Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Rosario di Tangan Ibu

1 min read

Satu warisan berharga dari mendiang ibu adalah rosario. Tepatnya adalah teladan berosario. Semasa hidupnya, ibu saya rajin mendaraskan doa ini. Biasanya pada malam hari, entah dilakukan bersama umat lingkungan saban Mei dan Oktober atau sendirian sebelum tidur di hari-hari biasa. 

Ibu sangat mencintai Maria dan rosario menjadi bukti kedekatannya dengan Bunda Tuhan ini. Rosario menjadi teman hidupnya, terutama saat ia harus menjalani masa-masa sulit dan derita. Kedekatan ibu dengan Maria pernah saya tuliskan dalam kisah Maria Tanpa Kaki.

Di masa-masa terakhir sebelum wafat, ibu sering berpesan pada anak-anaknya dan pesan ibu ini kami simpan baik-baik.

“Kelak kalau ibu meninggal, ibu cuma minta didoakan rosario setiap hari selama empat puluh hari tanpa putus.”

Pada medio Januari 2015, siang hari dan setelah mengalami sakit beberapa hari, ibu mengembuskan napas terakhirnya. Kami anak-anaknya melunasi permintaan ibu dengan rosario saban hari selama empat puluh hari.

Sejak ditinggal ibu, kesehatan bapak menurun. Ia pun sering keluar masuk rumah sakit. Bapak berpesan: bila wafat, bapak minta didoakan rosario seperti ibu setiap hari selama empat puluh hari. Bahkan, bapak wanti-wanti agar dikubur di samping ibu, dengan peti warna putih seperti peti ibu, dan mengundang semua orang yang hadir di pemakaman ibu.

Pada Juli 2015, bapak wafat di pagi hari di rumah Jogja. Dalam duka yang belum hilang, kami anak-anaknya melunasi semua permintaan bapak tersebut.

Tiga minggu lalu, saya bertandang ke rumah kakak perempuan di Kebon Jeruk. Duo Nitisara, dua krucil saya, ngajak bermain bareng dua anjing milik kakak — Jolly dan Wilow. Saat mereka bermain dengan anjing-anjing kecil itu, kakak membuka percakapan soal kematian. Percakapan ini muncul karena belakangan beberapa teman dan kerabat meninggal karena terpapar COVID-19.

“Kita tak tak tahu pasti apakah kita sudah tertular atau tidak. Yang jelas, nek suk aku mati, pesenku mung siji: tulung dongake rosario selama empat puluh hari seperti ibu dan bapak dulu,” ujar kakak.

“Wah, sing penting optimis wae. Tetap sehat dan jaga protokol agar terhindar dari corona. Ning, ya, kalau aku yang kena duluan, aku juga minta didoakan rosario setiap hari selama empat puluh hari,” timpal saya.

“Kalau saya mati karena corona, terserah saja mau dimakamkan di mana. Sing penting doa rosarionya. Nanti, bila kondisi sudah memungkinkan, tulung makam dipindah di samping makam bapak ibu.”

Yo, podho.”

Sore itu, kami berdua sepakat untuk mendoakan rosario bila salah satu di antara kami menyusul bapak ibu lebih dulu. Yang jelas, ibu kami mengajari rosario yang amat berharga. Dari sanalah, kami belajar tentang beriman. Dari sana pula, kami belajar tentang pengharapan.

Dan, di bulan Oktober ini, kami sekeluarga berkomitmen meluangkan waktu untuk rosario setiap hari. Dalam rosario, kami sematkan harapan agar kami tetap sehat dan selamat. Kami yakin, menurut pengalaman yang sudah-sudah, Maria tak pernah mengecewakan.

Kebon Jeruk, 6 Oktober 2020

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *