Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Kopi dan Suster Biarawati Lompat Jendela

1 min read

Kemarin tukang antar paket mengantarkan bungkusan ke rumah. Isinya satu bungkus kopi dan tiga batang cokelat. Paket ini dikirim oleh kakak ipar yang tinggal di Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Kopi dan cokelat tersebut dilabeli dengan merek Trappist dan diproduksi oleh biarawan pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Jawa Tengah. Biara Trapis yang terletak 17 kilometer dari Kota Temanggung ini didirikan pada tahun 1953. Ini merupakan cabang dari biara Koningshoeven di Tilburg, Belanda.

Sekitar dua dekade lalu, saya pernah menginap semalam di salah satu kamar pertapaan itu. Selain keheningan, kue keju, susu murni, babi-babi maupun sapi-sapi, ada satu lagi pengalaman yang susah dilupakan di kompleks seluas 178 hektare itu. Saya ngonangi atau melihat tak sengaja seorang suster biarawati meloncati jendela kamarnya. Pagi-pagi sekali. Bukan mau bunuh diri, melainkan menuju taman di samping kamar untuk menjemur seperangkat pakaiannya, luar dalam. Suasana retret saya sontak terganggu, lebih pasnya terguncang.

Saya menyukai kopi meski tidak sampai maniak seperti beberapa kawan kantor. Mereka senang membincangkan seluk beluk kopi seperti pakar kopi saja. Pengetahuan mereka tentang kopi pun komplit. Dari arabika, robusta, hingga liberika. Bak barista profesional, mereka suka pamer cara meracik kopi. Tak boleh sembarang. Semua serba diperhitungkan dan tentu penuh seni — dari cara menggiling dengan perangkat manual, menata kertas penyaring, menuangkan air panas, hingga cara menyuruputnya. Sekali mlengse, rasa kopi akan buyar. Kata mereka demikian.

Kecerdasan saya minum kopi pas-pasan saja. Bila diajak minum kopi Starbucks saja, saya mikir panjang, meski saya tak mampu menolaknya. Kenapa? Perut saya pasti mules dan membuat saya buru-buru mencari toilet. Namun, itu berlaku untuk menu kopi tertentu.

Karena pengaruh lingkungan pergaulan, saya kepincut untuk mencintai kopi. Sebuah grinder kopi manual saya beli dari toko onlen. Berburu juga tisu penyaring sekaligus torong alias coffee dripper di Miniso, toko asal Jepang, yang harganya miring. Tak lupa beli kopi yang masih bentuk biji-bijian.

Lalu mempraktikkan cara yang dipamerkan teman-teman saya. Biji-biji kopi dimasukkan dalam grinder manual. Terus dionthel muter-muter. Setelah menjadi serbuk kemudian ditaruh di tisu penyaring, dituangi air panas dari teko kecil, air panas kemudian netes perlahan ke dalam gelas, dan setelah tandas, kemudian diseruput. Ritual minum kopi dengan cara ini berlangsung cuma sementara. Alasannya, “Ngopi wae ribet pol, tur suwi, ngopi saja prosesnya ribet, plus lama.”

Meski tak mau repot ngonthel pakai grinder, saya masih belum patah arang untuk bisa mencintai kopi. Saya membeli satu unit coffee maker listrik. Kopi dan airnya tinggal dituang, saklar dinyalakan, tak sampai lima menit, kopi pun siap santap, tanpa olahraga tangan. Eksplorasi beragam jenis kopi pun saya lakukan, dari Aceh Gayo, Kintamani, Toraja, Robusta Temanggung, hingga Bajawa Flores.

Ini pun berlangsung tak rutin alias angot-angotan. Mesin kopi itu sekarang lebih banyak nganggurnya. Saya lebih memilih cara cepat. Memanaskan air dan menuangkannya dalam kopi. Di kantor, saya lebih banyak minum kopi subsidi atau kopi sejuta umat dalam sachet bergambar kapal laut.

Meskipun belum mampu mencintainya dengan sempurna, kopi telah mewarnai hidup saya, tulisan-tulisan saya, dan angan-angan saya. Saya mau menjadi diri saya sendiri.

Tak perlu menjadi Beethoven, Soren Kierkegaard, maupun Voltaire yang mengonsumsi puluhan cangkir kopi dalam sehari. Saya hanya ingin seperti Sapardi: aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Demikian juga saya ingin mencintai kopi dengan sederhana alias tanpa ribet.

Pagi ini, secangkir kopi dari pertapaan Rawaseneng itu sudah menemani saya mengedit tulisan. Dan, kopi yang satu ini telah membuka mata saya bahwa ada yang lebih susah ketimbang mencintai kopi, yakni melupakan pengalaman melihat seorang suster biarawati melompati jendela kamarnya menuju taman, menjemur seperangkat pakaiannya luar dalam, dan membuyarkan suasana retret saya.

Kebon Jeruk, 28 Oktober 2020

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *