Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Menunggu Stevanus Pulang

4 min read

Perempuan itu sedang menyirami tanaman bunga. Bunga-bunga yang tertanam rapi dalam pot-pot yang tertata rapi di gang samping persis rumahnya. Siang itu, Kamis, 10 Mei 2018. Perempuan itu penuh uban di kepalanya. Ia mengenakan kaos hitam bertuliskan “Paguyuban Korban & Keluarga Korban Tragedi 14 Mei 1998.” Tanpa lama, saya dan anak saya, Jagad Cleva Nitisara, dipersilakan masuk. Ia menerima kami dengan penuh keramahan. Saat itu, ia ditemani oleh seorang anak perempuan yang masih remaja. 

Saya menemuinya untuk sepotong wawancara. Wawancara tentang Tragedi Mei 1998 yang telah merenggut nyawa anak laki-lakinya. Sengaja saya mengajak anak saya agar dia sendiri memiliki pengalaman mendengarkan secara langsung korban yang bercerita tentang masa kelam negeri ini. Tentu, biar dia juga ikut membantu memasang perangkat kamera video. Perempuan itu bernama Maria Sanu. Saat Tragedi Mei 1998 pecah, perempuan ini kehilangan putra kesayangannya. Namanya Stevanus Sanu. Saat itu, usianya 16 tahun. Stevanus menjadi salah satu korban yang dibakar hidup-hidup dalam Jogja Plaza di Klender – saat ini bernama Mal Citra Klender di Jakarta Timur. 

Stevanus, demikian Maria Sanu mulai bercerita, pada siang hari menonton televisi bersama kakak-kakaknya. Saat itu, Kamis, 14 Mei 1998. Lalu, Stevanus diminta mencuci bajunya yang sudah direndam sejak pagi. Takut cucian itu menguarkan bau busuk. Sesudah mencuci dan menjemur, Stevanus pamit main bola bareng teman-temannya di pelataran masjid. 

“Setelah pukul dua siang, kok Stevanus tidak pulang ke rumah. Saya tanya kepada teman-temannya. Salah satunya, Dede. Katanya Stevanus pergi ke Jogja Plaza Klender untuk melihat tawuran. Dengar kata tawuran, saya menjadi takut,” ujar Maria Sanu.

Karena mengira tawuran berlangsung lama, Maria sanu beranjak menuju pasar untuk membeli obat karena adik Stevanus saat itu sedang sakit. Di tengah perjalanan, Maria bertemu dengan seorang temannya. Temannya ini mengingatkan agar jangan keluar rumah dan ke pasar karena sedang ada penjarahan. Karena penasaran, Maria justru mendekat tempat kejadian. Ia melihat situasi siang itu sudah kacau. Ada bakar-bakaran. Banyak orang menggotong barang-barang dari toko, seperti televisi, kulkas, dan lainnya. Karena situasi makin tak aman, Maria takut dan pulang ke rumah.

Maria Sanu dan saya di rumahnya.

Kamis sore, karena Mei merupakan bulan Maria, Maria ikut ibadah rosario di lingkungannya. Sementara, Stevanus tak kunjung tiba di rumah. Di tengah perjalanan menuju tempat doa rosario, Maria merasa was-was akan keberadaan Stevanus. Dalam hati, Maria terus berdoa memohon keselamatan Stevanus.

“Di tempat doa, ada teman yang menceritakan kalau anaknya diturunkan dari angkot sampai di Cipinang dan tak sampai ke Perumnas karena ada tawuran. Lalu, ada teman yang bekerja di RS Carolus bercerita dia harus berjalan kaki menuju Perumnas Klender karena tidak ada angkot. Saya juga cerita kalau Stevanus sampai malam itu belum pulang. Saat itu, saya masih mencoba menenangkan diri,” ujar Maria.

Selesai doa rosario, Maria Sanu pulang ke rumah. Di rumah, ia menyetel televisi. Ia makin was-was ketika televisi menyiarkan pembakaran dan penjarahan toko-toko. Termasuk Jogja Plaza tempat yang katanya Stevanus ada di sana. Siaran berita pun menyiarkan korban-korban terbakar. Sampai keesokan harinya, televisi masih terus menayangkan peristiwa serupa. Ia makin takut karena Stevanus juga belum pulang.

“Sampai hari Sabtunya, Stevanus belum kembali. Keluarga besar saya menelepon. Memastikan keluarga aman. Saya bilang, semua anak-anak ada di rumah kecuali Stevanus. Saya takut. Jangan-jangan Stevanus ikut menjadi korban yang terbakar di Jogja Plaza Klender itu. Saya menangis,” kata Maria.

Di media, jumlah korban yang dibakar di mal tersebut mencapai 400 orang. Hampir semua jenazah tidak bisa dikenali. Semua hitam dan hangus. Memastikan nasib Stevanus, warga lingkungan melapor ke Polsek Duren Sawit. Hari itu hari ketiga pasca pembakaran. Polisi menyarakankan keluarga korban memeriksa di RS Cipto Mangunkusumo di Salemba. Di sana, banyak jenazah yang disemayamkan. 

“Polisi menyarankan agar jangan saya yang berangkat ke rumah sakit. Apalagi saya sendirian karena suami saya sudah lama meninggal. Akhirnya, anak saya dan ketua lingkungan yang pergi ke sana,” ujarnya sembari matanya berkaca-kaca. 

Upaya anaknya dan ketua lingkungan di rumah sakit Cipto nihil. Mereka sama sekali tidak bisa mengenali jenazah-jenazah itu. Termasuk ciri-ciri Stevanus. Sesampai di rumah, ketua lingkungan hanya bisa mendorong Maria Sanu untuk pasrah dan terus berdoa untuk Stevanus. 

“Pada hari Minggu, saya hanya bisa berdoa. Ya, Tuhan, kalau anak saya takut pulang, mohon diberikan jalan pulang. Kalau anak saya menjadi salah satu yang dibakar, ampunilah dosa-dosanya,” ujar Maria Sanu terisak.

Pada Seninnya, diadakan pemakaman massal di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Maria Sanu memilih di rumah. Ia terus beroda rosario. Memohon Bunda Maria untuk keselematan Stevanus. Ia pun tak kuasa menahan gelembung cair pecah di kedua sudut matanya. Sesekali, ia memantau situasi melalui siaran berita di televisi. 

“Sebagai orang Katolik, saya hanya bisa pasrah dan memohon kekuatan dari Tuhan. Di hari pemakaman massal itu, saya tidak kuat melihat di televisi banyak peti dimakamkan di Pondok Rangon. Jangan-jangan Stevanus ada di antara peti-peti itu.”

Maria Sanu terisak. Saya bergeming diam sembari terus mendengarkan dengan seksama. Anak saya masih tenang duduk di balik kamera video. “Sudah 20 tahun sejak tragedi Mei 1998  dan Reformasi terjadi. Sudah sebelas tahun, saya mengikuti Aksi Kamisan di depan istana. Meski hujan dan kepanasan, saya akan tetap berdiri di sini bersama para keluarga korban sampai kasus anak saya diusut dengan tuntas oleh pemerintah, siapa dalang kerusuhan. Itu harapan saya,” ujar Maria Sanu. 

Maria Sanu dan anak saya, Jagad Cleva.

Beberapa kerabat mengingatkan dirinya agar menerima kenyataan itu dengan tulus. Kata mereka, sebagai orang Katolik, tak perlu menyimpan dendam. Lebih baik memaafkan para pelaku kerusuhan tersebut. Tapi, Maria Sanu mau jujur dengan nuraninya. 

“Saya memang orang Katolik. Tapi, saya ini bukanlah seorang nabi, bukan Bunda Maria, dan bukan Tuhan. Saya sakit hati karena anak saya dibakar hidup-hidup dan dihilangkan nyawanya dengan cara seperti itu. Artinya, meninggalnya tidak wajar. Saya tidak terima sebagai manusia, yang memaafkan dan mengampuni hanya di mulut. Tetapi, di hati saya ini, terasa sakit sekali. Berat untuk menerimanya,” ujar Maria Sanu.

Ia berdoa agar mereka yang bersalah supaya diberikan jalan untuk terbuka mengakui kesalahannya.

“Dan, pemerintah harus bertanggung jawab. Jangan sampai anak ibu dicap sebagai penjarah. Saya sebagai ibu tidak terima anak saya dicap sebagai penjarah. Itu perbuatan yang biadab. Tidak berperikemanusiaan. Salah anak saya itu apa sehingga dihilangkan begitu saja? Meninggalnya tidak wajar. Ibu yang mengandung, melahirkan, merawat, mendidik sampai besar, lalu orang lain membakarnya semena-mena. Mereka tidak merasakan betapa sakit hatinya seorang ibu,” ujar Maria kembali terisak. 

Sampai hari ini, Maria Sanu mengaku merasa trauma dan takut setiap kali melewati jalan depan mal Citra Klender. Setiap Mei setelah kejadian hingga sekarang, bersama para korban Tragedi Mei, Maria Sanu tekun mengikuti doa bersama untuk para korban, dilanjutkan dengan tabur bunga di makam korban Tragedi Mei di Pondok Rangon. Makam-makam ini berada dalam satu kompleks. Tanpa nama di batu nisannya. 

Sempai sekarang, Maria Sanu masih tetap tegar dalam memperjuangkan keadilan bagi Stevanus. Bersama Maria Sumarsih, ibunda Wawan yang menjadi korban dalam tragedi Semanggi I, dan para keluarga korban lainnya, Maria Sanu setia berdiri di depan istana setiap Kamis dengan berpayung hitam. Ia tidak mau tragedi kemanusiaan ini dipetieskan. Ia juga tidak mau para korban dan keluarga korban diperlakukan seperti bola pingpong alias di lempar kesana kemari tanpa kejelasan. 

“Saya dan bersama para keluarga korban lainnya sangat berharap pada pemerintah sekarang, Pak Jokowi, mau memperhatikan keluarga korban. Agar persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu cepat diselesaikan. Tengoklah keluarga korban ini dengan segala kondisinya sekarang ini. Lalu pelakunya ditangkap dan diusut sampai selesai kasusnya agar keluarga korban tenang,” ujar Maria Sanu.

Mengisi masa tua dan masa penantian kepulangan Stevanus, Maria Sanu bercocok tanam. Ia memelihara aneka tanaman hias dan bunga di sekitar rumahnya. Selain itu, ia juga aktif dalam kegiatan gereja, komunitas meditasi, dan kegiatan dari paguyuban keluarga korban. 

“Kalau dendam, saya tidak merasa demikian. Tapi, rasa sakit hati ini masih ada. Hanya pelakunya belum ditangkap. Apalagi kesannya, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Seperti Pak Wiranto yang naik menjadi Menkopolhukam. Dia kan mempunyai kasus 1998. Dia tuding-tudingan dengan Prabowo. Cuci tangan. Seharusnya tidak begitu. Dia pandang keluarga korban saat peristiwa itu dia ada di mana. Pokoknya keluarga korban tidak puas kalau Pak Wiranto naik menjadi Menkopolhukam. Apalagi Prabowo saat ini juga mencalonkan diri (jadi presiden – red). Keluarga korban tidak ada yang setuju. Mendingan golput saja sekalian,” ujar Maria Sanu. 

Usai dari rumah Maria Sanu, saya mengajak Jagad pergi ke Mal Citra Klender. Saya dan Jagad berdiri di atas jembatan penyeberangan depan mal tersebut. Sembari mengulang singkat kisah Maria Sanu tentang Stevanus dan mal tersebut. Semoga pengalaman mendengarkan korban ini merasuk dalam pemahaman Jagad. Mungkin bukan sekarang, tapi kelak. 

Maria Sanu kini masih menunggu Stevanus pulang. Ia masih tekun berdoa rosario. Ia juga masih berdiri tegap di depan istana. Berpayung hitam. Menunggu keadilan. Sampai kapan? 

Jakarta, September 2018. 

*Dimuat di buku Perempuan yang Pergi Pagi-pagi (2018).

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *