Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Maria, Sop Buntut, dan Gereja yang Durhaka Pada Ibunya

2 min read

Sumber: CNN

Hari ini adalah peringatan Santa Maria Diangkat Ke Surga. Terkait Maria, saya senang menceritakan pengalaman ini meski sudah berulang kali. Saya sekeluarga memiliki kaul khusus setiap tahun baru: bertandang ke Katedral Santa Perawan Maria di Bogor.

Kaul itu tidak tanpa alasan. Pada bulan ke-delapan menggandung anak kedua, istri saya merengek minta diajak jalan-jalan ke Bogor. Tujuannya cuma satu, yakni makan sup buntut Ma’emun, sop legendaris di Jalan Sudirman.

Pada 6 Desember 2015, kami berkereta dari Stasiun Juanda menuju Stasiun Bogor. Diawali dari Juanda biar kami dapat tempat duduk. Maklum, perut istri sudah cukup besar. Tiba di Bogor, kami naik dua becak menuju warung sop tersebut. Siang itu, mimpi istri saya kesampaian. Kami pun bergegas pulang karena misi sudah selesai.

Patung Maria bermantel biru di katedral Bogor. Foto: Sigit Kurniawan

Dalam perjalanan menuju stasiun, gerimis turun. Gerimis yang kemudian berubah menjadi hujan itu membelokkan langkah kami untuk berteduh di katedral Bogor. Sembari menunggu hujan reda, kami masuk katedral lewat pintu samping yang tidak terkunci. Kami berdoa di depan patung Bunda Maria. Sosok Maria tampil cantik dan anggun. Kepalanya berhiaskan mahkota dan tubuhnya dibalut mantel biru telur yang indah.

Kami memohon Maria menyertai proses persalinan dan kelahiran putri kami. Di pengujung doa, kami berjanji akan menamai anak kami Maria dan berdevosi padanya.

Doa kami terkabul. Pada 1 Januari 2016, putri kami lahir di RS Kedoya, Jakarta Barat. Bertepatan dengan perayaan Hari Santa Perawan Maria Bunda Allah. Dari kacamata iman, bagi kami, ini bukanlah kebetulan. Kami menamai putri kami Maria Lentera Sekarjati Nitisara. Pada Mei 2016, di Bulan Maria, Lentera dibaptis dengan nama Maria. Sosok Maria makin mendapat tempat di hati kami.

Sejak itu, kami menerima Maria dalam rumah kami. Saban tahun baru, kami menghadap Maria di Katedral Bogor. Untuk merayakan ulang tahun dan mengucap syukur atas penyertaan Maria. Januari tahun ini, kami sudah melakukannya. Belum tahu, lantaran pandemi corona ini, kami akan melakukannya tahun depan atau tidak.

Foto: Sigit Kurniawan, Januari 2020

Kami mencintai Maria karena dialah ibu. Bunda Maria menjadi ibu yang senantiasa mendengarkan, melindungi, mendoakan, menjaga, dan menolong anak-anaknya. Darinya kami mendapatkan rasa aman, ketulusan, dan damai. Persis ketika berada dalam pelukan maupun pangkuan ibu kita masing-masing. Ibu adalah sosok yang kita hormati dan muliakan. Anak yang tidak menghormati sosok ibunya adalah anak durhaka.

Namun, saya belum melihat sosok ibu di dalam wajah Gereja Katolik. Hierarki masih didominasi kaum laki-laki atau bapak-bapak — itu sudah berlangsung ribuan tahun. Pengelolaan gereja dominan bersumber dari kepala bapak-bapak ini.

Gereja yang disebut ibu menurut saya belum kelihatan. Hingga di era digital saat ini, hierarki tak ubahnya sebuah “persekongkolan” laki-laki atau yang didominasi laki-laki.

Lihat saja peristiwa belakangan. Mei lalu, di Bulan Maria, tiga puluh hari penuh digelar novena daring yang langsung dipimpin para uskup. Renungan dan kotbah keluar dari kepala laki-laki semua. Kamera pun menyorot sentral bapak-bapak uskup itu. Bila ada perempuan masuk kamera (suster, misalnya), mereka hanya duduk di samping, di bawah, sekadar memimpin lagu atau membaca doa, sementara uskupnya duduk bak seorang raja. Mereka mirip emban dan pemandu sorak saja. Padahal Gereja sedang merenungkan dan meninggikan sosok Maria, sosok perempuan dan sosok ibu.

Belum lagi dengan berita-berita di beberapa media nasional tentang kekerasan seksual yang dilakukan para klerus di Indonesia, membuat makin terang benderang bahwa sosok ibu dalam gereja masih samar. Peristiwa-peristiwa ini, sejak akhir tahun 2019, telah mengubah pandangan saya tentang Gereja dan hidup menggereja.

Sebagian umat pun terpapar mentalitas yang menjadi salah satu ciri klerikalisme itu. Banyak umat yang ujug-ujug menyalahkan korban, meminta bukti, dan menuduh dengan pencemaran nama baik gereja. Padahal, sumber kotoran itu adalah para klerus yang menjadi penjahat seksual. Mereka cenderung menyudutkan korban dan malah mengasihani pelaku. Bahkan, dengan bahasa manipulatif, mereka melakukan playing victim, seolah pelaku sebagai korbannya. Korban sebenarnya justru dikriminalisasi sebagai pihak penggoda.

Bahkan, terhadap para korban yang ketika dilecehkan masih berusia kanak-kanak. Nihil empati. Seolah-olah, mereka tak memiliki anak-anak atau sosok perempuan/ibu dalam keluarga mereka.

Sikap para klerus, tentu tidak semua, dalam merespons kejahatan-kejahatan seksual para pastor seperti diberitakan belakangan ini membuktikan dengan vulgar hal itu. Menyangkal, pura-pura tidak tahu, menyembunyikan, cenderung melakukan media blaming dan bahkan victim blaming, mendiamkan, melindungi pelaku, hingga membela diri dengan akrobat rasionalisasi dan pertunjukkan arogansi. Saya mencium adanya semacam konspirasi kebungkaman* yang berlangsung bertahun-tahun.

Saya memiliki harapan. Saya percaya Roh Kudus yang bekerja dengan cara kreatif, tak terduga, dan tak terbendung untuk memperbarui Gereja — tak bisa dibendung oleh imam, uskup, kardinal, hingga paus sekalipun. Khususnya, pembaruan Gereja terkait kejahatan seksual para klerusnya. Paus Fransiskus sudah menyerukan Vos Estis Lux Mundi, Kamu adalah Terang Dunia. Dalam terang, tidak akan ada lagi kebusukan yang bisa disembunyikan lagi di bawah karpet Gereja.

Saya percaya Gereja yang didirikan di atas “batu karang” ini tidak akan hancur dan bubar dengan dibongkarnya skandal-skandal di dalamnya. Akan hancurnya Gereja akibat dibongkarnya skandal-skandal ini sering dijadikan alasan manipulatif dari mereka yang tak ingin skandal klerus dibawa dalam terang. Mereka seperti tak percaya Roh Kudus yang senantiasa menjaga dan memperbarui gereja. Mereka justru melanggengkan duri-duri yang tertancap di tubuh Gereja dan berpotensi membusukkan dari dalam. Mereka yang antipati pada pembongkaran kasus ini justru sedang melawan pembaruan.

The Church asks that people not be silent since the greater scandal in this matter is that of cloaking the truth." (Pope Francis)

Saya menyambut baik bila kelak perempuan dan para ibu bisa menduduki posisi tinggi dan tertinggi dalam hierarki Gereja ini, sebagai imam, uskup, maupun paus.

Ibu mana yang tidak menangis dan marah melihat anak-anaknya menjadi korban. Anak-anak itu tak lain adalah mereka yang kehilangan masa depan dan terluka jiwanya akibat dilecehkan oleh klerus, mereka yang keluarganya porak-poranda karena istrinya ditiduri pastor, para perempuan yang terpaksa menjadi single mother, ataupun anak-anak yang dibesarkan tanpa bapak. Sementara mereka yang harusnya menjadi bapak anak-anak itu masih kluyuran dari altar ke altar sembari terus melakukan pembohongan publik. Mirisnya banyak yang tutup mulut di depan realitas ini. Sekali lagi, sebuah konspirasi kebungkaman?

Saya juga mendukung orang-orang, baik awam maupun imam (saya yakin masih banyak imam yang baik), yang progresif mengupayakan komunitas Gereja yang lebih sehat, transparan, lebih ramah anak dan perempuan, dan menyelamatkan. Termasuk terbuka pada kemungkinan apabila kelak kita tidak membutuhkan hierarki atau klerus sama sekali.

Dan, khusus hari ini pada peringatan Santa Maria Diangkat ke Surga, bagi para uskup dan pastor yang berbuih-buih memuji sosok Maria dalam kotbahnya namun masih bertoleransi dengan kejahatan seksual yang dilakukan oleh klerus dan menutup mata pada para korban entah itu anak-anak, laki-laki atau perempuan, hanya satu kata buat kalian: bullshit!**

Kebon Jeruk, 16 Agustus 2020

______
*Frasa “konspirasi kebungkaman” terinspirasi dari sebuah webinar berjudul Gereja Katolik dan Konspirasi Kebungkaman, 16 Agustus 2020 bersama Rm. Mutiara Andalas SJ. Diskusi bisa dilihat di sini.


**Kata “bullshit” saya pinjam dari kutipan korban seperti pada pemberitaan
Tirto berjudul Penyangkalan Kekerasan Seksual di Balik Tembok Tebal Gereja Katolik. Bisa dibaca di sini.

*Refleksi pribadi ini telah mengalami sedikit penyuntingan demi konteks yang lebih mudah dipahami

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

2 Replies to “Maria, Sop Buntut, dan Gereja yang Durhaka Pada Ibunya”

  1. Bagus… Gereja perlu bergeser dr sikap mengunggulkan pria. Menyadari ada masalah ini saja sudah bagus.

  2. Orang katolik sering terpukau, dan terbuai akan gereja yang kudus.; Namun lupa bertanya kapan gereja dikatakan Kudus. Jika kehidupan beragama mengabaikan kebenaran dan menutup diri dari gemulainya keadilan maka jangan berhayal akan kekudusan didalamnya. Bukankah gereja menyempurnakan? Harusnya dalam semangat kebenaran dan keadilan bukan pembenaran dan ketidak Adilan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *