Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Kacamata Plus

1 min read

Sumber ilustrasi: www.unplush.com

Siang tadi adalah penanda babak baru sejarah perkacamataan saya. Saya harus legowo menerima kenyataan bahwa mata saya sudah plus.

Faktor usia? Mungkin. Konon kata dokter, orang yang sudah berusia empat puluh tahun ke atas akan autoplus. Dan, setiap dua tahun di atas umur itu, plusnya akan bertambah.

Gejala mata plus ini sudah terasa setahun belakangan. Setiap baca henpon atau buku dalam jarak dekat, saya harus melepas kacamata minus saya. Itu pun sering saya lakukan tanpa sadar.

Si Tukang Kacamata menyarankan saya mengenakan lensa progresif. Maksudnya bukan orang yang memakai lensa ini otomatis memiliki pandangan progresif dan kemudian ikut menentang omnibus law yang amburadul itu. Lensa progresif merupakan peleburan lensa plus dan minus.

Konon, orang berkacamata itu tanda pintar. Saya sudah termakan asumsi ini sejak masih di bangku sekolah dasar. Simbolisasi orang pintar itu adalah memakai kacamata.

Propaganda orang pintar, kalau ini mau disebut propaganda, gencar dilakukan melalui tayangan televisi kala itu.

Pada tahun 1985, misalnya, ada sinetron kondang yang selalu saya nantikan, yakni Rumah Masa Depan. Serial keluarga ini tayang saban minggu siang. Dibintangi oleh Dedy Sutomo, Wolly Sutinah, Mieke Wijaya, Septian Dwicahyo, dan Andi Ansi. Bila kenal dengan nama-nama ini, mungkin Anda seumuran dengan saya atau malah lebih tua, dan segera periksakan mata ke klinik kacamata terdekat.

Salah satu karakter idola dan masih nancep di ingatan hingga hari ini adalah Sangaji. Ia digambarkan sebagai anak muda bertubuh kerempeng, kutu buku, ramah, suka menolong, dan tentu berkacamata tebal.Sebagai anak yatim, ia ikut membanting tulang dengan berjualan buku di pasar.

Kegemarannya membaca buku membuatnya dijuluki sebagai kamus berjalan. Sosok imajiner tersebut telah menyihir alam bawah sadar saya. Saya menjadi lebih termotivasi belajar, rajin membaca buku, dan berharap penglihatan mulai kabur dan kemudian memakai kacamata seperti Sangaji. Biar dianggap pintar.

Saya pertama kali memakai kacamata enam tahun sebelum Soeharto tumbang. Tepatnya pada tahun 1992 saat saya mengenyam tahun pertama pendidikan di sebuah SMA di Magelang.

Pada tahun-tahun selanjutnya, saya sudah beberapa kali ganti kacamata. Entah karena minusnya bertambah, lensanya pecah, atau kerangkanya patah. Kacamata-kacamata ini menjadi saksi bisu atas peristiwa-peristiwa yang saya lihat.

Dan, hari ini adalah babak baru perkacamataan saya. Mata saya plus dan saya sadar saya sudah menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang sedang membaca status saya ini: wis tuwek.

— Kota Kasablanka, 16 Oktober 2020

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *