi koin uang hasil jerih payahnya dan oleh-oleh pelepas rindu.
Sesampai di gundukan bukit, kira-kira seperlemparan batu dari rumah bapanya, Si Bungsu melihat dari kejahuan sosok bapa dan abangnya sedang duduk di depan teras. Ia melecut kudanya agar berlari lebih kencang lagi. Ia ingin segera melepas rindu, memeluk mereka, dan mewartakan kabar kegembiraan dari tanah rantau.
“Bapa, Bapa. Ini aku Bapa. Aku pulang. Aku telah menemukan Sorga. Aku telah menemukan hidupku, Bapa,” teriak Si Bungsu sambil berlari sembari merentangan kedua tangannya siap memeluk bapanya.
Sayangnya, baik bapa dan abangnya sama sekali bergeming. Tatapan bapa nanar menerawang kosong. Paras abangnya pun ikut menciut tanpa ekspresi. Di rumahnya, para karyawan dan kerabat lalu-lalang membawa alat kerja mereka tanpa gairah. Mereka seperti mayat-mayat hidup. Mahkluk tanpa jiwa. Anjing-anjing penjaga pun duduk lesu dengan air liur yang enggan menetes. Rumah tua itu masih bertengger angker. Tidak ada perubahan bentuk kecuali lumut menjalari rumah itu dan membuatnya semakin tua.
“Bapa, lihat. Putra Bapa sehat dan selamat. Di luar sana, aku telah melihat hidup. Aku ingin membawa bapa, abang, pergi ke negeri yang baru. Di sana, aku mampu melipatkan gandakan talenta yang aku punyai.”
Bapa memalingkan pandangannya perlahan ke wajah Si Bungsu. Menatapnya. Bola-bola bening menyembul di kedua sudut matanya. Lalu tergelincir pelan melalui lekukan keriput pipinya.
“Anakku, maafkan Bapa selama ini. Bapa telah bersalah. Bapa telah membunuh jiwa-jiwa anak-anak di sini. Bapa mengaku tidak pernah benar-benar hidup di rumah ini. Rumah ini telah menghisap jiwa-jiwa mereka. Bapa telah melakukan penyembahan yang keliru. Di sini, Bapa sepanjang hayat telah mengubur dalam-dalam talenta Bapa dan anak-anak di sini kedalam tanah. Bapa tidak mau pergi. Bapa ingin mati di sini bersama orang-orang di makam itu. Apalagi Bapa sudah tua dan pastilah sudah terlambat.”
“Bapa. Tidak ada kata terlambat Bapa. Hidup hanya dimiliki oleh orang yang tidak pernah bilang terlambat. Negeri baru itu terbuka untuk siapa saja. Di sana, ada banyak peluang dan kesempatan. Asalkan Bapa mau melupakan masa lalu dan berlari mengejar apa yang ada di depannya.”
“Baiklah Anakku.”
Bapa memeluk erat Si Bungsu. Mata keduanya becek oleh kristal cair. Lalu Bapa memalingkan muka kepada Si Sulung. Si Sulung memunggunginya lantas pergi. Ia memilih tinggal di rumah warisan itu. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Si Sulung untuk menguasai rumah warisan ini.
Keesokan harinya, pergilah Si Bungsu membawa Bapa dan sebagian penghuni rumah tua itu ke negeri baru. Sebagian penghuni memilih tetap tinggal bukan lantaran hidup bahagia, tetapi mereka takut menerima risiko di negeri yang baru. Mereka takut kena hukuman leluhur. Mereka takut dengan perubahan. Tradisi telah mengikat erat akal budi dan nurani mereka. Mereka senang menjalani kebiasaan adat rumah tua meski sebenarnya jiwa-jiwa mereka tertindas.
Di negeri baru, Bapa disambut dengan pesta besar. Kendi-kendi berisi anggur paling enak disuguhkan. Tari-tarian digelar. Seekor anak lembu tambun disembelih. Si Bungsu pun mengenakan jubah terbaik di tubuh Bapanya, cincin emas di jarinya, dan sepatu baru di kakinya.
“Bapa, mulai saat ini, Bapa telah menemukan hidup Bapa. Segala yang kupunya adalah Bapa punya. Seluruh negeri ini patut bersuka cita karena Bapa telah menemukan hidup Bapa. Hidup Bapa yang hilang telah Bapa dapatkan.”
Bola mata lelaki tua itu berkilat-kilat. Seolah bintang-bintang memancar terang dan pelangi melintas di atasnya. Semua orang di rumah itu melarut dalam kegembiraan lantaran karya-karya ajaib di negeri baru itu.
Sementara, di kejauhan sana, tepatnya di rumah tua, Si Sulung memimpin dengan tangan besi. Orang-orang di rumah tua semakin tertindas karena Si Sulung menyalahgunakan kekuasaan demi bisnis-bisnis kampungannya.
Sampai akhirnya, semua penghuni rumah tua itu mati dalam kesenyapan. Carut marutnya iklim telah melapukkan tiang-tiang rumah warisan itu. Lalu puting beliung mengamuk seperti diva kesurupan di atas pentas dan melumat habis rumah itu dengan tanah. Hanya sepotong papan setengah dimakan ngengat menyembul dari reruntuhan rumah itu dan bertuliskan: Gereja Hilang!
—-
*Cerpen ini dibuat pada tahun 2007. Dua tahun setelah Kardinal Joseph Alois Ratzinger terpilih sebagai paus dengan nama Benediktus XVI. Sempat diedarkan di beberapa milis. Cerpen ini pernah dituduh menyesatkan karena dianggap membalik cerita dalam Kitab Suci.
Wow. Luar biasa bagus. Original.