Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Siang Itu Hujan Turun Deras Sekali

2 min read

Kenangan akan almarhum bapak ibu memang tak ada habisnya. Bermunculan setiap saat dalam ingatan. Salah satunya dalam peristiwa-peristiwa di saat hujan turun deras sekali.

Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis Jerman, pernah bilang, jika badai menimpa pondok itu dan salju turun, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat. Salju tak turun di sini, melainkan hujan. Saya tak sedang berfilsafat, saya cuma mau menghadirkan kembali kenangan-kenangan itu bersama hujan bulan Oktober yang masih angot-angotan.

Pengalaman akan hujan deras sekali yang pertama adalah saat saya mbonceng di Vespa bapak saya siang hari. Saat kejadian itu, saya masih kinyis-kinyis sebagai siswa berseragam biru putih. Saya sekolah di SMP Negeri 5 Yogyakarta, terkenal sebagai sekolah favorit. Banyak orangtua bermimpi bisa menyekolahkan anaknya ke sana kala itu. Saya belajar di sana dari tahun 1989 hingga 1992.

Beruntung saya bisa belajar di sekolah dekat Stadion Kridosono itu. Sebagai bocah ndeso van mBantul, sekolah di tengah kota merupakan sebuah kemewahan. Apalagi dengan label sekolah favorit, bukannya mau sombong, minimal orang akan menganggap kepintaran saya patut diperhitungkan.

Hubungannya dengan vespa? Bapak saya seorang tentara. Dia tentara yang mengurusi kesehatan. Kantornya persis di belakang sekolah saya, yakni Dinas Kesehatan Tentara (DKT). Sebab itu, saya berangkat dan pulang sekolah selalu nebeng vespa warna perak milik bapak.

Suatu siang, saat dalam perjalanan menuju rumah, hujan turun deras sekali. Butiran airnya gede-gede. Saya pikir hujan benar-benar ngamuk saat itu. Belum kilat yang disertai geluduk yang memekakan telinga. Itu berlangsung lama. Saya takut disambar petir.

Di balik mantel hujan jenis ponco bermotif loreng khas tentara, saya ketakutan. Saya memeluk erat bapak. Setiap kilat menyambar dan geluduk pecah, pelukan saya semakin erat. Saat itu, saya merasa benar-benar memiliki bapak sepenuh-penuhnya.

Sepanjang ruas jalan Malioboro, Ahmad Dahlan, hingga Padokan, terasa seperti kota yang dihujani bom kala perang. Setiap dentuman pecah di langit, hati saya menciut, dan kemudian mempererat pelukan ke bapak.

Mundur ke belakang, pada usia awal sekolah dasar, pengalaman serupa terjadi. Tidak terjadi pada siang hari, melainkan malam hari saat hujan deras sekali berserta petir menghajar rumah kami yang gelap karena belum dialiri listrik.

Desa saya, Sembungan, berada di Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Saya beruntung pernah mengalami masa tanpa listrik, meski cuma sementara. Penerangan saat itu berupa lampu teplok berbahan bakar minyak tanah atau lampu petromak berbahan bakar spiritus.

Bapak saya (tengah). Dokumentasi pribadi.

Suasana desa tempo dulu sangat sempurna. Setiap malam ditingkahi suara manuk guwek, suara kentongan dipukul dari kejauhan, atau kunang-kunang yang melintas di teras rumah. Nonton televisi pun masih mengandalkan aki. Seminggu sekali wajib disetrum agar bisa nonton ketoprak saban malam minggu. Baru pada tahun 1983/1984, Sembungan dialiri listrik.

Saat tidur, biasanya bapak menemani di sebuah bilik sampai saya tertidur. Pas hujan tengah malam, cahaya langit terang melintas cepat di genting kaca di atas bilik, membuat bilik terang sepintas, lalu suara geledek pecah, dan saya langsung memeluk erat bapak. Setiap dentuman pecah di langit, hati saya menciut, dan kemudian mempererat pelukan ke bapak. Saat itu, saya merasa benar-benar memiliki bapak sepenuh-penuhnya.

Pengalaman ketiga tentang hujan deras sekali terjadi Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Saat itu saya sengaja masuk siang. Di depan kawasan Gedung DPR/MPR, hujan turun deras sekali. Saking derasnya, lantaran saya tak bawa mantel, dengan gegas saya meminggirkan sepeda motor, kemudian mencari pohon untuk berteduh, dan halte masih lumayan jauh.

Siang itu, Senin, 12 Januari 2015. Saya menggigil sekali. Perasaan saya saat itu cukup kacau balau tak seperti biasa. Air hujan perlahan meresap ke jaket. Tas saya bekap erat-erat seperti saat saya membekap erat bapak kala itu. Malamnya, badan saya masuk angin dan linu-linu. Saya minta kerokan ke istri saya. Perasaan aneh mendadak muncul lagi: saya kangen simbok atau ibu saya. Malam itu, saya tidur dengan sedikit tak tenang dan bermimpi ketemu ibu dalam sebuah hajatan. Ramai sekali dengan orang-orang.

Siang hari di hari berikutnya, 13 Januari 2015, saya ditelepon oleh om saya. Ia mengabarkan bahwa ibu saya baru saja meninggal. Dengan perasaan campur aduk tak percaya, saya memberesi meja kerja, mengambil sepeda motor, menutup helm, kemudian menangis di sepanjang jalan.

Tulisan ini saya buat dalam rangka mengabadikan kenangan-kenangan bersama bapak ibu, khususnya menjelang peringatan arwah semua orang beriman pada 2 November mendatang. Doa dan rosario untuk mereka senantiasa. Saya percaya mereka sudah bahagia di sana.

Sementara, hujan masih angot-angotan turun. Kadang cuma rintik-rintik, kadang sebentar saja, namun kadang turun deras sekali dan lama.

Kebon Jeruk, 30 Oktober 2020

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Dunia Helena

Sigit Kurniawan
3 min read

Musik Yus Menembus Langit Paradiso

“Bro, apa kabar? Senantiasa sehat ya. Wis beres gendheng omahmu?” Itulah nukilan pesan dari Yulius Panon Pratomo (Yus) pada saya di WhatsApp pada 15 Oktober 2020....
Sigit Kurniawan
6 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *