Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Jurnalisme Sol Sepatu

4 min read

Pesan Paus Fransiskus di Hari Komunikasi Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah” sangat menarik. Selain menarik, pesan tersebut juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti saya. Datang dan melihat sendiri peristiwa menjadi pesan utama. Ini bukan barang baru di dunia jurnalisme. Pesan Paus ini tak ubahnya seperti lonceng pengingat bahwa esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.

Ada satu kutipan menohok di pesan yang dirilis pada 21 Januari 2021 saat Vigili Santo Frans de Sales ini. Paus asal Argentina ini menulis, krisis industri penerbitan berisiko mengarahkan pemberitaan yang hanya dirancang di ruang redaksi, di depan komputer, di pusat-pusat berita, di jejaring sosial, tanpa pernah keluar ke jalan. Tanpa “menghabiskan sol sepatu” (turun ke jalan), tanpa ketemu orang untuk mencari cerita atau memverifikasi situasi tertentu dengan mata kepala sendiri.

Frasa sol sepatu memikat saya. Saya memakainya untuk membuat judul tulisan ini — jurnalisme sol sepatu. Mungkin penamaan ini kurang pas. Andaikan kurang pas, abaikan dulu saja. Intinya, saya mau mengajak Anda untuk mengambil pesan utamanya: datang dan melihat.

Saya teringat pengalaman pada tahun 2006. Saat itu, saya bekerja di sebuah tabloid yang mengangkat kasus-kasus korupsi. Di kantor redaksi yang berada di kawasan Mampang, managing editor saya naik pitam. Alasannya sepele tapi fundamental. Ia mendapati wartawannya, termasuk saya, masih berada di kantor.

“Bagaimana mau dapat berita kalau kalian duduk di kantor saja. Cuma telepon sana-sini. Kalian itu bukan wartawan kabel.”

Demikian sang managing editor itu murka. Dalam diam kami bubar teratur, memberesi perlengkapan liputan, dan pergi. Saya masih ingat, saat itu bareng seorang kawan, kami meluncur ke Gedung Bundar, nama populer gedung kejaksaan saat itu.

Pesan Paus ini mengingatkan saya pada dua sosok, yakni Sindhunata dan Stephen Glass. Sindhunata adalah seorang penulis, budayawan, dan filsuf. Saat bekerja di Harian Kompas, sosok pastor Jesuit ini dikenal dengan tulisan-tulisan featurenya yang menyentuh. Tulisan-tulisannya mengusung pesan kemanusiaan atau humanisme.

Penulis novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Putri Cina ini pernah mengatakan, pekerjaan pertama seorang wartawan adalah pekerjaan kaki. Baru kemudian pekerjaan tangan atau tulis menulis. Artinya, pekerjaan wartawan pertama-tama adalah berada di lapangan, mengamati detail peristiwa, menjumpai sosok-sosok, hingga menemukan rasa dari peristiwa itu.

Apa yang dihayati Sindhunata ini sangat pas dengan pesan Paus Fransiskus. Dalam bukunya berjudul “Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas” (2019), ia menulis bahwa hidup wartawan bukanlah di kantor, tapi di jalanan. Kalimat Sindhunata ini sama pesannya dengan managing editor saya yang naik pitam gara-gara kami lebih suka di kantor ketimbang di lapangan: menohok.

Foto: Sigit Kurniawan

Dalam buku tersebut, Sindhunata mengisahkan dirinya dapat pelajaran berharga dari Kartono, wartawan foto yang hampir selalu bersamanya. Dari Kartono, ia belajar bahwa jujur terhadap fakta sebenarnya merupakan moralitas jurnalistik. Disiplin verifikasi fakta dan mengemas dengan sentuhan humanisme membuat tulisan-tulisan Sindhunata sangat kaya, menyentuh, dan menggugah. Satu lagi, tulisannya juga enak dibaca, enteng di mata, atau meminjam istilah semolog Prancis Roland Barthes memberi kenikmatan tekstual.

Sosok kedua adalah Stephen Glass. Di kalangan jurnalis, Stephen Glass menjadi salah satu skandal dalam sejarah jurnalisme. Tragedi ini sudah lama difilmkan dengan judul Shattered Glass (2003). Singkat cerita, pada tahun 1990-an jelang milenium, karier jurnalis majalah The New Republic ini moncer. Majalah ini didirikan oleh Walter Lippmann dan Herbert Croly dan terbit pertama pada tahun 1914. Ia juga menjadi kontributor untuk Rolling Stone dan Harper’s and George.

Banyak liputannya yang ia tulis dengan genre naratif disukai banyak kalangan. Glass pun jadi wartawan kinyis-kinyis yang mendadak ngartis. Konon, penghasilannya setahun mencapai US$ 100.000. Sayangnya, popularitasnya ambruk ketika liputannya berjudul Hack Heaven terbukti sebagai tulisan rekayasa alias tidak berdasar fakta. Adam Penenberg, wartawan dari Forbes Digital mencek dan menginvestigasi tulisan Glass. Hasilnya, tak ada peristiwa, narasumber, dan hal-hal lain seperti ditulis Glass. Semua fiktif. Tanpa lama, Glass dipecat. The New Republic minta maaf secara publik. Diketahui dari 21 dari 47 tulisan Glass ternyata fiktif.

Dua sosok tadi mungkin bisa lebih menjelaskan pesan Paus tadi. Saya percaya dan melihat sendiri banyak jurnalis-jurnalis yang berdisiplin jurnalistik seperti Sindhunata, bahkan jauh melampaui Sindhunata.

Mereka bekerja lebih keras dan berani keluar dari zona kenyamanannya — atau malah tidak memiliki kenyamanan seperti Sindhunata — demi produk-produk jurnalistik bermutu. Khususnya dalam mengangkat kelaliman penguasa, membongkar kebohongan pejabat, korupsi, hingga fakta-fakta orang-orang kecil dan tertindas. Bahkan, sampai merelakan dirinya disiksa, dijebloskan ke penjara, hidup dalam persembunyian dan pelarian, atau bahkan dibunuh.

Di era tsunami informasi atau era pascakebenaran di mana kita kewalahan membedakan fakta dan kabar bohong, disiplin verifikasi sangatlah menantang bagi wartawan masa kini. Dunia terus berubah, namun prinsip-prinsip dasar jurnalisme kekal abadi. Budaya copy paste dan malas melakukan verifikasi mungkin jadi penyakit jurnalis saat ini.

Andreas Harsono dalam resensinya berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme (Pantau, 2001) mengatakan: Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunnya mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Andreas menambahkan, disiplin verifikasi mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Paus bilang, melihat secara langsung sungguh tak tergantikan. “Kita tidak berkomunikasi hanya dengan kata-kata, tetapi dengan mata, dengan nada suara, dan dengan gerakan,” ujar Paus.

Saya pribadi masih percaya jurnalisme memiliki masa depan di era kegaduhan media sosial saat ini. Masa depan itu terletak pada kesetiaan para jurnalis pada prinsip-prinsip jurnalisme. Era media sosial telah melahirkan para kaum pendengung atau buzzer yang jauh dari disiplin verifikasi. Apalagi kalau para pendengung ini mendengung karena diminta (baca: dibayar) oleh penguasa, termasuk untuk mendengungkan kebohongan-kebohongan dan propaganda.

Otokritik

Terakhir, satu hal yang menurut saya menggembirakan dari Gereja Katolik universal adalah perhatiannya pada pentingnya komunikasi sosial. Menurut sejarahnya, komunikasi sosial gereja ini sudah digaungkan sejak Konsili Vatikan II, khususnya melalui dekrit Inter Mirifica (1963). Saban tahun hingga hari ini, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, dalam hal ini paus, menyampaikan tema berbeda untuk komunikasi sosial ini.

Hal lain yang tak kalah menggembirakan dari Gereja universal, khususnya di era Paus Fransiskus adalah keterbukaannya pada otokritik, khususnya pada laporan-laporan dan pemberitaan seputar skandal-skandal di dalam gereja itu sendiri. Entah kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga kejahatan seksual yang melibatkan para klerus. Paus Fransiskus, saya sebut namanya karena tak semua uskup punya sikap progresif seperti dirinya, justru mendorong laporan berbasis investigasi tersebut. Dokumen Vos Estis Lux Mundi (VELM) misalnya, yang mengangkat soal prosedur penanganan dan upaya memerangi kasus kejahatan seksual dalam gereja.

Laporan paling gres menyebut Paus Fransiskus meminta uskup Crookston Minnesota, Amerika Serikat Mgr. Michael Hoeppner mengundurkan diri karena terbukti menyembunyikan kasus kekerasan seksual yang dilakukan imam di keuskupannya. Ini bukti bahwa VELM memiliki pengaruh dalam menindak skandal seksual di gereja.

Jauh sebelum VELM terbit, tim investigasi Spotlight dari The Boston Globe membongkar kasus-kasus kejahatan seksual oleh pastor katolik pada anak-anak. Laporan investigasi tersebut berujung pada mundurnya Kardinal Bernard Law, Uskup Agung Boston saat itu karena terbukti menyembunyikan kasus-kasus. Lebih dari itu, laporan tersebut memberi suara bagi banyak korban kejahatan seksual untuk mendapatkan keadilan. Tim Spotlight itu datang dan menjumpai sendiri para korban dan mendengarkan kisah-kisah mereka.

Karya tim Spotlight tersebut selaras dengan pesan Paus yang mengatakan bahwa jurnalisme yang menceritakan realitas menuntut kemampuan untuk pergi ke tempat di mana tak seorangpun pergi. Suatu gerak dan keinginan untuk pergi melihat sendiri. Sebuah rasa ingin tahu, keterbukaan dan gairah.

Di Indonesia, sudah hampir dua tahunan, laporan-laporan tentang kejahatan seksual di lingkungan Gereja Katolik muncul di media-media nasional. Salut bagi media-media yang berani menerobos “dinding tebal” gereja untuk mengangkat kasus-kasus senyap ini. Kalau kita baca di media-media tersebut, kasus-kasusnya mulai banyak diangkat dengan suara-suara korban di dalamnya. Sayangnya, respons para petinggi gereja masih terkesan gamang dan acuh tak acuh.

Jadi, pesan Paus Fransiskus itu sangat bagus. Batu ujinya adalah apakah prinsip datang dan lihatlah yang juga menjadi prinsip jurnalistik mau diterapkan untuk kasus-kasus di dalam gereja sendiri? Apakah kita berani menjadi saksi kebenaran atas skandal-skandal dalam gereja sendiri? Atau seksi komunikasi sosial (sie komsos) hanya berfungsi sebagai petugas humas dari petinggi gereja saja? Atau malah berstandar ganda: tajam ke luar gereja tapi tumpul ke dalam? Apakah komsos juga berani menyuarakan mereka yang kecil, tertindas, terbungkam, dan terpinggirkan di komunitas gereja sendiri?

“Datang dan lihatlah.” Itu pesan Paus. Itu pula kata-kata Yesus sendiri. Saya kira pesan ini tak hanya untuk para pegiat komunikasi sosial atau wartawan saja. Juga untuk para uskup, pastor-pastor, kepala tarekat/kongregasi, dan pengelola gereja. Namun, pada akhirnya pesan ini cuma sebatas kotbah mimbar, renungan berantai di whatsapp, atau surat gembala saja bila mereka memiliki mata tapi tidak melihat atau memiliki telinga tapi tidak mendengar atau pura-pura tidak melihat dan mendengar.

Sekali lagi, “datang dan lihatlah.” Kita akan melihat dan merasakan sendiri betapa besarnya kerusakan akibat kejahatan seksual imam yang sudah sekian lama didiamkan. Semua ini membutuhkan keberanian. Mengingat kebenaran selain memerdekakan, juga menyakitkan.

Kebon Jeruk, 17 Mei 2021

Sigit Kurniawan Jurnalis penyuka soto, filsafat, dan marketing. Menulis buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi (2018).

Kebebasan Berinternet, Kebebasan Semu

Internet dan kebebasan itu memiliki relasi paradoksal. Semakin kita bebas berekspresi di internet, semakin kebebasan itu terkontrol dan diawasi. Tak percaya? Pergilah ke luar...
Sigit Kurniawan
2 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *